Atma Reyog di Tangan Warok Ponorogo
Reyog dan warok sejatinya dua entitas berbeda. Namun, keduanya menjadi identitas kultural dan jati diri masyarakat Ponorogo, Jawa Timur. Seiring zaman, warok menjadi tokoh sentral penjaga atma reyog.
Gerombolan warok menyerbu panggung. Mereka menari dengan gagah berani. Dada bidang bertelanjang dengan celana kolor yang komprang. Sosok mereka tinggi besar, berjambang tebal, dengan sorot mata seram. Lengan berotot tebal seakan bertubuh kebal. Langkah kaki tegap dengan sikap selalu tanggap.
Itulah sosok warok yang dipentaskan dalam panggung Festival Nasional Reyog Ponorogo XXVI yang berlangsung pada pengujung Agustus lalu di Alun-alun Ponorogo. Festival ini terselenggara atas kerja sama Pemerintah Kabupaten Ponorogo dengan Platform Indonesiana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari 33 peserta, hampir semua mementaskan tarian warok sebagai bagian dari seni drama dan tari (sendratari) reyog. Ada yang mementaskannya di awal pertunjukan atau di tengah, menyesuaikan dengan alur cerita yang dimainkan.
Saat warok menari, penonton pun riuh bersorak-sorai. Gerakan tarian warok yang berat dan terpatah-patah menggambarkan suasana saat para warok menjalani pendadaran ilmu kanuragan. Mereka berlatih kekuatan lahir dan batin agar laku hidup bijaksana. Begitu kata pemilik sanggar tari Kartika Puri, Sudirman.
Bagi masyarakat Ponorogo, warok adalah identitas diri. Warok laksana kesatria yang senantiasa menegakkan kebenaran dan keadilan menjadi pelopor perjuangan.
Jika warok menjadi identitas diri, reyog adalah identitas budaya. Seni tari yang menampilkan topeng besar berwujud kepala harimau dengan hiasan burung merak beserta bulu-bulunya yang cantik ini memiliki komponen penari jatil yang membawa kuda-kudaan, Raja Kerajaan Bantarangin Klono Sewandono, dan patihnya, Pujangga Anom.
Di panggung festival, warok bertugas meramaikan pentas agar penonton lebih antusias. Namun, dalam konteks lebih luas, warok mengemban peran signifikan sebagai penjaga atma reyog agar seni tradisi ini mengakar kuat dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Ponoragan (Ponorogo).
Reyog bukan reog
Peran signifikan tersebut salah satunya dimainkan Bikan Gondowiyono (74), tokoh reyog di Desa Plunturan. Desa di lereng pegunungan di pinggiran Ponorogo ini memiliki kelompok Reyog Ki Onggo Pati yang sudah berdiri sejak sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia.
Reyog yang diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga Bikan ini berkembang pesat. Kini ada empat sub-kelompok di dalamnya, yakni Ki Onggo Pati sendiri, Ki Onggo Pati Buyut yang dimainkan lansia, Ki Onggo Pati Cucu yang dimainkan anak-anak, dan Ki Onggo Pati Putri yang semua pemainnya perempuan.
Reyog Ki Onggo Pati tidak mengenal diskriminasi karena memberikan panggung yang setara kepada senimannya. Perempuan tidak hanya mengisi tari kuda-kudaan seperti di panggung festival, tetapi juga bebas menentukan peran, termasuk memerankan warok perempuan.
”Warok memang tidak hanya milik laki-laki. Pada zaman dulu, Ponorogo memiliki banyak warok perempuan yang mampu menguasai ilmu kanuragan,” ujar Bikan.
Reyog Plunturan jauh berbeda dengan reyog festival karena tidak mengikuti aturan baku pementasan. Aturan selama ini dituangkan pada Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa atau populer disebut ”Buku Kuning”, disusun oleh tim Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Bikan memiliki pakem sendiri yang diwarisi dari leluhurnya. Pakem itu yang membuat reyog Plunturan tampil bersahaja, lebih mengutamakan kebersamaan dan hiburan, baik bagi seniman maupun penontonnya. Kebersahajaan itu sempat membuat reyog Plunturan dipandang sebelah mata oleh seniman festival.
Seiring waktu, konsistensi reyog Plunturan menjaga tradisi justru berbuah apresiasi. Reyog ini pernah didaulat menjadi duta budaya Indonesia di Thailand pada 2016. Pelatih tarinya, Mbah Gani, dipercaya melatih masyarakat Suriname dalam upaya mengenalkan reyog pada dunia.
Reyog Plunturan bahkan kini menjadi perintis jalan menuju status warisan budaya tak benda dunia. Sejak didaftarkan tahun 2010 pada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), ternyata masih banyak pekerjaan rumah reyog Ponorogo yang harus diselesaikan.
”Salah satunya, UNESCO mensyaratkan orisinalitas yang hanya dimiliki oleh reyog obyog (seperti di Plunturan),” ucap Ketua Dewan Kesenian Ponorogo Arim Kamandaka.
