Dampak kabut asap dirasakan hingga ke lautan. Nelayan tradisional mengalami penurunan penghasilan akibat jarak pandang yang terbatas. Mereka hanya bisa menebak-nebak saat menebar jaring.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
Dampak kabut asap tidak hanya dirasakan di darat namun hingga ke lautan. Nelayan tradisional di Batang Arau, Padang, Sumatera Barat, ratusan kilometer dari lokasi kebakaran di Riau dan Jambi, harus mengalami penurunan penghasilan. Pasalnya. mereka hanya mampu meraba-raba saat menebar jaring akibat pendeknya jarak pandang,
Menjelang menepi di Pelabuhan Batang Arau, Candra Kirana (36) segera mematikan mesih perahu. Mengandalkan sisa-sisa energi kinetik, perahu cadik itu terus melaju.
Begitu perahu merapat, pria yang karib disapa Candores itu menyodorkan ember cat putih ukuran 25 kilogram kepada seorang pria. Volume ember berisi berbagai jenis ikan laut segar itu tidak lebih dari seperempat.
Pria penadah ikan lalu menuangkan ikan-ikan ke keranjang. Induk semang segera datang untuk mematut-matut. Selang sekian detik, ia menyodorkan selembar uang hijau dan dua lembar uang ungu melalui anak buahnya ke Candores.
"Cuma dapat Rp 40.000. Padahal, biaya bensin sampai Rp 30.000. Mau bagaimana lagi, hanya segitu rezeki saya hari ini. Sejak ada kabut asap, sering begini," kata Candores, diiringi tawa getir, Sabtu (21/9/2019) pagi.
Candores hanya satu dari sekitar 30 nelayan tradisional yang menjual ikan ke tempat pelelangan ikan (TPI) mini Wan Hunter di Pelabuhan Batang Arau. Kabut sebulan terakhir telah membuat jarak pandang kurang dari 1 kilometer. Kabut asap telah menghilangkan petunjuk bagi nelayan dalam menangkap ikan.
Kabut sebulan terakhir telah membuat jarak pandang kurang dari 1 kilometer.
Nelayan yang melaut sejak subuh hingga menjelang siang itu biasanya menjadikan bukit, pohon-pohon, ataupun menara telekomunikasi di darat sebagai penanda untuk memperkirakan lokasi pelepasan jaring. Sekarang, penanda itu tak lagi tampak.
Akibat kehilangan penanda, nelayan pun terpaksa meraba-raba di lautan. Mereka tidak dapat memperkirakan dengan tepat titik mana yang aman untuk melepas jaring yang ikannya banyak. Tak jarang nelayan melampaui ataupun tidak sampai ke titik tempat biasa menangkap ikan.
"Bukit tidak lagi tampak. Akhirnya, jaring sembarang buang, dilepas di mana saja. Kalau beruntung, dapat ikan. Kalau tidak, berpenat-penat saja. Kadang-kadang jaring tersangkut di rabo (rumpon)," ujar Candores.
Dalam kondisi normal, Candores bisa mendapatkan lebih dari satu ember sekali melaut. Per ember ikan dihargai Rp 200.000-Rp 350.000 oleh penadah. Namun, sejak kabut asap, sangat sulit untuk dapat ikan setengah ember.
Keluhan soal kabut asap juga diungkapkan Rahim (45), nelayan lainnya. Kehilangan penanda membuat hasil tangkapannya merosot. Sabtu pagi, hasil tangkapan Rahim dihargai Rp 70.000 oleh penadah, sedikit lebih beruntung dibanding Candores.
Rahim mengatakan biasanya ia melepas jaring di jarak 1 mil (1,609 kilometer) dari daratan. Sejak adanya kabut asap, lokasi pelepasan jaring hanya 0,5 mil.
Merosotnya pasokan dari nelayan membuat penadahpun tidak bisa memenuhi permintaan pelanggan. Danil, penadah ikan di TPI mini Wan Hunter mengatakan dalam kondisi normal, TPI bisa mendapat 16-18 ember ikan. Namun, sejak kabut asap, pasokan ikan rata-rata hanya empat ember saja setiap hari. "Kadang permintaan pelanggan tidak terpenuhi karena pasokan terbatas," kata Danil.
Rahim mengatakan, nelayan tidak hanya khawatir tersesat, tetapi juga khawatir jaringnya tersangkut rumpon yang dipasang nelayan pemancing.
Jaring tersangkut rumpon jauh lebih sial dibanding tidak mendapat ikan. Yang membuat nelayan meratap adalah jaring yang tersangkut rumpon tak dapat ditarik lagi. Obat satu-satunya hanya diputus. Padahal, jaring adalah senjata utama nelayan untuk menaklukkan ikan-ikan di lautan.
Yang membuat nelayan meratap adalah jaring yang tersangkut rumpon tak dapat ditarik lagi. Obat satu-satunya hanya diputus.
"Jaring saya sekali pernah tersangkut rabo. Saya tidak bisa memperkirakan lokasi rabo karena penanda hilang akibat kabut asap. Dari 30 set (1 set = 40 meter) jaring yang saya lepas, 10 set tidak selamat. Padahal, satu set jaring saja modalnya Rp 200.000," kata Rahim.
Maka, saat kabut asap menyebar, nelayan tradisional yang hanya mengandalkan penanda alam dan insting saat melaut sangat kesusahan.
"Mudah-mudahan hujan segera turun sehingga kabut asap segera hilang. Kepada pemerintah, kami tidak dapat berharap. Toh meskipun sudah dipadamkan, asapnya tidak hilang-hilang. Hanya penegakan hukum yang kami harapkan ke pemerintah," kata Rahim.