Belajar Demokrasi dari Swedia
Satu setengah pekan lalu, Kompas berkesempatan menghadiri Gather Festival di Kota Stockholm, Swedia. Demokrasi menjadi salah satu topik bahasan dalam festival kali ini. Swedia sendiri merupakan salah satu negara dengan indeks demokrasi terbaik. Berikut adalah catatan nilai-nilai yang bisa dipelajari.
Dua perempuan kulit putih menggelar kasur di depan sebuah bangunan toko di kawasan Slussen, Stockholm, Swedia. Dua rekannya yang lain, para lelaki, ribut berbicara tentang sesuatu hal sembari mengisap rokok mereka. Malam makin pekat ketika keempatnya tertidur lelap di emperan toko di pusat kota Stockholm, tidak jauh dari sebuah hotel mungil yang bersih.
Pemandangan semacam itu jarang terlihat di Stockholm satu dekade yang lalu, atau setidaknya hingga lima tahun lalu. Namun, pemandangan banyaknya warga yang tidak mempunyai rumah di kota-kota besar di Eropa kini menjadi semakin jamak seiring dengan datangnya kelompok imigran dari sejumlah negara yang dilanda perang dan kesulitan ekonomi. Para imigran sebagian datang dari Eropa tengah, Balkan, serta Timur Tengah dan Afrika.
”Kedatangan imigran mengubah wajah Eropa. Swedia juga tidak lepas dari persoalan tersebut. Jika dulu Anda meninggalkan barang di suatu tempat, keesokan harinya barang yang sama masih berada di tempat itu. Namun, sekarang, Anda tidak akan menemui hal semacam itu lagi di sini (Stockholm),” tutur Mwenya Mubanga, peneliti medis asal Zambia, yang bekerja di Swedia.
Pernyataan tersebut tidak hendak menyudutkan para imigran, tetapi bahwa kedatangan mereka memberi warna pada negara-negara Eropa, termasuk Swedia, tidak terelakkan. Perang dan konflik berkepanjangan yang terjadi di sejumlah negara menimbulkan krisis multidimensi yang perlu segera ditangani dengan pendekatan politik ataupun kemanusiaan.
Swedia juga merupakan tempat pertemuan yang nyaman bagi orang-orang dari berbagai latar belakang, baik negara, ras, maupun keyakinan. Dalam Gather Festival yang digelar di Stockholm pada 12-13 September 2019 tersebut, keberagaman menjadi topik menarik yang diulas oleh para pembicara.
Gather Festival merupakan pertemuan dan diskusi tahunan yang membahas beragam topik dalam berbagai bidang kehidupan. Kegiatan ini tidak hanya dihadiri oleh pembicara dan partisipan dari Swedia, tetapi juga dari beberapa negara. Tujuan akhirnya ialah menggalang pemahaman yang lebih baik dan memantik diskusi publik tentang berbagai topik mutakhir dalam kehidupan manusia. Pada Gather Festival ketiga tahun ini, diskusi meliputi topik-topik tentang inovasi, demokrasi, dan dialog publik.
Keberagaman
Terkait dengan topik keberagaman, dalam diskusi ”Redefining Growth”, Suzan Hourieh Lindberg, salah satu pembicara dalam Gather Festival, memantik diskusi dengan membuka data populasi Swedia. Ia mengungkapkan, setiap satu dari 11 orang di Swedia terlahir dari pasangan orangtua yang salah satunya tidak terlahir di Swedia, serta setiap empat dari 25 orang di Swedia terlahir dari pasangan orang- tua yang keduanya tidak terlahir di Swedia.
Setiap satu dari 11 orang di Swedia terlahir dari pasangan orangtua yang salah satunya tidak terlahir di Swedia, serta setiap empat dari 25 orang di Swedia terlahir dari pasangan orang- tua yang keduanya tidak terlahir di Swedia. Data tersebut menggambarkan keberagaman Swedia dari sisi populasi
Data tersebut menggambarkan keberagaman Swedia dari sisi populasi. Keberagaman juga merupakan hal yang tak terpisahkan dari Swedia. Negeri itu sejatinya dibangun atas dasar kemajemukan. Hal itu melandasi kuatnya sistem perlindungan yang mereka bangun atas hak-hak sipil dan pengakuan negara kepada mereka yang berbeda.
