Menepi di ”Oase” Makassar
Kepungan beton seolah mengurung Makassar dalam kemuraman kota metropolitan. Nyaris tiada ruang hijau yang bisa dinikmati warga untuk mengusir nestapa. Nyaris....
Mega (20), Ocan (20), dan Ruri (20) duduk santai di jembatan kayu yang memanjang sebagai ”jalan” di tengah rerimbunan mangrove dan hamparan laut. Ketiga remaja putri itu sedang menikmati pemandangan matahari terbenam, Rabu (11/9/2019). Bulatan surya perlahan berubah jingga terang. Ronanya berpendar, berpadu dengan langit yang birunya memudar. Atraksi warna di cakrawala itu sungguh memanjakan mata.
Sesekali ketiganya mengabadikan momen tersebut dengan kamera telepon seluler dan kamera saku. Namun, selebihnya mereka hening, meresapi mahakarya alam sore itu. ”Susah di Makassar cari suasana begini. Lumayan untuk menghilangkan penat,” ujar Ocan.
Ocan tidaklah berlebihan. Ruang hijau alami seperti yang dinikmati bersama dua temannya di kawasan Ekowisata Mangrove Lantebung itu tergolong langka di Makassar, Sulawesi Selatan. Pesatnya perkembangan metropolis terbesar di kawasan timur Indonesia itu nyaris tak menyisakan lagi ruang hijau bagi warganya.
Kehadiran Ekowisata Mangrove Lantebung bak oase bagi kegersangan Makassar. Pelestarian mangrove diinisiasi dan dikelola warga Kampung Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, sejak 2017.
Hutan mangrove sekitar 30 hektar di pesisir utara Makassar itu berjarak 16 kilometer dari pusat kota, tak jauh dari Gerbang Tol Parangloe di Jalan Tol Ir Sutami. Meski masih di dalam kota, suasana hutan mangrove itu seperti di pelosok yang bebas dari hiruk-pikuk urbanisme. Tenang, asri, dan menenteramkan.
Rerimbunan mangrove bisa dijelajahi dengan meniti jembatan kayu berwarna-warni, yang jalurnya juga bercabang hingga ke bibir pantai. Ada dua genus mangrove yang tumbuh subur di sini, yakni Rhizophora dan Avicennia atau api-api. Selain mangrove dan sunset, pengunjung juga bisa menikmati bangau-bangau yang bercengkerama di sana. Saat hari beranjak gelap, bangau beterbangan meninggalkan hutan mangrove, entah ke mana.
”Rasanya tak ada lagi kawasan di Makassar yang bisa menjadi tempat bersantai sekaligus belajar tentang mangrove selain Lantebung. Sudah selayaknya kawasan ini dipertahankan, jika mungkin diperluas,” kata Masri Tajuddin Ros, pengunjung lainnya. Biaya masuk ke kawasan Lantebung sangat terjangkau, yakni Rp 3.000 per orang.
Menurut Saraba (56), inisiator pelestarian sekaligus Ketua Jaringan Ekowisata Mangrove Lantebung, selain membawa manfaat ekonomi bagi warga, mangrove juga melindungi perkampungan pesisir itu dari bencana angin dan empasan ombak. ”Karena itu, kami akan terus berupaya menambah luasan mangrove,” ujar Saraba.
Hutan kota
Pilihan lain untuk menepi dari deru dan debu kota adalah lingkungan kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), masih di Kecamatan Tamalanrea. Kampus yang didesain dengan konsep hijau itu menjadi ”hutan kota” bagi sekitar 1,5 juta penduduk Makassar. Saat memasuki gerbang kampus, suasana rindang dan sejuk langsung terasa. Pohon-pohon besar memayungi di segala penjuru. Areal hijau itu mencakup 90 persen dari total 220 hektar luas kampus.
Selain pepohonan dan taman, ada kebun buah dan fasilitas penangkaran rusa totol (Axis axis). Ada pula dua danau besar yang terpisah jalan akses kampus. Semua dilengkapi jalur pedestrian yang lebar serta bangku-bangku dan gazebo untuk bersantai.
Warga bisa menikmati suasana hutan Unhas ini. Tidak sedikit yang berolahraga, seperti lari, jalan kaki, dan bersepeda mengelilingi jalan lingkar kampus sepanjang 4 kilometer. Aktivitas itu biasanya ramai tiap pagi atau sepanjang hari pada akhir pekan.
”Kalau tidak padat pekerjaan, saya setiap pagi selalu bersepeda di sini. Menurut saya, ini spot paling bagus di Makassar karena adem dan sejuk,” ujar Aswin Sudarmin (25), warga Makassar.
Direktur Komunikasi Unhas Suharman Hamzah mengatakan, pihak kampus berkomitmen terus menjaga kawasan ini tetap hijau. ”Kami punya masterplan pengembangan kampus yang intinya tidak akan mengganggu kawasan hijau,” katanya.
Dalam penambahan bangunan, misalnya, sebisa mungkin dilakukan tanpa mengganggu pohon. ”Kami sedang menyusun proyek pembangunan lahan parkir secara bertingkat agar tak mengganggu tumbuhan,” ujarnya.
Selain Lantebung dan kampus Unhas, satu lagi ”oase” Makassar adalah Lapangan Karebosi. Dengan luas 11,29 hektar di jantung kota, Karebosi menjadi ruang terbuka hijau favorit warga. Hampir tiap pagi dan sore hari, banyak warga berolahraga di sana.
Di Karebosi terdapat trek lari atau jalan kaki sepanjang 700 meter yang mengelilingi sisi luar tiga lapangan sepak bola. Jalur itu rindang dinaungi pepohonan. Ada pula fasilitas olahraga permainan, seperti sepak bola, bisbol, sofbol, basket, dan voli.
Sebenarnya, di Makassar terdapat sejumlah ruang terbuka hijau lain, umumnya berupa taman kecil. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Makassar, persentase ruang terbuka hijau (RTH) di Makassar baru 13 persen dari total luas kota 176 kilometer persegi. RTH itu masih jauh dari idealnya 30 persen.
Kepala Laboratorium Perancangan Arsitektur Fakultas Teknik Unhas Triyatni Martosenjoyo menilai, saatnya pemerintah tegas pada rancangan tata ruang. Pembiaran pembangunan yang mengikis RTH akan membuat Makassar tak lagi nyaman sebagai kota.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Makassar Iskandar mengatakan, RTH ditargetkan terus ditambah, setidaknya mencapai 15 persen pada 2020. Keterbatasan lahan membuat penambahan tak bisa dilakukan sekaligus secara besar-besaran.