Rambo, Tetes Darah Terakhir
Setelah 11 tahun ”menganggur”, jagoan perang gerilya asal Negeri Uwak Sam, John Rambo (Sylvester Stallone), kembali beraksi di sekuel terbarunya, ”Rambo: Last Blood”. Dibandingkan dengan sebelumnya, kini kisah Rambo lebih bersifat personal, emosional, dan dilatari motif balas dendam pribadi.
Pada pakem cerita-cerita sekuel sebelumnya, Rambo sekadar digambarkan sebagai seorang patriot, yang menumpas musuh di tanah seberang. Sepak terjang purnawirawan pasukan tempur elite Amerika Serikat Baret Hijau itu juga kerap digambarkan terjadi di tanah asing. Bukan di tanah AS.
Sebut saja di sekuel keduanya, Rambo: First Blood Part II (1985), saat Rambo bergerilya menyelamatkan rekan-rekannya dari tawanan pasukan komunis Vietnam Utara di hutan negeri itu. Sementara di sekuel ketiga, Rambo III (1988), sang jagoan bahu-membahu membantu pejuang mujahidin memerangi tentara Uni Soviet di Afghanistan.
Sementara pada sekuel keempatnya, Rambo (2008), si prajurit pasukan khusus berambut gondrong dan tubuh berotot lagi-lagi bergerilya di luar tanah AS, Myanmar, dengan misi utama menyelamatkan rombongan misionaris.
Walau sulit untuk menyebutnya kebetulan, jika diperhatikan dari pakem-pakem tadi, ketiga negara tersebut dipahami menjadi lokasi di mana kekuatan militer AS selalu campur tangan. Kebijakan luar negeri macam itu sudah biasa dilakukan di masa perang dingin saat kekuatan komunis dan kapitalis saling berebut pengaruh.
Sementara di era pascaperang dingin, AS dikenal juga masih menempatkan dirinya sebagai ”polisi dunia”. Film Rambo (2008) bahkan tayang saat pemerintahan mantan Presiden Barack Obama menaruh perhatian besar dan khusus pada negeri eks junta militer, Myanmar. Saat itu AS sangat berkeras pejuang demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, dibebaskan dari tahanan rumahnya.
Pada sekuel terbaru saat ini, kecenderungan munculnya nuansa preferensi kebijakan luar negeri AS juga masih terasa. Dalam Rambo: Last Blood, sang tokoh utama diceritakan harus berhadapan dengan kartel perdagangan manusia dan narkotika Meksiko. Oleh pemerintahan Donald Trump, negeri itu digambarkan sebagai sumber masalah.
Baik karena arus imigran gelap yang masuk hingga masalah kejahatan narkotika, perdagangan manusia, maupun aksi kriminal lain. Pemerintahan Trump yang mengusung kebijakan ”America First” bahkan membuat langkah kontroversial membangun dinding-dinding tinggi di perbatasan serta kebijakan imigrasi ketat dan kerap dianggap tak manusiawi.
Walau hanya beberapa detik, gambaran tentang dinding perbatasan baru yang dibangun di masa pemerintahan Trump muncul di salah satu adegan. Digambarkan pula dengan sangat gamblang ketakutan pihak AS selama ini dengan adegan masuknya sepasukan bersenjata lengkap anggota kartel perdagangan manusia lewat lorong bawah tanah.
Hidup menetap
Memasuki usia senjanya, Rambo digambarkan lebih memilih hidup tenang dan menetap di kawasan di pinggiran Arizona. Bersama asisten rumah tangga, Maria Beltran (Adriana Barraza), dan cucunya, gadis cantik piatu, Gabrielle (Yvette Monreal), mereka hidup di rumah yang sekaligus peternakan kuda (ranch). Sebuah kehidupan yang tenang dan damai bagi seorang Rambo yang tengah menua.
Sesekali Rambo turun ke kota untuk membantu otoritas setempat dengan menggunakan keahliannya yang juga berguna dalam upaya pencarian dan penyelamatan (SAR) saat bencana alam melanda. Rambo yang berubah menjadi seorang koboi sangat menikmati masa tuanya, berkuda dan berbincang bersama Gabrielle. Gadis itu bahkan sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.
Persoalan datang saat Gabrielle meminta izin ingin mencari ayah yang pergi menelantarkan diri dan mendiang ibunya. Dia ingin mencari jawaban, mengapa sang ayah begitu tega kala itu. Keberadaan sang ayah terdeteksi berkat bantuan seorang teman Gabrielle, Jezel (Fenessa Pineda), yang pindah ke Meksiko.
Rambo keberatan lantaran khawatir dengan keselamatan gadis yang telah dia anggap anak itu. Bagi Rambo, seperti juga jadi gambaran umum Sylvester Stallone sebagai penulis naskah film ini, Meksiko adalah tanah tak bertuan tempat sumber beragam jenis kejahatan. Lagi pula, sosok ayah kandung Gabrielle menurut Rambo dan sang nenek, Maria, adalah orang brengsek.
”Aku tak bisa melindungimu di sana,” ujar Rambo dengan gaya bicara khasnya seperti orang berkumur.
Peristiwa tak mengenakkan lantas harus dihadapi Rambo. Jalan cerita membuat Rambo kemudian harus berhadapan dengan kartel perdagangan manusia dan obat bius Meksiko, yang dipimpin kakak beradik Hugo Martínez (Sergio Peris-Mencheta) dan Victor Martinez (Óscar Jaenada).
Dari sanalah ketegangan dibalut adegan berdarah-darah khas aksi Rambo sebelumnya dimulai. Apalagi, dibumbui pula dengan keterampilan Rambo membuat dan memasang berbagai jenis jebakan mematikan, yang membuat musuh tidak sekadar mati, tetapi dalam kondisi menyakitkan dan mengenaskan.
Sang sutradara, Adrian Grunberg, tampaknya sangat mengerti dan bisa menangkap kemauan Stallone, yang juga berperan sebagai salah satu penulis naskah sekuel terbaru Rambo kali ini. Walau kerap terlibat sebagai asisten sutradara dari banyak film yang dibintangi pemain terkenal, film Rambo: Last Blood adalah debut Grunberg sebagai sutradara penuh.
Beberapa film besar yang pernah ikut digarap Grunberg sebelumnya di antaranya Apocalypto (2006) yang digarapnya bersama Mel Gibson, Man on Fire (2004) yang dibintangi Denzel Washington, Get The Gringo (2012) yang dibintangi dan ditulis naskahnya oleh Mel Gibson, serta Jack Reacher: Never Go Back (2016) bersama Tom Cruise.
Dalam film sekuel Rambo ini, Grunberg mampu menggambarkan kemarahan sang tokoh utama saat menghadapi kartel. Dia bahkan berhasil mengangkat kemarahan tadi dalam tingkat kebrutalan di level selanjutnya. Kengerian tak lagi sekadar diwakili adegan penuh darah akibat terjangan peluru atau ledakan bom.
Kengerian digambarkan dengan sangat rinci dan bahkan sampai membuat bulu kuduk berdiri, terutama saat Grunberg menghadirkannya di beberapa adegan yang mewakili kemurkaan sang Rambo. Dalam sebuah wawancara di akun Youtube situs www.mulderville.net, Grunberg menyebut dirinya besar di era film-film aksi ala Rambo yang tengah menjamur kala itu.
”Saya ini generasi pertama penggemar film-film Rambo. Sekuel ini adalah yang pertama kali Rambo diceritakan berurusan dengan isu keluarga. Melihatnya dalam kondisi seperti itu benar-benar memberi nuansa lain pada ceritanya,” ujar Grunberg.