Menanti Atraksi Wisata di Hamparan Kebun
Alam di wilayah Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, menyimpan kekayaan alami yang menunggu untuk dikelola. Di Kelurahan Ulunggolaka, Kecamatan Latambaga, hamparan kebun yang tumbuh menghijau mengikuti kontur bukit, berkelindan dengan daya magis taman wisata alam.
Sebuah paduan kekayaan alam yang menyejukkan mata dan menjadi daya hidup warga. Pemandangan hijau di kiri dan kanan oleh rimbunnya pepohonan yang membentang melewati lembah seolah menutupi bukit.
Pepohonan beraneka rupa melambai di sisi jalan yang menanjak lalu menurun, di Kelurahan Ulunggolaka, beberapa waktu lalu. Wilayah ini bisa dicapai sekitar 30 menit berkendara dari pusat Kabupaten Kolaka.
Deretan pepohonan di sepanjang jalur itu merupakan kawasan perkebunan yang membentang mengikuti kontur alam. Suasana terasa nikmat dan segar ketika tercium aroma khas buah serta tanaman cengkeh dan kakao.
Sisa-sisa buah terakhir durian menggenapi bebauan di antara pohon yang menghijau. Kebun-kebun warga ini berjarak sekitar 5 kilometer dari Taman Wisata Alam (TWA) Mangolo. Taman ini lebih dikenal oleh banyak orang dengan sebutan TWA Keakea.
Sebuah lokasi wisata yang baru dibangun kembali. Kawasan ini dibangun untuk menghidupkan geliat pariwisata baru di Kelurahan Ulunggolaka, Kecamatan Latambaga, Kabupaten Kolaka. Perkebunan dan TWA Keakea adalah kawasan yang sama, tetapi terpisah.
Mirdan, Kepala Bidang Promosi Dinas Pariwisata Kabupaten Kolaka, menjelaskan, selama ini dua lokasi tersebut memang seperti terpisahkan, meski secara jarak berdekatan. Oleh sebab itu, pemerintah mulai menyadari hal itu dan berencana menjadikan kawasan Keakea dan daerah sekitarnya sebagai daerah agrowisata kabupaten secara terpadu.
Menurut Mirdan, rencana induk pengembangan kawasan yang akan menjadi satu kesatuan dengan TWA Keakea ini kini sedang dalam penyusunan. Wilayah perkebunan di Keakea akan diusulkan untuk menjadi kawasan agrowisata.
Hal itu dilakukan, kata Mirdan, karena akan menambah daya tarik wisata di kawasan tersebut. Wisata perkebunan, seperti kakao, cengkeh, durian, langsat, dan berbagai tanaman buah lain akan menjadi modal utama. Pengunjung akan diarahkan untuk berkunjung ke kebun warga, berinteraksi melihat panen kakao atau pengolahan cengkeh sembari menikmati buah-buahan segar.
Nantinya, kawasan ini akan menjadi salah satu wisata andalan. Tahun ini akan dirancang rencana induknya. Tahun depan semoga sudah bisa jalan dengan konsep baru.
”Tidak hanya menyajikan keindahan alam, tetapi juga ada atraksi perkebunan dan interaksi dengan warga. Hal ini juga cara untuk membantu perekonomian warga dengan wisata kebun. Tetapi kami baru mulai dan ada beberapa yang mulai dikerjakan,” ujarnya.
Pemandangan di wilayah ini memang menyejukkan mata. Pengunjung akan menemukan berbagai pengalaman baru dalam sekali perjalanan. Sebuah lokasi tempat berfoto di tepi jalan telah terbangun. Pemandangan lembah hingga laut perairan Kolaka terlihat dari tempat ini.
Aris (36), seorang pengunjung, terlihat asyik berfoto di tempat ini. Meski rutin ke Kolaka setiap bulan, warga Kota Kendari ini baru tahu tempat ini menarik untuk dikunjungi.
