Banyaknya anggota DPR petahana yang tidak berhasil kembali menjadi anggota DPR mengindikasikan sosok dan kinerja mereka tidak banyak dikenal rakyat. Status petahana tak menjamin keterpilihan anggota Dewan.
Oleh
Pradipta Pandu Mustika/Nina Susilo/Hernowo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 ditengarai tidak dikenal dan tidak diketahui kinerjanya saat menjadi anggota DPR oleh masyarakat pemilihnya. Akibatnya, banyak dari mereka tidak berhasil kembali menjadi anggota DPR periode 2019-2024.
Banyaknya anggota DPR yang tak dikenal ini turut memicu maraknya praktik politik uang. Rakyat yang kebingungan memilih akan dipicu untuk memilih dengan berdasarkan hal yang tidak seharusnya, seperti uang.
Banyaknya anggota DPR petahana yang gagal lolos kembali ke parlemen terlihat dari komposisi anggota DPR 2019-2024, dengan jumlah petahana dan anggota baru relatif berimbang. Padahal, lebih dari 90 persen anggota DPR 2014-2019 mencalonkan diri lagi pada pemilu lalu.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-P, Budiman Sudjatmiko, di Jakarta, Senin (23/9/2019), menuturkan, salah satu penyebab kegagalannya kembali lolos menjadi anggota lembaga legislatif karena kurang mengunjungi konstituen. Pemilu 2019 yang digelar serentak antara pemilihan presiden dan pemilu legislatif membuat Budiman lebih sering berkampanye untuk pemenangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Padahal, dalam Pemilu 2019, ia berpindah daerah pemilihan (dapil), yaitu ke dapil Jawa Timur VII (Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi). Pada Pemilu 2009 dan 2014, Budiman maju dari dapil Jawa Tengah VIII (Banyumas dan Cilacap).
Faktor kegagalan lainnya, menurut Budiman, dirinya tidak membawa ide dan program kerja baru. Ini berbeda saat Pemilu 2009 dan 2014, ketika dia membawa draf Undang-Undang Desa sebagai bentuk proposal politik kepada konstituennya.
Hal serupa dialami anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS, Refrizal, yang gagal untuk kembali lolos menjadi anggota badan legislatif dari dapil Sumatera Barat 2. Refrizal mengaku tidak berkampanye secara menyeluruh ke delapan kabupaten/kota yang masuk dapil Sumbar 2. Ini karena ia memberikan ruang kepada kader PKS lain untuk berkampanye.
Hal utama
Pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, menuturkan, ada dua hal utama yang menentukan keberhasilan seorang caleg di pemilu. Pertama, jaringan politik yang dimiliki caleg di dapilnya, Kedua, penempatan yang dilakukan partai politik kepada caleg tersebut.
”Caleg petahana yang pindah dapil, seperti Budiman Sudjatmiko, butuh waktu untuk membangun jaringan politik di dapilnya yang baru,” tutur Gun Gun.
Namun, sejumlah caleg petahana yang tidak berpindah dapil juga ada yang gagal lolos kembali ke parlemen. Menurut Gun Gun, hal itu antara lain terkait dengan sosok caleg itu yang tidak banyak dikenal atau kinerjanya saat menjadi anggota DPR yang tak banyak dirasakan para pemilihnya.
”Akibatnya, saat ada caleg baru yang muncul, masyarakat akan mudah berganti pilihan,” katanya.
Kondisi ini, lanjut Gun Gun, juga membuat masyarakat mudah terpancing dengan hal yang bersifat praktis transaksional, seperti politik uang, saat pemilu.
Dugaan ini sejalan dengan hasil survei Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 27 April-5 Mei 2019 terhadap 1.500 responden. Hampir setengah responden mengakui bahwa politik uang masih banyak terjadi. Sebanyak 46,7 persen responden pun menganggap pemberian dari calon atau peserta pemilu merupakan hal yang wajar atau bisa dimaklumi.
Sementara itu, ada 48 persen masyarakat yang mengatakan tak bisa dimaklumi, dan 5,3 persen tidak menjawab (Kompas, 29/8/2019). Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor mengatakan, status petahana memang tak menjamin keterpilihan anggota Dewan. Kondisi ini cenderung mendorong caleg untuk menghalalkan segala cara, termasuk politik uang.
Dia pun pesimistis, anggota legislatif terpilih dapat menepis citra buruk DPR yang selama ini melekat. Keberadaan pendatang baru belum menjamin peningkatan kinerja mereka, baik dalam fungsi legislasi, pengawasan, maupun anggaran.