Memanen Kembali Kejayaan Rojolele Klaten
Minggu (22/9/2019), warga Desa Delanggu, ramai mendatangi lapangan Dusun Kebonsari di Desa Delanggu. Hari itu digelar perayaan budaya tani Festival Mbok Sri Mulih (FMSM), yang diadakan sejak Sabtu (21/9/2019).
Padi Rojolele kini menjadi tanaman langka di Desa Delanggu, Kecamatan Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Di seluruh wilayah Klaten, Rojolele sulit ditemukan. Meski berasnya berharga tinggi, petani enggan menanamnya. Padahal, karena si Rojolele yang wangi dan pulen itulah beras Delanggu melegenda. Pemerintah Kabupaten Klaten pun berupaya membangkitkan kejayaan Rojolele.
Minggu (22/9/2019), warga Desa Delanggu, ramai mendatangi lapangan Dusun Kebonsari di Desa Delanggu. Hari itu digelar perayaan budaya tani Festival Mbok Sri Mulih (FMSM), yang diadakan sejak Sabtu (21/9/2019). Festival ini digagas Sanggar Rojolele yang bergerak dalam pendampingan petani di Delanggu.
Minggu itu, sekitar 1.000 orang warga Delanggu mengikuti kirab budaya Mbok Sri Mulih dan upacara tradisi wiwitan. Kirab ini disemarakkan ogoh-ogoh berukuran besar. Ada ogoh-ogoh hama wereng, raksasa, kerbau, hingga memedi sawah yang turut diarak.
Peserta kirab berjalan menyusuri daerah persawahan padi, kemudian diadakan upacara wiwitan. Tradisi ini diadakan sebelum panen padi dengan memanjatkan doa-doa agar hasil panen melimpah. Festival tahunan yang telah digelar untuk ketiga kalinya ini menyedot perhatian warga Delanggu. Warga, orangtua maupun anak-anak berbondong-bondong datang menyaksikan seluruh rangkaian acara.
Eksan Hartanto, pendiri Sanggar Rojolele menuturkan, FMSM merupakan sebuah upaya menguatkan gotong-royong, guyub, dan rukun di antara masyarakat Desa Delanggu. Dengan nilai-nilai itu, warga diyakini bisa bahu-membahu mencari solusi menghadapi setiap masalah pertanian. “Karena itu, kami melibatkan petani dalam festival ini,” katanya.
Sebelum digelar FMSM, kelompok tani di Delanggu mati suri selama tujuh tahun sehingga kekompakan petani melemah. Mereka kesulitan mencari solusi ketika menghadapi berbagai deraan masalah, misalnya saat muncul serangan hama wereng hingga soal kekurangan air ketika kemarau.
Setelah rangkaian proses penelitian panjang selama enam tahun, akhirnya berhasil dilahirkan tiga calon varietas baru Rojolele, yaitu Srinuk, Srinar, dan Sriten.
Sejak FMSM pertama digelar, petani diajak lagi untuk menghidupkan kelompok-kelompok tani. Kegiatan kelompok tani diisi jagongan (ngobrol) tani dan pendampingan.
“Festival ini untuk membawa ruh Mbok Sri (Dewi Sri, dewi padi) ke tengah-tengah masyarakat Desa Delanggu. Maksudnya untuk membangkitkan semangat para petani bersama-sama mengembalikan kejayaan pertanian padi di Delanggu,” kata Eksan.
Pertanian padi di Delanggu pernah mengalami puncak kejayaan lewat varietas Rojolele. Padi lokal itu tumbuh subur di Delanggu. Rojolele yang pulen dan wangi membuat beras Delanggu tenar. Sisa kejayaan dan ketenaran itu kini masih tersisa di karung-karung beras bertuliskan “Beras Delanggu”.
“Dulu, kebanyakan yang ditanam di Delanggu adalah Rojolele. Karena itu sudah jadi ciri khas Delanggu adalah beras Rojolele. Sekarang ini umumnya yang ditanam bermacam-macam, ada IR 64, Menthik Wangi, dan lainnya,” kata Kepala Desa Delanggu, Purwanto.
Seingat Purwanto, pada tahun 1988, masih ada petani menanam padi Rojolele di Delanggu walaupun tidak banyak. Namun, setelah itu, Rojolele kian sedikit ditanam. Petani enggan menanamnya karena umur tanamnya terhitung lama, yaitu hingga lima bulan.
Rojolele juga rentan serangan hama. Jika sampai terserang hama wereng maupun tikus, petani dipastikan rugi besar. Karena itu, meskipun harga jual beras Rojolele jauh lebih tinggi dibanding beras varietas lain, petani tetap meninggalkan Rojolele. Rojolele merupakan beras premium dengan harga di kisaran Rp 14.000 per kilogram.
Menggandeng Batan
Pemerintah Kabupaten Klaten tidak tinggal diam. Sejak tahun 2013, mereka bekerjasama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) mengadakan penelitian padi Rojolele.