Syarat lain adalah konsistensi penyebutan kata reyog, bukan reog seperti yang lebih dikenal saat ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia menggunakan kata reog untuk merujuk seni dan tarian tradisional yang menjadi ciri khas Kabupaten Ponorogo.
Reog digunakan pada era Bupati Ponorogo Markum Singodimedjo (1994-2004) sebagai slogan daerah. Reog menjadi akronim dari Resik, Endah, Omber, Girang-Gemirang (bersih, indah, makmur, dan bahagia). Kata reog menjauhkan makna reyog yang berasal dari kata riyeg-reyog. Kata riyeg-reyog berasal dari suara rumpun bambu yang diterpa angin. Dalam bahasa Jawa, riyeg diartikan ramai yang berisik.
Menghidupkan lagi
Sementara itu, di Desa Tatung, Kecamatan Pulung, Rudi Sugiharto tengah berupaya menghidupkan kembali reyog di desanya. Dia bercerita, pada saat kecil, desanya memiliki kelompok reyog yang kerap pentas pada upacara bersih desa, hajatan, dan Suroan (peringatan Tahun Baru Hijriah). Seiring waktu, kelompok itu mati karena tidak ada yang menghidupi.
Sejak awal menjabat sebagai kepala desa, tahun 2015, Rudi Sugiharto bekerja keras menghidupkan kembali reyog di desanya. Namun, upaya itu nyaris kandas karena seniman tari dan seniman karawitannya sudah tidak tersisa. Regenerasi seniman yang terputus total sempat membuatnya bingung harus memulai dari mana.
Rudi Sugiharto akhirnya memilih mendatangkan pelatih tari dan karawitan dari luar desa. Dia juga membeli alat buat menari dan perangkat gamelannya yang harganya tidak murah. Sumber dananya sebagian dari pendapatan asli desa, sebagian lagi swadaya masyarakat.
”Menghidupkan kembali reyog desa yang telah mati membutuhkan konsistensi selain biaya tinggi. Dukungan masyarakat juga tidak kalah penting,” ujar Rudi Sugiharto, yang akhirnya sukses menghidupkan kembali reyog desa.
Upaya menjaga atma reyog sejatinya tidak hanya dilakukan oleh berbagai kalangan. Akademisi asli Ponorogo, Rido Kurnianto, pun terpanggil meneliti sejarah reyog untuk memperkaya referensi generasi masa kini. Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo itu menulis buku Seni Reyog, Sejarah, Nilai, dan Dinamika dari Waktu ke Waktu. Dia mengatakan, dalam sejarahnya, reyog dan warok sama-sama memiliki kiprah panjang.
Reyog pada masa animisme dan dinamisme difungsikan sebagai ritual penolak bala. Pada masa Prabu Brawijaya V, reyog digunakan sebagai sindiran politik oleh Ki Ageng Kutu (Suryongalam) yang menganggap kebijakan raja lebih banyak disetir oleh permaisurinya. ”Pada masa Kerajaan Demak, Bathoro Katong menggunakan reyog untuk menyebarkan agama Islam di Ponorogo,” kata RidoKurnianto.
Bathoro Katong merupakan murid Ki Ageng Mirah, penyebar Islam pertama di Ponorogo. Tokoh warok diekspresikan sebagai orang yang getol memberantas kejahatan dan membela kebenaran. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan citra warok yang sempat memburuk karena identik sebagai orang yang temperamental, preman, dan mabuk-mabukan.
”Citra buruk warok turut menyeret reyog sehingga seni ini kurang mendapat apresiasi dari masyarakat Ponorogo yang mayoritas beragama Islam,” ucap Rido Kurnianto.
Reyog versi Ki Ageng Kutu dan Bathoro Katong tak pernah dipentaskan di festival sehingga tak banyak masyarakat yang mengetahuinya. Festival hanya mementaskan versi Raja Bantarangin Klono Sewandono yang ingin melamar Dewi Sanggalangit, putri dari Kediri. Alasannya, versi ini memiliki alur cerita yang bisa dikembangkan untuk sendratari.
Pada Festival Nasional Reyog Ponorogo XXVI, untuk pertama kali reyog versi Ki Ageng Kutu ditampilkan meski hanya pada acara pembukaan. Menurut versi ini, penari jatil yang menari kuda-kudaan adalah laki-laki. Mereka menari dengan gemulai.
”Selama ini, masyarakat mengenal penari jatil, ya, perempuan. Saya berusaha mengumpulkan penari jatil laki-laki yang pernah eksis pada zaman dulu untuk menari di panggung. Awalnya mereka menolak, tetapi akhirnya bersedia demi edukasi kepada generasi masa kini,” ujar pemilik sanggar tari Kartika Puri, Sudirman.
Memang, masih panjang jalan untuk memastikan reyog tetap hidup dan menghidupi.