Upaya memperbaharui KUHP warisan kolonial telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu. Kali ini, upaya itu masih belum berhasil. Presiden Jokowi memilih menunda pengesahan RKUHP jadi undang-undang karena masih ada pasal-pasal kontroversial.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang berlaku hingga saat ini memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie atau WvSNI yang diberlakukan di Indonesia dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 pada Oktober 1915 dan mulai diberlakukan pada 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS Belanda yang dibuat 1881 dan diberlakukan di Belanda pada 1886.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana nasional ketika itu, WvSNI ini diadopsi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Upaya memperbaharui hukum pidana nasional sudah dilakukan sejak lama. Bahkan, menyusun KUHP baru seakan menjadi obsesi tiap menteri hukum di negeri ini. Pada 1963, di bawah Menteri Kehakiman Sahardjo, upaya itu dilakukan mengingat adanya kebutuhan untuk delik kejahatan keamanan negara, ekonomi, dan kesusilaan.
Tim perumus dibentuk. Para pakar hukum pidana seperti Soedarto, Roeslan Saleh, Moeljanto, Satochid Kartanegara, Oemar Seno Adji, J.E Sahetapy terlibat di dalamnya. Di tengah perjalanan, masuk pakar hukum lain seperti Mardjono Reksodiputro, Karlinah Soebroto, Andi Hamzah, Barda Nawawi, Bagir Manan, hingga Muladi yang saat ini juga menjadi Ketua Tim Perumus RKUHP di era Presiden Joko Widodo.
Tim tersebut terus berjalan meski menteri berganti. Adalah Menteri Kehakiman Ismail Saleh yang gencar mendorong upaya penyusunan KUHP. Pada 1993, tim baru merampungkan naskah lengkap rancangan KUHP. Namun, upaya ini terhenti di era Menteri Kehakiman berganti di bawah Oetojo Oesman (1993-1998).
Baru saat Muladi menjabat Menteri Kehakiman pada 1998, RKUHP ini kembali diajukan. Upaya ini dilanjutkan Menteri Hukum dan HAM dan dijabat oleh Yusril Ihza Mahendra hingga akhirnya pada 2004, RKUHP masuk program legislasi nasional prioritas. Saat itu, kementerian hukum dipimpin Hamid Awaluddin, tapi pembahasannya tak kunjung selesai sampai 2009.
Empat tahun berselang, Komisi III DPR RI memulai kembali. Akan tetapi, surat presiden untuk membahasnya bersama DPR baru keluar pada 2015 di era Presiden Joko Widodo. Tim perumus pun dibentuk yang diketuai Muladi. Pembahasan terus berlanjut meski menuai kontroversi.
Belum berhasil
Negeri ini nyaris memiliki KUHP baru yang diyakini berhasil mendekolonialisasi KUHP lama. Pada 18 September 2019, dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM, disepakati draf final RKUHP yang dibahas maraton beberapa pekan ini untuk disahkan menjadi undang-undang, 24 September. Namun, aksi penolakan terhadap RKUHP ini berjalan massif. Presiden Joko Widodo pun memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP.
“Saya sudah 35 tahun mengkaji masalah ini, kritik yang terjadi oleh pers, medsos (medua sosial), dan pakar tertentu itu sporadis dan tidak mendasar. RKUHP ini rekodifikasi total, bukan amandemen, bukan revisi untuk membongkar pengaruh kolonial belanda yang sudah 103 tahun. Jangan sampai gagal, ditunda boleh. Tapi gagal berati kita cinta penjajahan,” ujar Muladi, Jumat (20/9) dalam jumpa pers di kantor Kemenkumham.
Namun, rasanya tak berlebihan jika kontroversi itu muncul. Sejumlah pasal disinyalir membatasi ruang gerak publik dan kebebasan berekspresi, sehingga tetap terasa hawa kolonialnya.
Masyarakat sipil pun menyoroti sejumlah pasal "karet" di RKUHP. Misalnya, pasal 218-220 tentang penghinaan presiden, pasal 240-241 tentang penghinaan pemerintah yang sah, pasal 353-354 tentang penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara. Ada pula perzinahan, aborsi, mempertunjukkan alat kontrasepsi, masalah gelandangan dan pengamen yang didenda karena mengganggu ketertiban umum, penghinaan pada pengadilan, hingga pidana mati.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menampik anggapan bahwa RKUHP mengandung pasal karet dan mengancam kebebasan sipil. “Itu sudah ada penjelasannya. Jadi, kebebasan itu juga ada batasnya. Jangan salah persepsi. Lalu membuat image yang seolah-olah UU ini cenderung mengkriminalisi semua. Padahal pidana ini justru lebih ringan daripada yang sekarang. Jangan seolah kita bernostalgia dengan hukum kolonial,” ujar Yasonna.
Beda dengan Yasonna, Erasmus Napitupulu dari Indonesia Criminal Justice Reform menilai, banyak pasal yang sebenarnya sudah tak relevan. Hal semacam perlu jadi perhatian.
Akhirnya, bercita-cita melepaskan diri dari jejak kolonial, tentu menjadi harapan bersama. Namun, kondisi masyarakat terus berkembang sesuai perubahan zaman. Ini patut menjadi pegangan agar aturan yang diciptakan tak hanya sekadar berlabel ‘Asli Indonesia’ tapi juga untuk rakyat Indonesia.