Propaganda Digital di Panggung Politik
Dua perdebatan di ranah formal politik, yaitu revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP disertai dengan dinamika menarik di ruang digital. Fenomena propaganda komputasi memberikan efek dalam permainan wacana politik di ruang digital.
Propaganda komputasi adalah fenomena manipulasi dan misinformasi digital yang menggunakan algoritma dan otomasi yang diatur oleh manusia, yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang menyesatkan lewat media sosial (Wolley & Howard, 2016). Salah satu pihak yang secara khusus mengamati fenomena ini adalah analis media sosial Drone Emprit.
Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi dalam diskusi di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), Rabu (18/9/2019), menggelar beberapa data menarik. Menurut dia, dari social network analysis (SNA) terlihat ada sebuah gerakan yang terkoordinasi dengan sistematis untuk membanjiri media sosial dengan wacana tertentu.
Lewat analisis berbagai kanal media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram, pada 10-17 September 2019, fenomena propaganda komputasi amat jelas. Sayangnya, Drone Emprit tidak melakukan observasi pada aplikasi pesan seperti Whatsapp dan Line. Akan tetapi, menurut pengamatan Kompas secara anektodikal, permainan narasi serupa berjalan seiring.
”Ada metode dan hastag tertentu yang sistematis,” kata Ismail Fahmi.
Dia mencontohkan beberapa tanda pagar atau tagar yang pro revisi UU KPK muncul secara masif. Misalnya, tagar seperti #KPKCengeng, #KPKKuatKorupsiTurun digunakan oleh akun-akun buzzer secara serempak. Beberapa akun give away, yaitu akun-akun yang mengiming-imingi uang mulai dari Rp 25.000 hingga Rp 50.000 bagi satu atau dua pengulangan cuitan (retweet) juga muncul. Walaupun interaksinya kurang, tetapi karena begitu banyak akun yang digunakan, tagar tersebut menjadi trending topic Twitter di Indonesia.
Selain itu, wacana KPK terkait Taliban juga mengemuka, dengan 24.696 cuitan. Wacana ini hadir dalam bentuk teks, meme, hingga foto. Ismail mengatakan, tujuan narasi ini disebarluaskan adalah untuk memanipulasi publik dengan menggoyang keyakinan publik.
”Keraguan ini menjadi pintu masuk saja untuk agenda yang sebenarnya. Siapa pelakunya, saya tidak tahu yang jelas mereka modalnya sangat besar dan sangat kuat,” kata Fahmi.
Kematian kepakaran
Yang menarik, fenomena serupa tidak terjadi dalam kontroversi Rancangan KUHP. Tidak ada dua kubu yang berperang wacana di media sosial. Selain itu, cenderung tidak ada buzzer dan tidak ada akun-akun give away yang menyebarkan narasi-narasi tertentu terkait RKUHP. Hampir semua wacana yang beredar di media sosial berisi penolakan rancangan KUHP. Yang menarik, wacana itu meningkat dan menjadi perhatian setelah ada aksi mahasiswa yang menolak RKUHP.
”Berbeda banget dengan waktu kontroversi perubahan UU KPK, perlawanan sangat kecil sehingga orang jadi termanipulasi suara yang besar. Ini yang saya bilang, the death of expertise karena intelektual dan orang-orang kampus kalah dengan buzzer dan akun anonim dan give away,” kata Fahmi.
Sementara itu, Wijayanto peneliti LP3ES selaku Koordinator Aliansi Akademi Nasional Anti-Korupsi mengatakan, para akademisi yang tergabung dalam Whatssap Group (WAG) Aliansi tersebut mencurigai adanya serangan balik dari kekuatan yang ingin melemahkan KPK. Ia menyesalkan karena seharusnya dalam sebuah negara demokratik, hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat warga negara dijamin dan dilindungi oleh undang-undang.
