Menemukan Tuhan dalam Penderitaan
Perjumpaan dengan Tuhan hanya dapat dilakukan lewat penderitaan. Posisi jatuh pada jurang terdalam kehidupan yang menihilkan eksistensi diri adalah kondisi paling ideal untuk berkarib dengan Tuhan. Setidaknya hal tersebut tergambar dalam sketsa-sketsa kisah yang ditulis Sindhunata, pastor cum penulis, dan dibukukan dengan judul Aburing Kupu-Kupu Kuning (AKKK).
AKKK adalah kumpulan tulisan yang dibuat Sindhunata berdasarkan renungan atas kisah maupun pengalaman orang-orang ”biasa” yang ia jumpai saat ia masih bertugas sebagai jurnalis maupun saat ia melayani umatnya sebagai pastor dari Ordo Yesuit.
Ditulis dalam bahasa Jawa, kisah-kisah yang terangkum dalam AKKK akan membuat pembaca sampai pada titik kesadaran bahwa konsep ”Manunggaling Kawula Gusti” sama sekali bukan konsep absurd yang mengawang-awang.
Sebanyak 38 tulisan dalam buku ini adalah catatan renungan Sindhunata tentang iman dan harapan. Mulai dari kisah perempuan pengamen yang hidup nomaden karena tak ingin merepotkan anaknya, kisah seorang nenek yang kehabisan uang di tengah jalan seusai mengunjungi cucunya, kisah istri mantan tapol 1965 yang setia menunggu suaminya kembali dan tak mengeluh saat suaminya belum juga mendapatkan pekerjaan sekeluar dari tahanan, hingga kisah istri tukang becak yang suaminya dipenjara gara-gara fitnah seorang lurah.
Sekilas, hidup terasa tidak adil untuk orang-orang seperti mereka. Namun, alih-alih mengutuki nasib, mereka bersandar dan berserah sepenuhnya pada kerahiman semesta. Wong miskin, amarga miskine gampang anggone njagakake Sihing Dalem Pangeran.
Wong asor, amargo asore, ngrumangsani nasibe manungsa kang sekeng, ora bisa ngadeg dadi manungsa sejati tanpa kekiyatan Dalem Gusti (hlm 59). ”Orang miskin, karena miskinnya, mudah mengharapkan belas kasih Tuhan. Orang rendah, karena rendahnya, merasai nasib manusia yang lemah, tidak bisa berdiri menjadi manusia sejati tanpa kekuatan Tuhan”.
Sindhunata merefleksikan secara apik bagaimana manusia terbiasa mencintai Tuhan dengan sederet syarat. Manusia mencintai Tuhan hanya jika mereka menginginkan sesuatu. Jika keinginan ini tidak terpenuhi, mereka dengan gampang meninggalkan Tuhannya.
Tuhan diperlakukan tak ubahnya sebagai sapi peras, yang disayang dan dirawat hanya sepanjang usia ia dapat menghasilkan susu. Cinta jenis ini akan membuat manusia gampang tumbang. Padahal, cinta mestinya adalah proses yang membebaskan, asal diikuti dengan keikhlasan.
Mayoritas tokoh yang dikisahkan oleh Sindhunata dalam buku ini memaknai cinta atau kasih bukan semata tentang hal-hal yang menyenangkan, tapi juga terkait dengan penderitaan. Tengok kisah Simbok Sumopawiro (hlm 157-162) yang mengimani bahwa cinta kasih Tuhan hanya bisa dialami jika ia bersedia menerima penderitaan hidup. Sementara Pak Karto (hlm 205-210) meyakini bahwa kita baru bisa menyebut diri sebagai orang beriman jika kita selalu berada dalam suasana batin dicintai oleh Allah.
Keyakinan bahwa kita dicintai dan dikasihi oleh Allah inilah yang pada akhirnya bisa menumbuhkan harapan. Tidak semua orang memiliki suasana batin seperti ini. Kebanyakan orang merasa bahwa jika mereka mendapatkan masalah dalam hidup maka itu artinya Tuhan tidak lagi mengasihi mereka. Mereka sulit atau tidak mau melihat bahwa justru dalam hidup yang berat, dengan derita yang seolah tanpa akhir, Allah sebenarnya justru lebih mengasihi kita dan memberi kita kesempatan lebih besar untuk mengaribinya.
