Pelambatan ekonomi dan ancaman resesi global jadi kekhawatiran banyak negara, termasuk Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara. Oleh karena itu, mereka menggalang kerja sama regional.
Oleh
FERRY SANTOSO
·3 menit baca
Pelambatan ekonomi dan ancaman resesi global menjadi kekhawatiran banyak negara. Tak terkecuali Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Oleh karena itu, mereka terus menggalang kerja sama regional.
Kerja sama itu antara lain digalang melalui Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) dengan negara mitra. Dalam Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) ke-51 di Bangkok, Thailand, 3-11 September 2019, negara-negara yang tergabung dalam RCEP sepakat untuk menyelesaikan pembahasan sejumlah isu sebelum akhir 2019.
RCEP merupakan skema kerja sama sepuluh negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos, dengan enam negara mitra, yakni Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru.
Bagaimana mempertemukan pandangan mengenai suatu masalah dari berbagai negara memang tidak mudah. Misalnya terkait praktik perdagangan berupa pengalihan ekspor suatu produk suatu negara ke negara lain untuk diekspor ke negara tujuan ekspor (circumvention).
Praktik circumvention biasanya dilakukan untuk menghindari tarif bea masuk yang tinggi atau hambatan perdagangan yang ada. Di sisi lain, masing-masing negara ASEAN juga memiliki kepentingan atau prioritas dalam menjalin kerja sama secara regional, misalnya antara Indonesia dan India, Korea Selatan, Jepang, China, atau Amerika Serikat (AS).
Diplomasi perdagangan secara bilateral sebenarnya jauh lebih penting. Sebab, masalah atau hambatan sering kali justru tidak selesai melalui pertemuan atau diplomasi secara formal, tetapi secara bilateral dan informal.
Pertemuan bilateral Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita dengan Menteri Perdagangan India Piyush Goyal, misalnya, menghasilkan sejumlah kesepakatan. India antara lain berjanji menyamakan tarif bea masuk produk minyak sawit olahan (refined products) dari Malaysia dan Indonesia.
Selama ini, produk minyak sawit olahan dari Malaysia dikenai tarif bea masuk yang lebih rendah ke pasar India, yakni 45 persen atau 9 persen lebih rendah dibandingkan dengan produk sejenis dari Indonesia.
Dalam pertemuan itu, baik Indonesia maupun India berharap bisa meningkatkan perdagangan. Dengan defisit neraca perdagangan sebesar 8 miliar dollar AS, India berharap Indonesia membuka akses lebih luas terhadap produk-produk India, seperti gula mentah. Selama ini Indonesia mengimpor gula mentah dari Australia dan Thailand.
Pendekatan bilateral juga ditempuh Kementerian Perdagangan RI dengan perwakilan perdagangan AS (United State Trade Representative/USTR). Dalam pertemuan dengan Wakil Kepala USTR Jeff Gerrish, Enggartiasto berupaya meyakinkan AS agar tidak menghentikan program kemudahan perdagangan dengan Indonesia atau generalized system preferences (GSP) agar perdagangan RI-AS menguntungkan kedua pihak.
Dengan mengimpor kapas dan produk pertanian lain, seperti jagung dan kedelai, petani di AS akan diuntungkan. Sebaliknya, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia dapat berproduksi dan mengekspor produk yang sudah memiliki nilai tambah ke pasar AS. Dengan pendekatan itu, AS masih akan meneruskan program GSP untuk Indonesia, sementara dengan beberapa negara AS sudah menghentikannya.