Nilai-nilai kemajemukan Swedia itu menjadi sangat hidup dalam praktik demokrasi yang merupakan napas kehidupan warga ”Negeri Viking” tersebut. Sejak 1921, Swedia menganut demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer yang mendudukkan raja atau ratu sebagai kepala negara. Swedia juga merupakan negara damai selama 200 tahun, dan praktik demokrasi mereka kini merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
Indeks demokrasi yang dirilis oleh majalah The Economist, tahun 2018, menempatkan Swedia dengan skor 9,39 sebagai negara dengan indeks demokrasi terbaik ketiga di dunia setelah Norwegia (9,87) dan Islandia (9,58). Skor indeks demokrasi terentang dari 0 hingga 10, semakin besar skor semakin baik.
Perlindungan terhadap hak- hak sipil merupakan salah satu indikator demokrasi yang membuat Swedia unggul. Nilai-nilai kesetaraan dijunjung tinggi, setiap orang diperlakukan sama, dan tidak dibeda-bedakan apa pun latar belakangnya. Setiap orang atau kelompok dibolehkan mendirikan organisasi, dan organisasi itu mendapatkan dana dari negara. Setiap orang berhak mendapatkan informasi, berdemonstrasi, membentuk partai politik, dan bebas mempraktikkan agama dan keyakinan mereka.
Demokrasi dirawat dan diakomodasi dalam regulasi-regulasi yang ditaati. Swedia bahkan memiliki komisi khusus untuk demokrasi yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Demokrasi.
”Kesetaraan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil telah menjadi nilai utama Swedia selama bertahun-tahun. Demokrasi berusaha diterapkan dengan tidak melakukan diskriminasi dan perlakuan yang berbeda kepada kelompok masyarakat, utamanya kelompok minoritas,” tutur Lena Posner-Korosi, Duta Besar Swedia untuk Demokrasi, yang juga seorang Yahudi. Lena adalah presiden dari komunitas Yahudi di Swedia.
Aturan fundamental
Sistem demokrasi yang dibangun di Swedia didasarkan pada prinsip keterbukaan dan transparansi. Masyarakat demokratis dan nilai-nilainya di Swedia diproteksi oleh empat undang-undang (UU) fundamental, yaitu instrument of government (UU yang mengatur tentang pembagian kekuasaan, tata cara pemerintahan dijalankan, dan apa saja hak-hak rakyat yang harus dilindungi), freedom of the press (UU yang mengatur kebebasan pers), fundamental law on freedom of expression (UU yang mengatur tentang kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi), dan act of succession (UU yang mengatur suksesi kepemimpinan dan penentuan kepala negara).
Empat regulasi yang sekaligus melambangkan empat nilai-nilai utama demokrasi yang dijunjung di Swedia itu menjadi patokan bagi semua regulasi di negara tersebut. UU lainnya yang dibentuk di Swedia tidak boleh bertentangan dengan empat regulasi fundamental tersebut. Pendek kata, empat UU fundamental itu merupakan konstitusi yang secara mendasar mengatur negara demokrasi Swedia.
Penghargaan terhadap kebebasan hak-hak sipil di Swedia menunjukkan komitmen kuat negara dalam mewujudkan demokrasi dalam praktik kehidupan sehari-hari warganya. Jaminan kebebasan pers, kebebasan menjalankan ibadah dan agama, kebebasan berekspresi, suksesi kepemimpinan, serta penghargaan kepada minoritas menjadi kunci bagi upaya-upaya tersebut.
Praktik baik demokrasi itu diharapkan juga bisa tumbuh dan mekar di Indonesia. Apalagi, menurut data The Economist, skor indeks demokrasi kita masih jauh di bawah Swedia, di angka 6,39 pada 2018.
Semoga….