Penderitaan adalah hal yang harus dialami manusia jika ingin betul-betul merasa dikasihi oleh Allah. Ora bakal wong bisa pracaya, yen durung ngalami rasa pupus, pepet pengarep-arep sing jero. Kapracayan iku ora bisa kapisahake saka rasa nglokroning ati (hlm 230). ”Orang akan sulit percaya jika belum mengalami rasa putus asa, mati pengharapan. Kepercayaan itu tidak bisa dipisahkan dari rasa putus asa.”
Dalam tulisan Aburing Kupu-Kupu Kuning (hlm 263-283) yang seolah menjadi rangkuman dari keseluruhan tulisan reflektif dalam buku AKKK, Sindhunata berhasil menggiring pembaca untuk mengamini bahwa Tuhan adalah perihal yang dinamis. Secara paradoks, manusia justru bisa menjumpai Ia yang tinggi pada saat kita berada pada tempat yang rendah. Kita akan mengalami indah dan nikmatnya perjumpaan dengan Allah atau merasa sangat karib dan intim dengan-Nya justru ketika kita berada pada dasar atau jurang penderitaan.
Perjumpaan ini akan menjadi pengalaman yang sangat intim karena kita akan sampai pada kesadaran bahwa bukan hanya kita yang membutuhkan Tuhan, melainkan Tuhan juga membutuhkan kita.
Sampeyan Dalem uga ngersakake raos anget ing telenging atine manungsa (hlm 279). ”Tuhan juga membutuhkan rasa hangat di kedalaman hati manusia.” Maka kita bukan lagi sekadar makhluk yang mengharap belas kasihan atau memaksa Tuhan mengabulkan setiap permohonan, tapi kita adalah insan yang bisa menjalani hidup dengan ringan karena memercayai bahwa segala hal yang kita hadapi di dunia ini adalah bagian dari rancangan rahmat semesta alam. Kita adalah kupu-kupu kuning yang ringan mengepak sayap ke arah Timur, menjadi penanda bagi manusia akan datangnya musim hujan setelah kemarau panjang, seperti kidung yang dulu sering dinyanyikan oleh anak-anak lereng Merapi.
Reflektif
Buku ini tidak spesifik ditujukan untuk komunitas tertentu dan sama sekali tidak diniatkan sebagai buku renungan iman, tapi harus diakui bahwa orang yang memahami tradisi Katolik (dan tentu saja bisa berbahasa Jawa) akan bisa memahami buku ini dengan lebih baik. Meskipun demikian, buku ini bisa dibaca oleh semua kalangan karena humanisme transendensi menjadi pesan utama dari buku ini. Bahwa manusia adalah makhluk yang tak lelah mencari makna atas hidupnya dan menyelaraskan tujuan hidupnya lewat nilai-nilai ketuhanan guna menemukan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Penulisan buku ini dalam bahasa Jawa menjadi ”kelemahan” sekaligus keunggulannya. Kelemahan karena buku ini hanya akan dibaca dan dimengerti oleh komunitas yang mengerti bahasa Jawa. Namun, menjadi keunggulan karena buku ini memperkaya khazanah buku-buku berbahasa daerah.
Publik agaknya harus lebih banyak dipasok dengan buku-buku berbahasa daerah mengingat makin sedikit generasi muda yang paham bahasa daerah. Kita tak ingin bahasa daerah lambat laun punah, terlebih tahun lalu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Padahal, bahasa daerah adalah kekayaan batin kelompok etnis pengguna bahasa tersebut.
Apa yang dilakukan Sindhunata, juga penerbit Gramedia, untuk menerbitkan buku ini dalam bahasa Jawa, patut diacungi jempol sebagai upaya mengekalkan kekayaan batin etnis Jawa.
Hanya saja, jika diterbitkan ulang, buku ini sebaiknya disertai pengantar yang menjelaskan rentang waktu kapan tulisan-tulisan yang dikumpulkan dalam buku ini dibuat. Hal ini untuk memudahkan pembaca, terutama generasi milenial, memahami konteks cerita.
Fransisca Ria Susanti Jurnalis cum penulis
Judul buku: Aburing Kupu-Kupu Kuning
Penulis: Sindhunata
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2019 (Edisi Baru)
Tebal: 283 halaman
ISBN: 9786020622750