Saga Pura-pura
Politik dan lingkungan istana simbol puncak kekuasaan itu penuh intrik tipuan dengan kepura-puraan yang nyaris sempurna. Pementasan seni pertunjukan Indonesia Kita lewat lakon ”Toean Besar” menyuguhkan drama komedi.
Politik dan lingkungan istana simbol puncak kekuasaan itu penuh intrik tipuan dengan kepura-puraan yang nyaris sempurna. Pementasan seni pertunjukan Indonesia Kita lewat lakon ”Toean Besar” menyuguhkan drama komedi membongkar kepura-puraan dengan kepura-puraan.
Adegan bermula dengan berkumpulnya para punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, yang disuguhkan surealistik sebagai para jurnalis istana kerajaan. Tak pelak, dialog para punakawan itu pun sempat menyerempet profesi jurnalistik serta kondisi nyata perusahaan media tempat mereka bekerja.
Di situ, mereka mendengarkan berita dari sebuah radio. Disebutkan di radio acara Sari Berita Tidak Penting tentang rencana pemindahan ibu kota yang sudah mengantongi semua syarat perizinan. Namun, masih satu perizinan yang belum dimiliki, yaitu surat izin pemindahan ibu kota dari ”Bapak” Kota.
Sari berita lainnya tentang obat kuat. Ini terkait dengan isu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengalami pelemahan dan membutuhkan obat kuat.
Sari berita ketiga tentang rencana Gubernur DKI Jakarta mengirimkan tenaga bantuan untuk menanggulangi bencana asap dari kebakaran hutan di Sumatera. Di situ disebutkan, seperti di Jakarta, untuk mengurangi paparan asap, agar diberlakukan jalur lintasan ganjil dan genap bagi asap.
Inilah humor satir kontekstual yang menjadi kekhasan pementasan Indonesia Kita. Pementasan ke-33 sejak 2011 ini digarap tim kreatif Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Djaduk Ferianto, dan Putu Fajar Arcana.
”Menyaksikan pementasan ini boleh tertawa sambil diam-diam berdoa. Berdoa untuk keselamatan korban bencana asap,” ujar Butet Kartaredjasa ketika membuka pementasan lakon ”Toean Besar”, Jumat (20/9/2019), di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pementasan digelar pada hari berikutnya pula. Butet mengingatkan, materi pementasan kali ini banyak candaan yang terkait dengan latar suku bangsa dan ras yang kini menjadi sensitif.
Di era sebelumnya, menurut Butet, sekitar 1950 sebagai masa keemasan candaan berlatar perbedaan suku dan rasial. Namun, candaan tersebut tidak mencederai kemesraan sosial. ”Menyaksikan pertunjukan ini dengan tertawalah, tanpa menyimpan amarah,” ujar Butet.
Tuan Besar
Adegan selanjutnya bertolak dari para punakawan yang jurnalis itu. Seperti biasa, mereka mencari berita dengan menemui dan mewawancarai Baginda Raja, tetapi kali ini Baginda Raja tidak bersedia menerima mereka.
”Baginda maunya ketemu Tuan Besar. Saya punya strategi, kita harus menyamar sebagai Tuan Besar untuk bertemu Baginda,” ujar jurnalis Semar, diperankan Putu Fajar Arcana yang kesehariannya berprofesi sebagai jurnalis itu.
Tim kreatif Indonesia Kita selain menghadirkan para pemain dari dunia seni pertunjukan, juga para jurnalis dari sejumlah media nasional. Selain Putu Fajar Arcana, ada Al Sobry, Benny Benke, Budi Adiputro, Dwi Sutrarjanto, Amie Ardhini, dan Erin Metasari.
Penampil lainnya, yaitu Cak Lontong (Lies Hartono), Akbar (Insan Nur Akbar), Marwoto, Wisben Antoro, Joned, Mucle Katulistiwa, Inaya Wahid, Boris Bokir, Putri Minangsari, Abdur Arsyad, dan Joind Bayuwinanda. Kelompok tari Josh Marcy Company dan kelompok Jakarta Street Music asal Jakarta turut dilibatkan.
