Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2020 didesain untuk mengantisipasi ancaman resesi perekonomian global yang semakin nyata.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2020 didesain untuk mengantisipasi ancaman resesi perekonomian global yang semakin nyata. Karena itu, penyaluran anggaran diarahkan untuk memacu konsumsi domestik, investasi, dan belanja pemerintah.
“Kondisi global sedang batuk-batuk dan sulit diprediksi sehingga suka tidak suka harus mengandalkan sumber domestik agar pertumbuhan ekonomi tetap bertahan di atas 5 persen,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara seusai rapat bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Senin (23/9/2019).
Pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI mengesahkan hasil dan naskah Rancangan Undang-undang APBN 2020, Senin. Dalam asumsi makro APBN 2020, target pertumbuhan ekonomi RI ditetapkan 5,3 persen, inflasi 3,1 persen, nilai tukar Rp 14.400 per dollar AS, serta surat perbendaharaan negara (SPN) 3 bulan 5,4 persen.
Merespons dinamika ekonomi global, asumsi makro untuk harga minyak mentah diturunkan dari 65 dollar AS per barel menjadi 63 dollar AS per barel. Perubahan itu menyebabkan target produksi minyak naik menjadi 755.000 barel per hari dan produksi gas bumi 1,191 juta barel setara minyak per hari.
Suahasil mengatakan, postur APBN 2020 didesain untuk mengantisipasi dinamika perekonomian global yang semakin sulit diprediksi. Negara yang terkoneksi langsung dengan kondisi global akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Untuk itu, Indonesia tidak mengandalkan ekspor dan impor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi pada 2020.
“Negara yang mengandalkan perekonomian domestik, konsumsi rumah tangga tinggi dan investasi tinggi, biasanya (penurunan pertumbuhan ekonomi) lebih lamban dan bisa lebih bertahan dari tekanan global,” kata Suahasil.
Dampak tekanan ekonomi global diperkecil dengan menjaga konsumsi domestik,terutama kelompok penduduk termiskin. Untuk itu alokasi anggaran perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan ditingkatkan dari Rp 369,1 triliun tahun 2019 menjadi Rp 385,3 triliun tahun 2020. Tujuannya menjaga agar daya beli penduduk miskin tidak tergerus.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin per Maret 2019 sekitar 25,14 orang atau 9,41 persen. Mereka dilindungi sejumlah program pemerintah, antara lain program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan nontunai, jaminan kesehatan nasional, pembiayaan ultra mikro, serta beasiswa pendidikan atau bidik misi.
“Kelompok penduduk miskin cukup besar sehingga konsumsi mereka harus dijaga, pendapatannya tidak tergerus dan produktivitasnya meningkat,” kata Suahasil.
Di sisi lain, lanjut Suahasil, stimulus pertumbuhan investasi bersumber dari alokasi anggaran infrastruktur Rp 405,1 triliun tahun 2020, naik dari Rp 384,8 triliun tahun 2019. Selain itu keterlibatan pemerintah daerah untuk memperbaiki iklim investasi ditingkatkan melalui alokasi transfer dana ke daerah Rp 784,95 triliun.
Pemerintah juga memberikan sejumlah insentif fiskal untuk meningkatkan daya tarik investasi, antara lain dalam berbagai bentuk pengecualian pengenaan pajak (exemptions), pembebasan pajak (tax holiday), pengurangan pajak (tax allowance), fasilitas bea masuk ditanggung pemerintah.
Pemerintah memberikan sejumlah insentif fiskal untuk meningkatkan daya tarik investasi
“Setiap tahun alokasi belanja pajak mencapai Rp 200 triliun. Pada 2020, insentif fiskal baru diberikan untuk industri padat karya, riset dan inovasi, serta administrasi pajak yang lebih efisien,” kata Suahasil.
Risiko global
Dihubungi secara terpisah, Kepala Ekonom UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja mengatakan, saat ini stimulus pertumbuhan ekonomi yang paling memungkinkan dari konsumsi rumah tangga. Indonesia masih sulit mengandalkan kinerja ekspor dan investasi di tengah kemelut perang Dagang AS-China dan potensi resesi global.
“Segmen konsumsi domestik yang cukup potensial untuk ditingkatkan adalah kelompok generasi milenial, berusia 19-39 tahun,” kata Enrico.
Peningkatan konsumsi domestik tetap harus dibarengi kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif. Pemerintah bisa memperlebar defisit APBN untuk memberi stimulus tambahan bagi konsumsi domestik dan investasi asing langsung. Defisit APBN di bawah 2,5 persen masih dalam kategori aman.
Menurut Enrico, pelebaran ruang fiskal tak akan memengaruhi kepercayaan investor sepanjang pemerintah mendorong keseimbangan primer ke arah positif. Target keseimbangan primer tahun 2019 defisit Rp 34,7 triliun, sementara tahun 2020 defisit Rp 12 triliun. APBN berfungsi sebagai kontra siklus terhadap risiko global.
Dalam laporan bertajuk ‘Peringatan Pertumbuhan Ekonomi Semakin Rendah’ yang dirilis Kamis (19/9/2019), Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) kembali memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,1 persen menjadi 5 persen pada tahun 2019 dan 2020.
Hal itu merespons pemangkas pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen tahun 2019 dan 3 persen tahun 2020. Proyeksi pertumbuhan ekonomi kali ini adalah yang terlemah sejak krisis keuangan 2007-2008. OECD telah mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebanyak dua kali tahun ini.
Risiko perekonomian global makin tinggi karena dipicu drama keputusan Brexit yang berpotensi mengakibatkan resesi di Inggris tahun 2020, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dan peningkatan utang yang tinggi serta kualitas kredit yang memburuk. Kolaborasi kebijakan fiskal dan moneter jadi kunci untuk menarik investasi.
Menanggapi hal itu, anggota Banggar DPR RI Maman Abdurahman berpendapat, pemerintah harus melakukan usaha ekstra untuk menghalau risiko dinamika global. Upaya ekstra itu bisa ditempuh dengan mendorong keseimbangan primer ke arah positif atau nol. Untuk itu belanja pemerintah harus lebih efektif dan efisien.