Kepala Bidang Penelitian, Pengembangan, Pengendalian dan Evaluasi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Klaten, Muhammad Umar Said mengatakan, penelitian itu diharapkan menghasilkan varietas Rojolele baru yang memiliki umur tanam lebih pendek sehingga petani bersedia lagi menanam padi unggul tersebut. Berdasarkan survei lapangan Bappeda, padi Rojolele saat ini hanya ditanam di beberapa petak sawah oleh salah satu keluarga di Karanganom, Klaten.
Setelah rangkaian proses penelitian panjang selama enam tahun, akhirnya berhasil dilahirkan tiga calon varietas baru Rojolele, yaitu Srinuk, Srinar, dan Sriten. Srinuk dan Srinar dinyatakan lulus uji dalam sidang pelepasan varietas tanaman pangan di Kementerian Pertanian, Juni 2019.
Pemkab Klaten dan Batan telah mengurus dokumen kepemilikan varietas Srinuk, Srinar, dan Sriten.
Dua varietas baru ini memiliki umur tanam 110 hari, lebih pendek dari varietas Rojolele induk, 155 hari. “Masa tanam sudah terpotong 45 hari atau 1,5 bulan. Dulu masyarakat malas menanam Rojolele karena harus nunggu lama hingga bisa panen. Lamanya masa tanam berpengaruh ke pemeliharaan dan tenaga sehingga kini jarang ada petani mau nanam Rojolele induk,” katanya.
Menurut Umar, penelitian awalnya dilakukan untuk memperpendek umur tanam. Namun, teknologi yang diterapkan Batan ternyata juga bisa memperpendek batang Rojolele. Ukuran batang Srinuk dan Srinar hanya sekitar 110-115 cm, lebih pendek dari Rrojolele induk setinggi 160 cm.
“Ukuran tinggi ini pengaruhnya ke rebah batang. Semakin tinggi batang, semakin gampang rebah. Uji coba tanam varietas yang baru tidak ditemui kasus rebah batang kecuali ada puting beliung,” tuturnya.
Tak hanya itu, produktivitas Srinuk dan Srinar juga lebih tinggi. Keduanya bisa menghasilkan 9-10 ton gabah kering panen (GKP) per hektar (ha). Di lahan dengan air irigasi minim, Srinuk dan Srinar masih bisa menghasilkan 8 ton GKP per ha. “Rojolele induk itu produktivitasnya berkisar 6-7 ton GKP per hektar,” kata Umar.
Lebih penting lagi, ujar Umar, kualitas beras Rojolele tidak menurun. Rojolele Srinuk dan Srinar tetap wangi dan pulen sama seperti varietas induknya. Untuk menguji pasar, Pemkab Klaten mengundang para pelaku usaha katering dan perberasan. Hasilnya, beras Srinuk dan Srinar mendapat sambutan baik. Keduanya dinilai seenak dan sewangi Rojolele induk.
“Perbedaan keduanya lebih ke bentuk bulir. Srinar bulirnya lebih panjang sedangkan Srinuk lebih membulat. Dua indikator, pulen dan wangi, kualitas keduanya sama maksimal,” katanya.
Sementara itu, varietas Sriten tidak lulus uji pelepasan karena secara fisik dinilai memiliki kemiripan dengan Srinar. Pemkab Klaten dan Batan telah mengurus dokumen kepemilikan varietas Srinuk, Srinar, dan Sriten. Selain itu, juga mengurus dokumen pelepasan dua varietas, Srinuk dan Srinar. “Kami juga telah mendaftarkan kepemilikan Rojolele induk,” tuturnya.
Pemkab Klaten dan Batan yang menjalin kerja sama penelitian sejak 2013 sama-sama memiliki hak kepemilikan Srinuk, Srinar, dan Sriten. Pemkab Klaten menargetkan varietas Srinuk dan Srinar sudah mengantongi sertifikat benih pada Desember 2019 atau paling lambat Januari 2020. Benih Srinuk dan Srinar selanjutnya akan dibagikan kepada para petani di Klaten untuk ditanam.
Menurut Umar, benih Srinuk dan Srinar bakal diedarkan secara terbatas hanya untuk di Klaten. Karenanya, keduanya varietas itu didaftarkan sebagai benih daerah, bukan benih nasional seperti IR 64. Ini untuk menjaga Rojolele sebagai beras premium khas Klaten sehingga bisa mengangkat kesejahteraan petani setempat.
Dengan hanya bisa ditanam di Klaten, produksi beras tidak berlebih sehingga harga bisa dikendalikan agar tidak jatuh. Untuk itu, Pemkab Klaten akan menerbitkan regulasi yang mengatur agar benih Rojolele hanya bisa diedarkan dan ditanam di Klaten. “Kami berharap dengan berbagai keunggulan Srinuk dan Srinar ini petani akan tertarik lagi menanam padi Rojolele,” katanya.