Alkisah, rencana kehadiran Tuan Besar di istana menjadi rumor yang santer beredar. Baginda Raja yang diperankan Joind Bayuwinanda akhirnya menghilang dan tak bersedia menerima tamu selain Tuan Besar yang juga tak kunjung tiba.
Ketika para punakawan berusaha menemui Baginda Raja, adegan di panggung digantikan munculnya sosok Inaya Wahid yang berperan sebagai pembantu istana. Ia ditemani seorang badut.
Orang dalam
Dalam lakon ini, komedian Cak Lontong dan Akbar tampil mengocok perut penonton. Latar adegan mereka ada di istana untuk menemui ”orang dalam”, yang akan membantu mereka untuk menghadap Baginda Raja.
”Kamu janjian sama orang dalamnya jam berapa?” tanya Akbar.
”Setengah empat,” kata Cak Lontong.
”Sekarang baru jam dua,” kata Akbar.
”Ya, pas sekarang,” kata Cak Lontong.
Itulah humor khas mereka. Cak Lontong memainkan logika kata. Yang dimaksudkan jam setengah empat itu angka setengah yang dijajar empat jumlahnya menjadi dua. Jam setengah empat bagi Cak Lontong sama dengan jam dua. Benar, juga!
Orang dalam yang dimaksud ternyata Inaya, pembantu rumah tangga istana. Akan tetapi, usaha untuk menemui Baginda Raja menemui jalan buntu. Baginda Raja hanya mau menemui Tuan Besar. Cak Lontong dan Akbar akhirnya berniat serupa dengan para punakawan yang jurnalis itu, yaitu ingin menyamar sebagai Tuan Besar supaya bisa diterima Baginda Raja.
Begitu pula, kedatangan keluarga kaya Marwoto dan keempat anaknya di istana juga tidak diterima Baginda Raja. Marwoto dan keluarganya pun turut berniat ingin menyamar sebagai Tuan Besar. Sementara, Tuan Besar yang dinanti Baginda Raja tetap saja masih misterius. Baginda Raja sendiri menghilang.
Saling menyamar
Para penyamar Tuan Besar akhirnya bertemu di istana. Mereka antre untuk menghadap Baginda Raja. Di tengah antrean itu, tiba-tiba muncul sosok badut yang menyapa para penyamar. Para tetamu itu pun menolak bertegur sapa dengan Sang Badut. Akhirnya, Sang Badut bertopeng tersebut membuka kedoknya. Dia ternyata adalah Sang Baginda Raja.
”Kalian pikir, Tuan Besar itu orang-orang yang kaya raya. Sebenarnya, Tuan Besar kita adalah rakyat. Rakyat yang selama ini kita permainkan nasibnya,” ujar Baginda Raja.
Inilah akhir kisah pementasan ”Toean Besar”. Baginda Raja sebagai penguasa membongkar kepura-puraan orang lain yang memiliki banyak kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan kepura-puraan pula.
Sutradara pementasan, Agus Noor, mengatakan, hal ini relevan dengan keadaan sekarang. Banyak selubung kepentingan yang akhirnya membuat orang berpura-pura atau mengubah dirinya terhadap pemegang kekuasaan.
”Mereka sering lupa dengan kepentingan rakyat,” kata Agus Noor.
Lakon ini menggambarkan situasi yang tengah terjadi. Ada yang semula bermusuhan, kemudian berubah menjadi berteman. Ada yang semula kompak, tiba-tiba menikung begitu melihat peluang. Pada akhirnya, mereka saling berbohong dan saling menipu. Mereka menghalalkan berbagai cara demi meraih tujuan serta kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Membongkar kepura-puraan bisa dengan cara kepura-puraan. Dan, patutlah diwaspadai ketika kepura-puraan nyaris sempurna sebagai kedok kejahatan yang nyaris sulit dibongkar.