Cerita dari Kain Sisa
Menurut Lulu, pergelaran itu merupakan ungkapan rasa syukur atas berkah yang diterimanya selama berproses di industri mode Tanah Air. ”Sebenarnya, ’Sewindu Bercerita’ ini adalah syukuran.
Lulu Lutfi Labibi mengolah kain-kain sisa dari karyanya terdahulu menjadi busana baru. Dari perca lurik dan batik yang ditenun dan dijahit kembali itu, tersimpan cerita jatuh bangun delapan tahun perjalanan Lulu berkarya.
Karya-karya Lulu yang diolah dari material sisa itu ditampilkan dalam pergelaran busana bertajuk ”Sewindu Bercerita” yang digelar di Jogja National Museum, Yogyakarta, Sabtu (14/9/2019) malam. Sesuai tajuk, pergelaran itu menandai delapan tahun proses kreatif Lulu sebagai perancang mode.
Menurut Lulu, pergelaran itu merupakan ungkapan rasa syukur atas berkah yang diterimanya selama berproses di industri mode Tanah Air. ”Sebenarnya, ’Sewindu Bercerita’ ini adalah syukuran. Aku, tuh, kayak enggak percaya selama berproses mulai dari tahun 2011 sampai 2019 ini banyak sekali berkah yang aku dapatkan,” ujar pria berusia 37 tahun itu.
Lulu mengisahkan, pada 2011, ia merupakan desainer muda yang masih mencoba eksis di dunia mode dengan mengikuti berbagai lomba di Jakarta. Berkat sejumlah lomba yang ia menangi itu, nama Lulu mulai dikenal.
”Tahun 2011 itu saya masih menjadi ’banci lomba’. Tetapi, saat itu saya sadar, sebagai anak daerah, cara untuk mengenalkan karya itu, ya, dengan mengikuti kompetisi di Ibu Kota,” kata perancang busana yang tinggal dan berproses di Yogyakarta itu.
Kini, nama Lulu bukan sekadar eksis di dunia mode. Karya-karyanya dianggap memiliki karakter khas. Salah satunya karena adanya elemen naratif dalam karya-karya desainer lulusan Jurusan Kriya Tekstil Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu. Ya, karya Lulu mengandung cerita-cerita personal yang menjadi latar belakang penciptaan.
Itulah mengapa, koleksi busana karya Lulu kerap kali diberi nama yang bermakna sangat personal. Sebenarnya, sejak 2011, Lulu telah rutin mengeluarkan koleksi busana rancangannya. Namun, hingga tahun 2014, ia merasa belum menemukan konsep yang pas untuk menamai karya-karyanya secara personal.
”Tahun 2015, saya baru mendapatkan semacam pintu gerbang untuk bercerita ke masyarakat,” ucap desainer yang dikenal dengan karya lurik itu.
Pada 2015, Lulu mengeluarkan koleksi yang ia namai ”Jantung Hati”. Koleksi berikutnya bertajuk ”Gedangsari Berlari” (2016), ”Hypecyclus” (2017), ”Perjalanan” (2017), ”Tirakat” (2017), ”Persimpangan” (2018), ”Tepian” (2019), dan ”Murakabi” (2019).
Sebagian koleksi itu, seperti ”Hypecyclus” dan ”Murakabi”, dikerjakan Lulu melalui kolaborasi dengan seniman dari disiplin lain.
”Setelah saya mencoba menelisik ke belakang, kok, ternyata karya-karya saya naratif, ya. Lewat karya-karya itu, saya menceritakan tentang perjalanan saya dan ternyata banyak orang yang menjadi bagian dari kisah itu,” ujarnya.
Cerita di balik karya itulah yang kemudian menjadi benang merah pergelaran ”Sewindu Bercerita”. Selain peragaan busana, pergelaran itu juga dibarengi pameran yang menggambarkan perjalanan Lulu selama delapan tahun terakhir. Dalam pameran yang berlangsung hingga 20 September 2019 itu, Lulu menggandeng Santi Ariestyowanti dari kelompok seni Indieguerillas sebagai art director.
