Kunci Sukses Leani Ratri Oktila Menjadi Juara Dunia
Atlet bulu tangkis Leani Ratri Oktila yang bermain pada tiga nomor pertandingan sekaligus berjaya dengan mengantongi 2 keping emas dan 1 perak di Kejuaraan Dunia Para Bulu Tangkis di Basel, Swiss, 20-25 Agustus 2019.
Atlet bulu tangkis Leani Ratri Oktila yang bermain pada tiga nomor pertandingan sekaligus berjaya dengan mengantongi 2 keping emas dan 1 perak di Kejuaraan Dunia Para Bulu Tangkis di Basel, Swiss, 20-25 Agustus 2019. Komitmen, konsisten, dan presisten menghadapi kejuaraan menjadi kunci kesuksesannya hingga menjadi juara dunia.
”Setiap hari, saya tidak pernah merasa lelah berlatih. Saya yakin, latihan keras ini tak akan sia-sia,” kata Ratri, di Solo, Kamis (19/9/2019).
Ratri merupakan atlet yang sudah menggeluti bulu tangkis sejak berusia tujuh tahun. Pada 2011, atau ketika berusia 20 tahun, ia mengalami kecelakaan sepeda motor yang mengakibatkan kaki kirinya patah. Efek samping dari kejadiaan naas tersebut, kakinya berselisih panjang 7 sentimeter.
Ratri harus kehilangan sebagian keseimbangan tubuh dan kecepatan kakinya berkurang. Saat berjalan, Ratri sering tersandung atau terjatuh. Mulanya, ia tidak terlalu merasa terganggu dengan kondisi fisiknya itu. Ia juga tidak merasa sakit atau perih. Tetapi, lama-kelamaan, Ratri mulai memikirkan ulang cita-citanya untuk menjadi pemain bulu tangkis profesional. Ada sebuah pertanyaan besar mengusiknya, dengan kondisi fisik tak sempurna mampukah berlaga di lapangan.
”Kebetulan pada 2012 ada Pekan Paralimpiade Nasional di Riau. Saya ikut dan mendapatkan 1 medali emas dan 1 perak. Saya bermain di nomor tunggal dan ganda campuran, berpasangan dengan atlet yang baru saya kenal bernama Bassar. Di situlah, saya mulai merasa masih punya harapan bermain bulu tangkis,” ujar pemain asal Pekan Baru, Riau, itu.
Keberhasilan Ratri di Pekan Paralimpiade Nasional menarik minat Komite Paralimpiade Nasional (NPC). Setelah sempat menolak beberapa kali karena merasa minder, Ratri melangkah ke pelatnas bulu tangkis di Solo, Jateng. ”Keluarga saya mengatakan, mereka rindu melihat saya bertanding di lapangan. Dukungan keluarga memotivasi saya untuk menjadi atlet disabilitas,” ujarnya.
Saat pertama kali bergabung dengan kawah candradimuka atlet-atlet paralimpiade nasional, Ratri masih berjalan dengan bantuan tongkat. Seiring waktu, ia memupuk kepercayaan diri untuk berjalan tanpa alat bantu. Selanjutnya, menurut Ratri, hal itulah yang membuat kakinya semakin kuat. ”Sampai sekarang dokter heran kenapa saya bisa lari di lapangan bulu tangkis. Orang-orang lain dengan kondisi seperti saya mungkin sulit berjalan,” katanya.
Di Bassel, Ratri bermain pada tiga nomor, yaitu tunggal putri (WS-SL 4), ganda campuran (XD SL 3- SU 5) berpasangan dengan Hary Susanto, dan ganda putri (WD SL 3- SU 5) berduet dengan Khalimatus Sadiyah Sukohandoko. Pada kejuaraan difabel, atlet bermain sesuai klasifikasi kondisi fisiknya. Ratri merupakan atlet SL 4 atau memiliki keterbatasan keseimbangan pada satu kaki.
Ratri meraih emas tunggal putri setelah menaklukkan Hefang Cheng (China), 21-16, 21-16. Selanjutnya, Ratri/Hary Susanto merebut emas setelah mengalahkan Jan-Niklas Pott/Katrin Seibert (Jerman), 19-21, 21-14, 21-19. Pada nomor ganda putri, Ratri yang berpasangan dengan Khalimatus harus puas dengan perak setelah kalah dari pasangan China Cheng/Huihui Ma, 17-21, 12-21.
Ratri mengatakan, sebenarnya dia punya peluang meraih tiga medali emas. ”Tetapi, dalam laga ganda putri saya sudah kehabisan energi. Apalagi, lawan saya justru lebih menyerang kepada rekan saya, Sadiyah, yang mempunyai keterbatasan gerakan sebagai atlet dengan cerebral palsy,” ujarnya.
Ratri mengatakan, bermain pada tiga nomor sekaligus membutuhkan daya tahan dan stamina, serta kemampuan untuk pemulihan dengan cepat. Untuk menunjang penampilannya, selain latihan teknik, Ratri juga menggembleng tubuhnya dengan disiplin berlatih fisik di luar latihan utama. Biasanya, anak kedua dari sepuluh bersaudara itu akan bangun lebih pagi dari rekan-rekannya untuk latihan lari selama 30 menit. Latihan dilanjutkan dengan berlatih bulu tangkis pada pukul 07.00-11.00. Setelah itu, Ratri beristirahat. Pada sore hari, latihan kembali dijalani pukul 16.00-18.00. Saat kebanyakan atlet beristirahat, Ratri kembali berlatih lari selama 30 menit.