Dia menjelaskan, WAG Aliansi Akademisi Nasional berisi para akademisi dari sekitar 33 universitas. Terjadi kejanggalan di WAG dimulai dari akun seorang akademisi yang diretas. Para anggota grup yang lain juga mulai diretas serta mendapat telepon dari nomor asing di luar negeri yang tidak dikenal. Wija yang mendapat telepon dari nomor ini tidak mendengar suara apa-apa. Airlangga Pribadi, dosen Universitas Airlangga yang tergabung dalam WAG serupa juga ditelepon dengan nomor asing berkali-kali.
”Saya cek ke anggota-anggota WAG, memang banyak yang mengalami. Kami jadi takut diretas,” kata Wijayanto.
Hal ini di antaranya berakibat pada banyak akademisi yang mengundurkan diri dari grup. Berkaca dari situasi itu, dia menilai hal ini merupakan serangan balik dari kekuatan yang ingin melemahkan KPK. Ia mengecam cara-cara represif tersebut karena melanggar hak untuk berpendapat.
Kegagalan aktivisme
Wijayanto mengatakan, kegagalan aktivisme digital oleh masyarakat sipil membuat soliditas gerakan tak muncul. Akibatnya, tidak ada gerakan masif masyarakat menolak revisi UU KPK yang merupakan kepentingannya. Hal ini dimanfaatkan oligarki yang penuh dengan dana untuk menyerang KPK.
”Akademisi dan masyarakat sipil gagal membangun transformasi pentingnya pengetahuan kita tentang KPK kepada masyarakat luas,” kata Wijayanto.
Propaganda dan politik seperti dua sisi mata uang, pasalnya politik sangat dipengaruhi persepsi publik. Oleh karena itu, perang wacana terutama dalam memperjuangkan kepentinganya bukanlah hal yang baru. Salah satu cerita fiksi yang menarik dalam upaya menguasai wacana dan persepsi publik ini ditulis George Orwell dalam novelnya, 1984.
Dengan ciamik, Orwell menceritakan sebuah dunia yang punya polisi wacana hingga Kementerian Kebenaran. Tidak heran, belakangan ini banyak pihak yang kembali mengutip sastra ini sebagai cermin dalam analisis-analisis post-truth alias pasca-kebenaran. Banyak analis yang memberi stempel post-truth saat ini di mana ketertarikan emosional dan kepercayaan pribadi lebih tinggi dampaknya dibandingkan dengan fakta dan data yang obyektif dalam membentuk persepsi publik.
Salah seorang psikolog yang berkecimpung di bidang proses pengambilan keputusan mendapat ganjaran Nobel Ekonomi, Daniel Kahneman, menghasilkan buku yang bisa berkontribusi dalam proses ini. Dalam bukunya Think Fast and Slow, Daniel menjelaskan tentang proses pengambilan keputusan di dalam diri seseorang.
Secerdas apa pun, setinggi apa pun gelar seseorang, ia memiliki dua metode berpikir. ”Sistem satu”, ia berpikir dengan cepat menggunakan insting dan emosional. ”Sistem dua” ia berpikir lebih lambat, lebih logis, dengan berbagai pertimbangan. Daniel memaparkan bias kognitif yang terjadi dengan dua sistem ini.
Tidak heran, masyarakat, dengan apa pun strata sosialnya akan lebih banyak yang menyerap informasi yang instan seperti meme atau cuitan yang pendek, atau sebaran pesan di grup-grup percakapan. Daripada rumit menganalisis sebab akibat revisi UU KPK atau rancangan KUHP, lebih baik mengonsumsi bahan-bahan di media sosial. Cukup dengan sekilas melihat foto-foto yang mengarah pada spektrum cara pandang beragama tertentu—tanpa merasa perlu mencari informasi tentang statistik atau penjelasan akademisi—masyarakat sudah membuat keputusan. Hal ini yang digunakan dengan cerdas oleh para propagandis politik. (EDNA C PATTISINA)