Ketidaksempurnaan
Pada pergelaran ”Sewindu Bercerita”, para model tidak berjalan di landas peraga yang lebih tinggi daripada kursi penonton. Penonton duduk di kursi-kursi yang ditata di sekeliling ruangan di lantai dua Jogja National Museum, nyaris tak berjarak dengan para model yang tengah memamerkan 70 tampilan dari koleksi terbaru Lulu.
Lulu tampak masih setia dengan teknik draping yang menjadi ciri khasnya selama ini. Dalam teknik draping, pembuatan pola dilakukan secara langsung di tubuh seseorang atau di maneken. Kain yang telah dipasang di tubuh atau maneken itu dilipat, ditumpuk, dan diikat sehingga menghasilkan bentuk-bentuk unik.
Teknik draping itu tampaknya sejalan dengan ketertarikan Lulu pada estetika wabi sabi asal Jepang yang percaya bahwa keindahan bisa ditemukan dalam ketidaksempurnaan.
Dalam ”Sewindu Bercerita”, karakter semacam itu tampak jelas dari ragam busana yang dimunculkan, misalnya berupa kemeja berlengan satu yang dipotong asimetris di bagian bawah. Busana luaran warna hitam tampak seolah dipotong dengan kasar, bagian pinggirnya dibiarkan tak terjahit. Juga celana panjang dengan banyak lipatan.
Namun, pengamalan terbaik dari estetika wabi sabi barangkali ditemukan dalam karya-karya Lulu yang memakai perca lurik dan batik sisa karyanya terdahulu. Sebab, perca yang jelas tidak sempurna itu kemudian ditenun lagi dengan alat tenun bukan mesin yang juga tak bisa menghasilkan kain yang benar-benar sempurna. Dalam proses ini, ada berlapis-lapis ketidaksempurnaan, tetapi di sana barangkali juga ada berlapis-lapis keindahan.
Pada pergelaran ”Sewindu Bercerita”, tenunan kain-kain sisa itu antara lain mewujud dalam koleksi bawahan dan atasan yang dihiasi rumbai-rumbai potongan perca. Saat melihat koleksi busana yang ditenun dari potongan-potongan kain sisa itu, kita seperti melihat kembali perjalanan Lulu saat menapaki panggung mode Indonesia.
Lulu menuturkan, selama ini, ia tak pernah membuang perca lurik dan batik tulis sisa karyanya sehingga potongan-potongan kain itu kemudian menumpuk di gudang miliknya. ”Perca-perca itu lalu saya potong panjang-panjang dan saya tenun kembali untuk dihadirkan di ’Sewindu Bercerita’. Ini adalah cara saya untuk menenun kembali kenangan-kenangan dari 2011 sampai 2019,” ujarnya.
Tenunan kenangan itu kian kuat karena pergelaran ”Sewindu Bercerita” juga menghadirkan sejumlah motif lurik dan batik yang diciptakan Lulu sebelumnya, semisal Baur Rupa, Duka Luruh, dan Langit Senja. Oleh karena itu, para penggemar Lulu pun bisa merasakan suasana nostalgia saat busana dengan motif-motif lama itu muncul kembali.
Tantangan
Dengan berbagai elemen yang ada, ”Sewindu Bercerita” bisa menjadi sarana yang pas untuk melihat kembali delapan tahun perjalanan Lulu yang tak selalu mudah. Meski mengaku menerima banyak berkah, ia menuturkan, perjalanan kreatifnya sebagai perancang mode juga menghadapi sejumlah tantangan. Pada masa-masa awal, misalnya, karya-karya Lulu sangat sulit terjual karena dianggap ”aneh”.
”Saat 2011 saya memulai brand Lulu Lutfi Labibi, tidak terjadi penjualan sama sekali selama satu tahun,” ujar Lulu.
Tantangan lain yang dihadapi Lulu adalah plagiarisme atau penjiplakan terhadap karyanya. Awalnya, Lulu sangat sedih melihat karya yang ia hasilkan dengan susah payah itu dijiplak begitu saja. Namun, kini, Lulu tak lagi terlalu memikirkan masalah itu.
”Apa pun yang saya buat selalu terjadi plagiarisme. Sempat rasanya sakit banget digituin. Tetapi, itu di awal-awal, lama-lama aku sudah merasa enggak apa-apa, itu memang tidak bisa dihindari. Jadi, ya, saya harus baik-baik saja.”