Status Komisioner Bukan Penyidik dan Penuntut Masih Jadi Sorotan
›
Status Komisioner Bukan...
Iklan
Status Komisioner Bukan Penyidik dan Penuntut Masih Jadi Sorotan
Legalitas penyadapan oleh Dewas juga akan digugat karena bukan aparat penegak hukum yang menjadi bagian dari sistem peradilan pidana.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah disahkan menjadi undang-undang, masih ada sejumlah hal yang mendapat sorotan. Khususnya terkait hilangnya peran komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penyidik dan penuntut umum serta status Dewan Pengawas KPK yang dinilai tidak jelas.
”Kalau kita perhatikan rumusan UU KPK yang sekarang memang banyak pertanyaan yang timbul di KPK sendiri. Salah satu yang banyak mendapat perhatian khusus adalah komisioner KPK bukan penyidik dan penuntut umum lagi,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif,Minggu (22/9/2019), saat dihubungi Kompas di Jakarta.
Peran komisioner KPK sebagai penyidik dan penuntut umum hilang setelah UU KPK baru menghilangkan Pasal 21 Ayat 4 UU No 30/2002. Pasal tersebut menyebutkan, pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum.
Fungsi Dewan Pengawas (Dewas) pun dinilai bukan sebagai pengawas, melainkan sebagai eksekutor. Sebab, Dewas memiliki kewenangan memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Laode menyoroti, sekalipun Pasal 37B Ayat 1b UU KPK yang baru disebutkan, Dewas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan, tetapi statusnya tidak disebutkan. Padahal, yang bisa melaksanakan tugas tersebut adalah aparat penegak hukum.
”Memang ada beberapa tugas Dewas itu untuk memeriksa etik, tetapi khusus untuk penindakan, dia (Dewas) ini bukan pengawas, melainkan pelaku pelaksana. Jadi, sebenarnya siapa yang akan melakukan fungsi pengawasan terhadap Dewas? Ini betul-betul sangat rancu,” tuturnya.
Keadaan ini dinilai akan memperpanjang rentang kendali dan mengaburkan semua kewenangan komisioner KPK. Dengan begitu, penanganan korupsi, yang merupakan ”kejahatan cepat” karena transfer uang dapat dilakukan dalam hitungan menit, bahkan lintas negara, akan menjadi terhambat.
”Kami (komisioner KPK) tidak alergi untuk diawasi, tetapi model pengawasannya seperti apa yang harus dipikirkan. Karena yang ada (dalam UU KPK baru) sekarang itu bukan pengawasan, melainkan model manajemen yang dipindahkan ke Dewas,” kata Laode.
Mudah diintervensi
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan, secara politik, keberadaan Dewas yang dipilih dan diangkat langsung oleh presiden akan membuat proses hukum ke depan mudah diintervensi oleh kekuasaan. Bukan tidak mungkin, akan ada tudingan kepada presiden dalam perkara yang ditangani KPK.
”Presiden akan dituding sebagai orang yang memasang kasus dan mengatur substansi perkara di KPK. Itu yang membahayakan karena KPK nanti juga akan diletakkan sebagai lembaga eksekutif bukan independen lagi,” kata Donal.
Selain itu, UU KPK yang baru juga rawan menimbulkan gugatan-gugatan praperadilan dasar untuk menaikkan perkara di level KPK. Bukan karena soal alat bukti, melainkan karena perkara administrasi di internal KPK.
”Kalau gelar perkara dilakukan oleh komisioner KPK dan diputuskan naik, apa dasar pimpinan KPK memutuskan perkara naik? Toh, mereka bukan penyidik. Akan banyak sekali gugatan perkara dikaitkan dengan prosedur formal di internal KPK,” kata Donal.
Legalitas penyadapan oleh Dewas juga akan digugat karena bukan aparat penegak hukum yang menjadi bagian dari sistem peradilan pidana. Bahkan, Komisi Kejaksaan dan Komisi Polisi Nasional sebagai pengawas pun tidak berwenang memberikan izin atas penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Menambah kewenangan
Anggota Badan Legislatif DPR dari Fraksi Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, menanggapi bahwa tidak ada satu pun kewenangan yang dihilangkan dari komisioner KPK dalam UU KPK. ”Kami tidak mengutak-atik wewenang sebelumnya, cuma menambahkan,” ujarnya.
Menurut dia, salah satu penambahan kewenangan komisioner KPK dalam UU KPK yang baru, yaitu dengan pembentukan Dewas. Dewas juga merupakan bagian integral dari KPK.
”Soal pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh Dewas, itu sesuatu yang lain (tetap termasuk fungsi pengawasan). Tidak mengurangi sama sekali (kewenangan komisioner KPK) karena dalam sistem demokrasi itu sesuatu yang melekat,” kata Taufiqulhadi.
Tim transisi
Sebagai respons dari UU KPK yang telah disahkan DPR, Laode menyampaikan, saat ini KPK sudah mulai memetakan dan mempelajari pasal-pasal yang dinilai bermasalah. Tim transisi yang terdiri atas anggota struktural KPK juga akan mengundang para ahli dalam membahasnya.
”Pembentukan tim transisi ini kami upayakan agar komisioner KPK yang akan datang, bekerjanya dengan jelas. Kasihan mereka kalau datang harus meraba-raba lagi,” katanya.
Kerja tim transisi ditargetkan selesai awal November 2019 sebelum peralihan kepemimpinan pada Desember 2019. Tujuan dari kerja tim transisi adalah menyesuaikan struktur dalam KPK serta akan memberikan beberapa rekomendasi kepada presiden dan DPR jika diperlukan.
Namun, Laode menegaskan masih sangat berharap agar UU KPK dipikirkan kembali oleh Presiden. ”Kalau Presiden memang menyetujui bahwa masih ada pasal-pasal bermasalah, maka dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan UU ini,” tuturnya.