Untuk melatih kecepatan dan keseimbangan, Ratri mengundang tiga adiknya, Usi (18), Awit (19), dan Riska (20), yang merupakan pemain bulu tangkis non-disabilitas, untuk berlatih bersama di Solo. Ketiga adiknya itu menjadi lawan bertanding Ratri saat di pelatnas.
Latihan keras ini menunjang penampilannya karena saat mengikuti kejuaraan, ia bisa bertanding lebih dari lima kali dalam sehari. Jeda dalam setiap pertandingan hanya 20-40 menit. Kadang-kadang, jeda antarlaga sudah habis dipakai untuk ganti pakaian sehingga tidak ada waktu istirahat.
Ratri mengatakan, tantangan terbesar dalam kejuaraan adalah mental. Hal itu pernah dirasakannya ketika bersaing di Asian Games 2018. ”Saya sudah yakin menang. Tetapi, terlalu yakin dan melihat banyak penonton, saya malah merasa berat berjalan ke lapangan. Akhirnya, penampilan saya tidak maksimal. Padahal, saat itu saya ingin memberi kado tiga medali emas untuk orangtua,” ujarnya.
Tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, Ratri menyiapkan mental dengan berlatih lebih keras. ”Kadang-kadang saya bermain satu lawan satu, satu lawan dua, atau satu lawan tiga. Ini penting sekali untuk meningkatkan kekuatan mental, kekuatan tangan, dan kecepatan kaki,” tuturnya.
Atas prestasinya, Menpora Imam Nahrawi menganugerahi Ratri bonus dengan total Rp 586 juta, terdiri dari Rp 250 juta untuk keberhasilannya meraih medali emas tunggal putri, Rp 240 juta untuk emas ganda campuran, serta Rp 96 juta untuk ganda putri. Bonus prestasi ini didapatkan hanya setahun setelah mendapatkan bonus prestasi dua emas dan satu perak di Asian Para Games 2018.
Selain Ratri, tim bulu tangkis paralimpiade menyumbangkan 4 emas, 2 perak, dan 4 perunggu di Kejuaraan Dunia. Medali emas diraih Dheva Anrimusthi (tunggal putra SU5), Leani Ratri Oktila (tunggal putri SL4), Hary Susanto/Leani (ganda campuran SL3-4SU5), dan Dheva/Hafizh Briliansyah (ganda putra SU5). Atlet-atlet ini mendapatkan penghargaan prestasi untuk tunggal, masing-masing Rp 250 juta (emas), Rp 100 juta (perak), dan Rp 50 juta (perunggu). Adapun pemain ganda masing-masing mendapat Rp 240 juta (emas), Rp 96 juta (perak), dan Rp 48 juta (perunggu). Pelatih juga mendapat bonus masing-masing 120 juta (emas), perak (48 juta), dan perunggu Rp 24 juta.
Bergabung dengan atlet-atlet pelatnas mengajarkan Ratri banyak hal, terutama tentang kebersamaan dan sikap pantang menyerah. ”Saya berteman dengan atlet-atlet yang kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan atau gerakan mereka tidak bebas karena memakai kursi roda. Meski dalam keterbatasan, mereka menunjukkan semangat luar biasa untuk menjadi juara. Padahal, dulu saat masih menjadi atlet non-disabilitas, saya dan teman-teman sering malas berlatih,” katanya.
Ratri mengatakan, sama seperti kebanyakan atlet non-disabilitas, orang-orang berkebutuhan khusus juga memiliki impian untuk mengukir prestasi, membuat keluarga dan negara bangga. Semangat itulah yang memotivasi banyak atlet untuk terus berlatih agar mampu melampaui keterbatasan diri sendiri.
Sayangnya, menurut Ratri, banyak orang yang belum punya pengetahuan terkait isu disabilitas. Selain itu, banyak orang dengan kebutuhan khusus malu untuk mengembangkan diri. Padahal, semua orang terlahir dengan potensi yang berbeda-beda. ”Itulah kenapa peran keluarga dan orang-orang terdekat penting. Keluarga bisa membantu mencarikan informasi kegiatan-kegiatan yang sesuai untuk orang dengan kebutuhan khusus,” katanya.
Kini, selain berlatih, Ratri juga menjadi mahasiswi S-2 Sastra Indonesia di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Setiap hari, ia membagi waktu antara berlatih dan kuliah. Saat harus absen kuliah karena ikut kejuaraan, dosen dan teman-temannya membantu belajar.
Ratri merasa bersyukur dengan dukungan keluarga dan teman-teman. Mimpi terbesarnya saat ini adalah merebut medali emas Olimpiade Tokyo 2020. Ratri berlatih keras dan berjuang demi mewujudkan cita-cita itu. ”Saya pengin sehat, pengin jadi juara Olimpiade 2020. Setelah itu, ingin mengajak orangtua jalan-jalan,” katanya. Selamat berjuang, Ratri!
Leani Ratri Oktila
Lahir: Bangkinang, Riau, 6 Mei 1991
Klasifikasi disabilitas: SL4 (keseimbangan kaki)
Penghargaan:
- BWF Para Badminton Female Player of the Year 2018
- Pemain Ganda Putri Terbaik (bersama Khalimatus Sadiyah Sukohandoko), Indonesian Sports Awards 2018
Prestasi:
- Tiga medali emas ASEAN Para Games 2015
- Tiga medali emas ASEAN Para Games 2017
- Dua medali emas dan satu medali perak ASIAN Games 2018
- Satu medali emas, satu perak, dan satu perunggu ASIAN Games 2014
- Dua medali emas dan satu perak Kejuaraan Dunia 2019
- Satu medali emas, satu perak, dan satu perunggu Kejuaraan Dunia 2017