”Kita ingin semua cepat-cepat. Namun, pada saat yang sama, pihak lain berjalan lambat. Jadinya perpaduan keduanya (adalah) jalannya tengah-tengah saja.” Analogi seperti itu yang diucapkan Ketua Kamar Dagang dan Industri Korea Selatan (Kocham) di Indonesia CK Song tentang peluang dan realisasi investasi langsung di Indonesia. Kata ”cepat” merujuk pada keinginan calon investor Korsel. Sementara ”lambat” merujuk pada pengampu kepentingan di Indonesia; bisa pada pemerintah—pusat ataupun daerah—serta sektor swastanya.
Song menjadi salah satu pembicara dalam konferensi Indonesia-Korsel yang digelar di Jakarta, pekan lalu. Acara itu digelar lembaga Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Korea untuk Indonesia.
Dalam forum itu terungkap bahwa kecepatan dan kemudahan berbisnis merupakan hal vital bagi investor. Terungkap pula bahwa mayoritas investasi langsung dari Korsel di Asia Tenggara lari ke Vietnam.
Harapan terhadap Indonesia juga muncul dari pengusaha dan wakil pemerintah di wilayah Timur Tengah baru-baru ini, yaitu dalam simposium yang digelar Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Kritik langsung memang tidak terdengar dalam forum itu.
Namun, menurut Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan OKI, Alwi Shihab, kritik itu didengarnya secara langsung kepadanya. ”Masih kita lihat banyaknya aturan investasi di daerah. Semua hal itu kita akan laporkan kepada Presiden RI,” kata Alwi.
Merujuk pada laporan Doing Business 2019: Training for Reform yang dirilis Oktober 2018, Indonesia berada di peringkat ke-73 dari total 190 negara. Selandia Baru adalah negara di peringkat pertama. Posisi Indonesia di bawah negara-negara di Asia Tenggara. Singapura, misalnya, berada di peringkat kedua, lalu Malaysia (15), Thailand (27), dan Vietnam (69). Indonesia meraih skor keseluruhan 67,96 atau naik tipis dari penilaian tahun sebelumnya, 66,54.
Posisi Indonesia di bawah negara-negara di Asia Tenggara dalam kemudahan berbisnis dan investasi, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Sebagai bagian dari publikasi utama Grup Bank Dunia, Doing Business menyajikan serangkaian laporan tahunan yang mengukur peraturan yang meningkatkan aktivitas bisnis dan peraturan yang menghambatnya. Doing Business menyajikan indikator kuantitatif tentang peraturan bisnis dan perlindungan hak properti. Termasuk di dalamnya kemudahan berbisnis, mulai dari bisnis, izin konstruksi, hingga mendapatkan pasokan listrik.
Aneka indikator itu digunakan untuk menganalisis hasil ekonomi dan mengidentifikasi reformasi regulasi bisnis apa yang telah berhasil, di mana dan mengapa. Negara dengan peningkatan paling menonjol dalam Doing Business 2019 adalah Afghanistan, Djibouti, China, Azerbaijan, India, Togo, Kenya, Pantai Gading, Turki, dan Rwanda.
Investasi langsung didambakan semua negara. Selain memberi pemasukan, investasi langsung juga memberi efek beragam dari sisi ekonomi.
Namun, kecepatan dan kemudahan rupanya masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Semua beradu cepat. Indonesia telah berupaya cepat, tetapi negara lain melakukan hal serupa, inovatif, dan mungkin lebih cepat geraknya di beberapa aspek.