Perempuan terbukti lebih cepat berlindung atau bersiap-siap untuk evakuasi saat kondisi darurat, namun seringkali kesulitan meyakinkan laki-laki untuk melakukan hal serupa.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Respons terhadap bencana alam ternyata dipengaruhi jenis kelamin. Perempuan terbukti lebih cepat berlindung atau bersiap-siap untuk evakuasi saat kondisi darurat, namun seringkali kesulitan meyakinkan laki-laki untuk melakukan hal serupa.
Demikian sebuah studi terbaru dari Universitas Colorado Boulder yang dipublikasikan di jurnal Disasters dan dirilis di laman kampus ini pada 19 September 2019.
Penelitian ini juga menemukan bahwa pembagian peran jender secara tradisional cenderung terjadi lagi setelah bencana. Perempuan akan kembali ke peran ibu rumah tangga sedangkan laki-laki fokus pada keuangan dan membantu upaya pemulihan di komunitas.
Memperparah kesenjangan
Para pihak yang memberikan bantuan memperparah kesenjangan jender ini dengan lebih banyak mengajak berdiskusi dengan lelaki sebagai kepala keluarga dan cenderung mengabaikan peran perempuan.
"Kami menemukan bahwa ada banyak hambatan yang merugikan wanita saat terjadi bencana. Hal ini membuat mereka tertinggal dalam pengambilan keputusan dan berpotensi memperlambat pemulihan mereka," kata pemimpin tim peneliti, Melissa Villarreal, mahasiswa doktoral di Departemen Sosiologi, Colorado Boulder.
Dalam penelitian yang ditulis bersama Asisten Profesor dari Universitas Texas A&M Michelle Meyer, tim melakukan wawancara mendalam terhadap 33 wanita dan 10 pria di dua kota di wilayah Texas. Sebagian responden berasal dari Granbury, yang pada tahun 2013 dilanda tornado EF-4 yang menewaskan enam orang dan merusak 600 rumah.
Responden lainnya berasal dari daerah West, yang pernah mengalami bencana ledakan perusahaan pupuk pada tahun yang sama dengan korban 15 orang dan 100 rumah rusak. Para responden ini ditanya tentang pengalaman mereka saat terjadi bencana dan setelah kejadian.
“Sebelumnya sering ada asumsi bahwa pria dan wanita akan merespon bencana dengan cara yang sama, tetapi kami menemukan data sebaliknya,” katanya.
Sebelumnya sering ada asumsi bahwa pria dan wanita akan merespon bencana dengan cara yang sama, tetapi kami menemukan data sebaliknya.
Seorang perempuan Granbury yang jadi responden menceritakan, dia berjongkok di lemari bersama anak-anaknya saat bencana terjadi, sambil meminta kepada suaminya yang sedang memandang keluar jendela ke arah tornado agar segera masuk dan berlindung bersama mereka.
Dalam kasus lain, seorang wanita menentang rencana suaminya untuk masuk ke mobil dan lebih memilih untuk berlindung di tempat. Namun, sang suami ngotot untuk pergi dengan mobil dan mereka akhirnya terjebak di jalan ketika tornado menerjang.
"Perempuan memiliki persepsi risiko yang berbeda dan lebih hati-hati dibandingkan laki-laki, tetapi laki-laki sering lebih menentukan kapan dan jenis tindakan apa yang diambil keluarga," tulis Villareal. "Dalam beberapa kasus, ini menempatkan wanita dan keluarga mereka dalam bahaya yang lebih besar."
Temuan ini adalah yang terbaru dari serangkaian studi yang menemukan bahwa wanita cenderung memiliki persepsi risiko yang lebih baik, tetapi karena mereka dibingkai sebagai “lebih gampang cemas” sehingga kekhawatiran mereka kerap tidak dianggap serius.
Dalam kajian ini juga ditemukan bahwa organisasi pemulihan bencana cenderung bias gender. Mereka kebanyakan hanya meminta pendapat para lelaki dalam menyalurkan bantuan, bahkan ketika perempuan yang mengajukan formulir meminta bantuan itu.
"Menghilangkan model bahwa hanya lelaki yang menjadi kepala rumah tangga sangat penting untuk mempercepat pemulihan rumah tangga secara keseluruhan," demikian rekomendasi para peneliti.
Bias jender juga terjadi selama pemulihan. Perempuan sering dituntut dengan tugas-tugas privat seperti merawat anak-anak dan sering tidak dilibatkan dalam proyek pemulihan masyarakat. Kondisi ini pada akhirnya justru membuat perempuan lebih tertinggal dalam pemulihan mental pascabencana.
Melihat banyaknya kejadian bencana di Indonesia, studi serupa perlu dilakukan dari luar negeri ini. Apakah juga terjadi perbedaan persepsi risiko berdasarkan gender dan diskriminasi dalam pemulihan pascabencana.