”Dulu pernah ke Keakea, tetapi cuma sekali karena tidak ada yang baru. Padahal di sini pemandangan bagus, banyak buah juga ternyata,” ucapnya.
Perjuangan warga
Wisata kebun memang baru direncanakan untuk dikembangkan. Hanya saja, sebelum masa indah itu tiba, petani tetap harus bergelut dengan harga jual produk yang terkadang tidak seharum wangi buahnya.
Di sela-sela rimbun pohon cengkeh, Agus (45) sibuk mengambil daun mati. Daun-daun coklat itu diambil agar tidak menjadi hama bagi tanaman yang sedang berbuah lebat.
Daun-daun itu lalu dikumpulkan di bawah pohon. Masih ada ratusan pohon cengkeh yang harus dibersihkan di lahan seluas 10 hektar milik keluarganya. ”Ada 1.000 pohon cengkeh di sini. Sekarang sudah berbuah, tetapi panennya nanti Juni atau Juli,” ujarnya.
Hanya saja, kata Agus, harga cengkeh tidak semahal dulu. Tahun lalu, harga cengkeh sekitar Rp 85.000 per kilogram. Padahal sebelumnya harga cengkeh pernah mencapai Rp 135.000 per kilogram. Saat ini, harganya masih sekitar Rp 75.000 per kilogram. ”Takutnya, nanti kalau panen besar tambah turun,” kata ayah dua anak.
Bukan hanya cengkeh, di lahan itu juga menjulang pohon-pohon durian dan langsat. Jumlahnya masing-masing ratusan pohon. Sayangnya, buah-buahan ini telah melewati masa panen. Waktu panen harga durian dan langsat tergolong murah di sini.
Kebun yang dikelola Agus mulai berganti jenis. Kali ini kakao. Hasil panen buah kakao ini dikirim ke daerah-daerah industri di Indonesia. Bahkan oleh beberapa perusahaan swasta, kakao dari wilayah Sultra diekspor ke Belanda. Sayangnya, harga kakao saat ini kurang bagus.
Tanah di wilayah ini memang subur dan kaya. Berbagai tanaman tumbuh subur dengan hasil melimpah dan memuaskan. Kebun-kebun yang menghijau ini memanjakan mata.
Di sebuah lokasi yang menjadi salah satu puncak terbaik, terlihat kebun-kebun berderet rapi di lereng bukit. Berhektar-hektar kebun ini memanjang jauh melewati perbukitan, mengikuti lanskap wilayah yang seakan membentengi kawasan.
Alam di Kolaka memang sarat akan berbagai hal menarik. Tanah yang subur lengkap dengan kawasan yang masih alami. Wisata agro dan wisata alam yang asri merupakan paket lengkap keindahan di kawasan ini yang tak tertandingi.
Diharapkan, wisatawan mendapat pengalaman dan petani semakin sejahtera dengan maraknya kunjungan para pelancong. Dengan demikian, diharapkan, ekonomi dan kehidupan wilayah ini nantinya tidak lagi bergantung pada sektor pertambangan semata.
Rakyat semakin sejahtera, alam semakin indah, dan lingkungan tidak dikeduk habis untuk kepentingan komersial. Upaya membangun ekonomi melalui agrowisata jauh lebih menguntungkan secara berkelanjutan ketimbang membiarkan kawasan potensial ditambang habis.
Kerugian yang harus dibayar jauh lebih besar dalam jangka panjang dibandingkan dengan nilai ekonomi sesaat yang didapat. Masyarakat banyak yang berada di kawasan itu berharap janji itu menjadi nyata dan tidak sekadar janji.
Memuliakan alam untuk kepentingan ekonomi dan kelangsungan hidup yang berkelanjutan bagi masyarakat di Konawe Selatan. Kemuliaan itu tidak saja hamparan indah dan hijau, tetapi juga berdaya masyarakat secara budaya, sumber daya manusia, dan ekonomi.