Ironi Rancangan Regulasi Penjerat Petani dan Karpet Merah Korporasi
›
Ironi Rancangan Regulasi...
Iklan
Ironi Rancangan Regulasi Penjerat Petani dan Karpet Merah Korporasi
Rancangan Undang-undang Budidaya Sistem Pertanian Berkelanjutan mengancam petani. RUU itu membuka ruang mengkriminalisasikan petani pemulia benih, dan memberikan karpet merah kepada korporasi benih multinasional.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Sejumlah kalangan menolak Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-undang Budidaya Sistem Pertanian Berkelanjutan. Regulasi itu dinilai bisa semakin membuat petani terjepit, jadi alat untuk mengkriminalisasikan mereka, dan memberikan karpet merah kepada korporasi benih multinasional.
Sejumlah kasusnya telah muncul sebelum Rancangan Undang-undang Budidaya Sistem Pertanian Berkelanjutan (RUU SBPB) menjadi topik hangat. Seorang petani di Aceh terancam bui setelah disangka mengedarkan benih padi (IF8) yang dikembangkannya.
Kasus serupa menimpa petani di Nganjuk dan Kediri. Benih IF8 dinyatakan belum dilepas menteri pertanian sebagaimana disyaratkan Pasal 12 Ayat (1) UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Padahal, benih ini diklaim memiliki produktivitas menakjubkan di kisaran 11 ton per hektar dan mendapatkan banyak penghargaan.
Kehadiran UU Sistem Budidaya Tanaman saja sudah mampu menjerat petani. Apalagi dengan UU penggantinya yang telah disiapkan dalam RUU SBSP, justru dinilai banyak kalangan semakin jauh dari perlindungan petani.
Juru bicara Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan M Rifai mengatakan, Rancangan Undang-undang Budidaya Sistem Pertanian Berkelanjutan (RUU SBPB) sangat merugikan dan berpotensi besar mengkriminalisasi petani, terutama pemulia benih. Dalam RUU itu peran petani pemulia benih dikerdilkan.
Pasal 29 Ayat (5) RUU itu menyebutkan, petani atau pelaku usaha dilarang mengedarkan varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum dilepas pemerintah kecuali untuk digunakan sendiri atau terbatas dalam satu wilayah kabupaten/kota. Pasal itu bertentangan dengan hasil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 99/PUU-X/2012 atas Uji Materi UU Sistem Budidaya Pertanian.
“Putusan MK itu menyebutkan, petani kecil diperbolehkan mengedarkan varietas hasil pemuliaan kepada komunitasnya, dan tidak dibatasi wilayah. Komunitas yang dimaksud di dalam putusan MK adalah sesama petani yang berada di wilayah hukum Indonesia,” kata Rifai, Selasa (24/9/2019).
Rancangan Undang-undang Budidaya Sistem Pertanian Berkelanjutan (RUU SBPB) sangat merugikan dan berpotensi besar mengkriminalisasi petani, terutama pemulia benih.
Selain itu, lanjut Rifai, RUU SBPB ini juga mewajibkan petani kecil melapor atau mengajukan izin kepada pemerintah daerah yang berwenang. Mereka juga diwajibkan meminta izin ke pemerintah untuk mencari, mengumpulkan, dan melestarikan sumber daya genetik.
Hal itu juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2017 yang menyebutkan dinas terkait langsung turun ke masyarakat untuk mendata dan memberikan bimbingan. “Jadi bukan keharusan petani untuk melapor, tapi kewajiban negara untuk mendata dalam rangka pengayoman dan perlindungan petani,” ujarnya.
Menurut Rifai, RUU SBPB ini membuka ruang bagi pelepasan tanaman rekayasa genetik di Indonesia. Pasar 71 Ayat (3) RUU menyebutkan, dalam penyelenggaraan pelindungan sumber daya genetik pemerintah pusat dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau pihak swasta.
Keterlibatan pihak swasta dalam perlindungan sumber daya genetik tidak perlu dicantumkan dalam RUU, karena swasta adalah pengguna komersial. Jika tetap dituliskan, setelah menjadi UU nanti justru memberikan karpet merah kepada korporasi benih multinasional.
Keterlibatan swasta dalam perlindungan sumber daya genetik tidak perlu dicantumkan dalam RUU. Jika tetap dituliskan, setelah menjadi UU nanti justru memberikan karpet merah kepada korporasi benih multinasional.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global justice Rachmi Hertanti menegaskan, hak petani pemulia benih diatur dalam Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (ITPGRFA). Indonesia sudah meratifikasi perjanjian internasional itu dan disahkan dengan UU Nomor 4 Tahun 2006 tentang ITPGRFA. “Regulasi itu menyebutkan, petani berhak untuk menyimpan, tukar-menukar, menggunakan dan menjual benih hasil pemuliaannya,” kata dia.
Selain itu, lanjut Rachmi, hak petani, yang merupakan warga negara Indonesia, juga dilindungi UUD 1945 Pasal 28C Ayat (1). Pasal itu menjamin setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Untuk itu, Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan menyerukan agar RUU SBPB sejalan dengan UUD 1945. RUU itu juga harus merujuk pada 10 prinsip dasar, antara lain yaitu kedaulatan pangan, keterlibatan petani, non-eksploitasi, reforma agraria, agroekologi, perlindungan negara, hak asasi petani, dan perlindungan sumber daya genetik-ekosistem.
“Kami berharap agar pengesahan RUU itu ditunda dan perlu dikaji ulang dengan disertai konsultasi publik yang melibatkan kelompok tani, akademisi, dan masyarakat sipil terkait,” kata dia.
Petani atau kelompok tani yang memiliki inisiatif memuliakan benih, seharusnya dilindungi. Mereka mendapat pendampingan pemerintah atau berkolaborasi dengan peneliti untuk mengembangkannya secara lebih lanjut. Bukan justru dikebiri, saat mereka mereka memperingati hari tani nasional 24 Septemper ini.