Masyarakat Adat Sumut Tolak Pengesahan RUU Pertanahan
›
Masyarakat Adat Sumut Tolak...
Iklan
Masyarakat Adat Sumut Tolak Pengesahan RUU Pertanahan
Masyarakat adat dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang terdiri dari sekitar 1.500 orang berunjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan, di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019).
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Masyarakat adat dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang terdiri dari sekitar 1.500 orang berunjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan, di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019). RUU Pertanahan dinilai mempersulit klaim wilayah adat dan lebih mengakomodir pemodal untuk menguasai tanah.
“Masyarakat adat selama ini menghadapi konflik agraria yang tidak pernah selesai. Konflik pun selalu merugikan masyarakat adat. Saat ini malah dibuat RUU Pertanahan yang lebih mempersulit kami mendapatkan hak ulayat,” kata Mangitua Ambarita, masyarakat adat dari Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun.
Unjuk rasa itu dihadiri oleh masyarakat adat yang datang dengan bus dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Mereka berkumpul di Lapangan Merdeka Medan lalu berjalan ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumut. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian adat dan memperdengarkan musik tradisional.
Masyarakat adat selama ini menghadapi konflik agraria yang tidak pernah selesai. Konflik pun selalu merugikan masyarakat adat. Saat ini malah dibuat RUU Pertanahan yang lebih mempersulit kami mendapatkan hak ulayat, kata Mangitua Ambarita
Para pengunjuk rasa juga menyampaikan aspirasi dengan berorasi, membentangkan spanduk, dan mengangkat poster. Sesampainya di Gedung DPRD Sumut, kelompok masyarakat adat pun melakukan ritual membakar kemenyan dan mempersembahkan jeruk purut. “Kami meminta agar Tuhan memihak kepada masyarakat adat,” kata Mangitua.
Unjuk rasa itu diikuti antara lain Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Perempuan AMAN Sumut, Persatuan Petani Siantar Simalungun, dan Serikat Petani Serdang Bedagai. Sejumlah lembaga juga tergabung dalam aksi itu seperti Lembaga Bantuan Hukum Medan, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut, Hutan Rakyat Institut, Wahana Lingkungan Hidup Sumut, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, dan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia.
Menghapus hukum adat
Direktur Eksekutif Walhi Sumut Dana Tarigan menilai, RUU Pertanahan menghapus hukum adat sebagai pengaturan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah. RUU Pertanahan menghilangkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat.
RUU Pertanahan juga dinilai mempersulit pengukuhan hak ulayat dari masyarakat adat karena harus melalui proses yang sulit yakni peraturan daerah (perda) provinsi dan perda kabupaten. “RUU Pertanahan ini semangatnya untuk mengurangi bahkan menghilangkan hak ulayat masyarakat adat, tetapi memberi ruang lebih luas bagi pemodal,” katanya.
Dana mengatakan, pemerintah seharusnya berfokus menyelesaikan konflik agraria yang cukup luas terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Menurut catatan Hutan Rakyat Institut, sepanjang 2014-2018, di Sumut ada 106 kelompok masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri dengan luasan sengketa 346.648 hektar.
Para pengunjuk rasa itu diterima oleh tiga orang anggota DPRD Sumut yakni M Faisal (Fraksi PAN), Rahmansyah (Fraksi Nasdem), dan Abdulrahim Siregar (Fraksi PKS). “Kami akan menghadap pimpinan sementara DPRD Sumut untuk menyampaikan aspirasi masyarakat adat ini. Kewenangan pengesahan RUU ada di DPR RI,” kata Abdulrahim.