UU KPK Hasil Revisi Rancu, Rentan Timbulkan Ketidakpastian Hukum
›
UU KPK Hasil Revisi Rancu,...
Iklan
UU KPK Hasil Revisi Rancu, Rentan Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Komisi Pemberantasan Korupsi yang meski dikatakan independen, namun dalam pelaksanaan penyidikan dan penuntutan harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lain.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah disahkan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat terus memunculkan perdebatan. Salah satunya, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi yang meski dikatakan independen, namun dalam pelaksanaan penyidikan dan penuntutan harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lain.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menyampaikan, substansi dalam UU KPK yang baru memunculkan ambiguitas dan pasal-pasal yang saling bertolak belakang. Dalam hal penyidikan, penyidik KPK nantinya harus berkoordinasi dengan Kepolisian.
“UU KPK yang lama itu tidak mensyaratkan adanya koordinasi dengan Kepolisian kalau melakukan penyidikan tetapi di UU yang baru, pasal itu dihapuskan. Artinya, penyidik KPK akan berkoordinasi dengan Kepolisian,” kata Oce saat dihubungi dari Jakarta, Senin (23/9/2019).
Dalam UU KPK sebelum direvisi, dalam Pasal 38 Ayat (1) menyebutkan bahwa “Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Selain itu, dalam Pasal 38 Ayat (2) dikatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini”.
Pasal 7 Ayat (2) KUHAP itu mengatur bahwa Penyidik PNS (PPNS), selain polisi, dalam melakukan penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian. Oce menjelaskan, dalam Pasal 38 UU KPK yang lama, ketentuan Pasal 7 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak berlaku bagi penyidik KPK.
“Awalnya ketentuan KUHAP telah dihapus, namun ketentuan itu berlaku lagi karena Pasal 38 UU KPK yang baru tidak mengecualikan. Dengan begitu, penyidik KPK harus berkoordinasi dengan Kepolisian dalam penyidikan,” kata Oce.
Dalam UU KPK baru Pasal 38 dikatakan, segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK, kecuali ditentukan lain berdasarkan UU ini.
Status dari penyidik yang nantinya akan menjadi anggota Aparatur Sipil Negara juga dinilai berpotensi menimbulkan persoalan. Sebab, status penyidik akan menentukan mekanisme penyidikan termasuk kewenangan-kewenangan penyidik.
Dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 1 menyebut bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Status dari penyidik yang nantinya akan menjadi anggota Aparatur Sipil Negara juga dinilai berpotensi menimbulkan persoalan
Sementara dalam UU KPK hasil revisi, Pasal 24 Ayat (2) menyatakan, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps Profesi Pegawasi ASN Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Status ASN sendiri tidak tegas disebutkan dalam KUHAP, yang disebutkan dalam KUHAP adalah PPNS, tidak dikenal penyidik ASN. Sehingga ini menjadi membingungkan, apakah dia (penyidik ASN) sama dianggap dengan penyidik PNS atau menjadi hal baru, yaitu penyidik ASN,” tutur Oce.
Koordinasi penuntutan
Begitu pun dengan penuntutan yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Memang tidak secara eksplisit dikatakan, namun Pasal 12A dalam UU KPK hasil revisi menunjukkan koordinasi yang harus dilakukan. Dalam Pasal 12A dikatakan bahwa penuntut pada KPK melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, penuntutan harus berkoordinasi dengan Kejaksaaan Agung.
“Lagi-lagi ini tidak jelas. Apakah KPK boleh menuntut sendiri karena dia punya fungsi penuntutan atau harus tunduk pada Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan. Kalau harus berkoordinasi, tentu KPK tidak bisa melakukan sendiri penuntutan dan akan berpengaruh pada kewenangan KPK,” tutur Oce.
“Kelembagaan KPK ini menjadi aneh karena bertentangan dengan pasal awal di KPK, yaitu KPK menjalankan tugas secara independen. Tetapi ternyata dalam penyidikan dan penuntutan harus berkoordinasi dengan dua institusi lain,” kata Oce.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz juga menyoroti bahwa Pasal 12A memang menyelipkan arti bahwa penuntutan harus dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung. Namun, koordinasi yang dimaksud tidak dijelaskan secara detail.
“Koordinasi dalam pasal ini samar dan kabur, tidak dijelaskan sehingga jelas bahwa UU ini mau memangkas dan mengaburkan aspek-aspek penindakan KPK. Itu yang mau ditonjolkan dalam UU ini sesungguhnya,” ujar Donal.
Aturan Usia
Ditambah soal salah satu syarat pimpinan KPK yang harus berusia minimal 50 tahun. Dalam UU KPK yang baru Pasal 29e disebutkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi syarat berusia paling rendah 50 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.
Ketidakpastian usia minimal ini juga menimbulkan ketidakjelasan. Namun, apabila batas minimalnya adalah 50 tahun, maka salah satu Komisioner KPK yang dipilih, ada yang masih berusia 45 tahun, yaitu Nurul Ghufron. Setelah dikonfirmasi, tanggal kelahiran Ghufron, yaitu pada 22 September 1974.
Menurut Oce, kerancuan-kerancuan ini menunjukkan UU KPK hasil revisi masih bermasalah secara prosedural. Kerancuan ini berimplikasi menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga setiap kasus yang ditangani KPK akan diperkarakan.
“Memang banyak sekali masalah di UU ini, Presiden sebaiknya terbitkan Perppu, sama seperti RUU KUHP, harusnya dibatalkan saja UU KPK ini,” tegas Oce.
Menanggapi ketentuan ini, Anggota Badan Legislatif DPR Fraksi Nasdem Taufiqulhadi mengatakan, batas minimal 50 tahun agar Pimpinan KPK merupakan orang yang bijak. Berdasarkan filosofi, semakin tua seseorang maka semakin tidak punya konflik kepentingan yang besar.
“Ghufron telah ditetapkan oleh paripurna DPR sebelum UU KPK disahkan kemudian. Tentu saja UU itu tidak berlaku surut. Jadi Ghufron tidak terimplikasi UU KPK yang baru direvisi,” kata Taufiqulhadi.