Sebagian besar kasus kebakaran hutan dan lahan terparah yang pernah terjadi di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar kasus kebakaran hutan dan lahan terparah yang pernah terjadi di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia. Kasus ini terus terjadi secara berulang. Hal ini menandakan penegakan hukum yang berjalan belum menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan, pemerintah terus memperkuat upaya penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Upaya ini dinilai sangat penting untuk meningkatkan efek jera dan membentuk budaya kepatuhan di Indonesia.
”Kita harus memberikan efek jera yang paling keras bagi para pelaku pembakaran hutan dan lahan, baik bagi perorangan maupun korporasi. Namun, penegakan hukum ini akan lebih efektif jika semua pihak menerapkan dengan tegas, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga kepolisian,” ujarnya dalam acara Forum Merdeka Barat 9 yang mengangkat tema ”Tanggap Bencana Karhutla”, di Jakarta, Senin (23/9/2019).
Dalam upaya penegakan hukum karhutla, pelibatan pemda dengan pemberian sanksi administrasi perlu semakin didorong. Sanksi ini bisa diberikan dengan penghentian kegiatan, pembekuan izin, dan pencabutan izin operasional pada lahan yang terbakar. Selama ini sanksi administrasi dengan pencabutan izin belum pernah dilakukan. Saat ini baru Pemerintah Provinsi Kalimatan Barat yang mulai memproses sanksi tersebut.
Rasio menambahkan, pemerintah semakin mendorong penguatan efek jera bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan dengan menerapkan pidana tambahan. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pidana tambahan yang bisa diberlakukan adalah dengan perampasan keuntungan setelah dilakukan penyegelan dan uji forensik geospasial di lahan yang terbakar.
”Pidana tambahan dengan perampasan keuntungan bisa diberlakukan jika pada suatu lahan terbukti dikelola menjadi perkebunan, padahal sebelumnya pernah terbakar. Dari uji foresik geospasial bisa memperlihatkan hal ini,” katanya.
Selain itu, keterlibatan semua pihak dalam memaksimalkan penegakan hukum diharapkan dapat memperluas skala penindakan bagi para pelaku karhutla. Implementasi atas regulasi yang terkait bisa dimaksimalkan dalam penindakan, seperti pada UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sejak 2 Agustus 2019 sampai 19 September 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyegel 52 perusahaan pemegang izin konsesi dengan total area 8.931 hektar yang tersebar di enam provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Dari 52 perusahaan tersebut, 14 perusahaan di antaranya milik asing.
Sejak 2 Agustus 2019 sampai 19 September 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyegel 52 perusahaan pemegang izin konsesi dengan total area 8.931 hektar
Selain itu, penyidikan juga dilakukan pada lima perusahaan dan satu orang pemilik izin konsesi. Lima perusahaan tersebut adalah PT SKM (Kalbar), PT ABP (Kalbar), PT AER (Kalbar), PT KS (Kalteng), dan PT IFP (Kalteng).
Salah satu wilayah yang juga terdampak kebakaran hutan dan lahan adalah Provinsi Jambi. Sejak 1 Januari-17 September 2019, luas lahan yang terbakar mencapai 1.792 hektar. Jumlah ini meningkat pesat dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 970 hektar pada 2018 dan 579 hektar pada 2017.
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi Apani Saharudin menuturkan, dari pantauan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), hampir di seluruh wilayah Jambi terdapat titik api. Titik tersebut paling banyak ditemukan di Kabupaten Muara Jambi dengan luas mencapai 1.157 titik api.
”Tantangan dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Jambi cukup besar, terutama karena sebagian besar merupakan lahan gambut. Hanya dengan puntung rokok saja bisa terbakar dengan mudah. Sementara perembetan api sangat cepat di dalam lahan gambut,” ucapnya.
Menurut dia, kesadaran masyarakat untuk mencegah kebakaran di lahan gambut masih sangat minim. Sebagian masyarakat lebih memilih membuka lahan dengan cara dibakar dengan alasan lebih murah dan efisien dalam menyuburkan lahan. Padahal, kerugian yang terjadi dari kebakaran tersebut jauh lebih besar karena menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan perekonomian masyarakat.
Untuk itulah, penerapan teknologi dalam upaya mitigasi dan pencegahan kebakaran lahan untuk membuka lahan gambut perlu diterapkan secara masif. Saat ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan inovasi BioPeat untuk menyuburkan lahan gambut tanpa dibakar. Meski begitu, penerapan teknologi masih terbatas.
”Pemanfaatan pupuk hayati BioPeat pada lahan gambut mampu meningkatkan pH tanah sehingga bisa menyuburkan lahan gambut tersebut tanpa harus dibakar. Lahan yang telah diberi pupuk ini dapat dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan. Diharapkan, inovasi ini juga berguna mencegah kebakaran hutan dan lahan yang dipicu oleh pembukaan lahan dengan cara dibakar,” tutur Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Yudi Anantasena.