Mencari Peluang dari Industri Batik yang Bergairah
›
Mencari Peluang dari Industri ...
Iklan
Mencari Peluang dari Industri Batik yang Bergairah
Potensi pasar batik sedang bergairah. Kenyataan ini menyegarkan pelaku industri industri tekstil yang sedang lesu di Indonesia.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Di tengah kelesuan industri tekstil dan produk tekstil Indonesia, potensi pasar batik masih terbuka lebar. Potensi ini dapat digapai dengan meningkatkan produktivitas sumber daya manusia dan efisiensi struktur biaya produksi batik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), surplus perdagangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di 2017 mencapai 3,73 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Pada 2018, surplus menyusut hingga 3,2 miliar dolar AS. Pada semester I-2019, surplus tercatat 2,38 miliar dolar AS.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah (IKM) dan Aneka Kemenperin Gati Wibawaningsih, usai membuka Pameran Batik bertema "Membatik untuk Negeri" di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (24/9/2019) mengatakan, pelemahan yang terjadi akibat menurunnya permintaan pasar global juga dialami industri batik yang terkait industi tekstil dan produk tekstil (TPT).
Pada semester I-2019, nilai ekspor batik mencapai 17,99 juta dollar AS. Nilai itu belum mencapai setengah persen dari nilai ekspor di 2018 yang sebesar 52 juta dollar AS. Nilai itu juga sejalan dengan menurunnya nilai ekspor produk tekstil atau garmen yang pada semester I-2019 yang mencapai 4,06 miliar dollar AS. Nilai itu lebih rendah dibanding ekspor di semester I-2018 yang sebesar 4,12 miliar dolar AS.
Namun demikian, industri batik dinilai masih memiliki harapan untuk terus ditingkatkan melalui kegiatan promosi dan edukasi. "Mei lalu, kita sudah melakukan diplomasi batik dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa. Sekarang kita mengadakan Pameran Batik dan peluncuran situs Yayasan Batik Indonesia untuk sarana promosi," katanya
Promosi dan edukasi batik menurutnya, juga perlu digiatkan agar masyarakat bisa membedakan produk batik dalam negeri dan luar negeri. Apalagi batik impor dari Malaysia, Singapura, dan China masih mewarnai pasar Indonesia walaupun pembatasan impor sudah diperketat oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/7/2015.
Direktur IKM Kimia, Sandang, Kerajinan dan Industri Aneka, Direktorat Jenderal IKM dan Aneka Kemenperin E Ratna Utarianingrum mengatakan, pemerintah berupaya menguatkan industri batik dengan meningkatkan produktivitas sumber daya manusia (SDM) yang terlibat di industri batik dari hulu hingga hilir. "Produktivitas SDM yang naik bisa menaikkan kompetensi, dengan demikian, diharapkan industri batik juga naik," kata Ratna kepada Kompas, saat ditemui di lokasi yang sama.
Upaya itu dilakukan dengan memberi berbagai bimbingan teknis pada pelaku industri batik, memfasilitasi peralatan, mendampingi usaha, dan mendukung ekosistem promosi dan penjualan digital. Program-program itu diharapkan tidak hanya meningkatkan produktifitas, tetapi juga bisa meningkatkan nilai tambah dan efisiensi industri batik.
Selama ini, industri batik merupakan salah satu industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Menurut data Kemeneperin, saat ini ada sekitar 200 ribu tenaga kerja di 47 ribu unit usaha kecil dan menengah.
Cara lain meningkatkan produktivitas industri batik adalah dengan membenahi struktur biaya industri batik. Ratna mengatakan, biaya bahan baku material batik dan pendukungnya mendominasi sekitar 60 persen biaya produksi batik. "Saat ini ada beberapa hal yang harus dikomunikasikan dengan pihak terkait agar industri kita bisa menyediakan kebutuhan dalam negeri," kata dia.
PT Lakumas (Laksana Kurnia Mandiri Sejari) menjadi salah satu perusahaan tekstil yang berupaya meningkatkan produktivitas produsen produk tekstil dengan menghasilkan benang dari serat tencel. Benang tencel, yang dihasilkan dari kulit kayu eukaliptus, diketahui ramah lingkungan, berkualitas seperti sutra, dan lebih murah.
Direktur PT Lakumas Erick Halim mengatakan, selama dua tahun terakhir, benang tencel telah mulai diperkenalkan pada perajin kain tradisional. Peminat benang yang pertama kali muncul 25 tahun lalu itu ada di berbagai daerah, mulai dari Pulau Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur.
"Benang tencel diminati perajin kain alat tenun bukan mesin (ATBM). Selama ini, mereka sering keluhkan biaya benang yang mahal," kata Erick dalam pameran batik di Kemendag. Satu kilogram benang tencel hanya dijual Rp 60.000. Selain itu, benang tencel masih lebih terjangkau daripada katun impor atau sutra dari China.