Unjuk rasa mahasiswa digelar serentak di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Malang, Purwokerto, Makassar, dan Medan, Senin (23/9/2019). Mereka menyampaikan sejumlah tuntutan dalam aksi ini.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Unjuk rasa mahasiswa digelar serentak di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Malang, Purwokerto, Makassar, dan Medan, Senin (23/9/2019).
Sejumlah tuntutan disampaikan dalam aksi ini, seperti penundaan pengesahan yang diikuti dengan pembahasan ulang sejumlah rancangan undang-undang, antara lain Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Mineral dan Batubara.
Dalam aksi ini, pengunjuk rasa juga menyampaikan penolakan terhadap hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang pekan lalu disetujui dalam Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU.
Namun, tuntutan yang berbeda juga muncul dalam aksi ini, seperti mendukung revisi UU KPK. Tuntutan ini disampaikan sejumlah peserta unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Kericuhan terjadi saat unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen dan di depan Gedung DPRD Jawa Barat di Bandung. Terkait aksi ini, Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintah tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut RUU KPK yang telah disetujui untuk disahkan menjadi UU. ”Enggak ada,” jawab Presiden saat ditanya apakah ada rencana menerbitkan perppu pencabutan UU KPK.
Namun, pemerintah mengabulkan tuntutan mahasiswa lainnya, seperti penundaan pengesahan RKUHP dan RUU Pertanahan. ”RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU KUHP, itu ditunda pengesahannya. Untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, mendapatkan substansi-substansi yang lebih baik, sesuai dengan keinginan masyarakat,” kata Presiden.
Sikap pemerintah itu, kata Presiden, sudah disampaikan kepada pimpinan DPR dalam pertemuan konsultasi di Istana Merdeka, Senin. Kemarin, Presiden Jokowi memimpin rapat internal tertutup di Istana Merdeka, Jakarta.
Hadir dalam rapat ini, antara lain, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dan Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan.
Seusai rapat, Moeldoko menuturkan, pemerintah mengantisipasi kondisi yang diduga akan dinamis menjelang pelantikan Joko Widodo sebagai presiden periode 2019-2024 pada 20 Oktober mendatang.
Reformasi
Sebanyak 21 wakil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari perguruan tinggi di Indonesia, kemarin, menggelar pertemuan di depan Tugu Reformasi Universitas Trisakti, Jakarta.
Dalam kesempatan ini, Presiden BEM Universitas Gadjah Mada Muhammad Atiatul Muqtadir menyatakan, salah satu agenda Reformasi 1998 ialah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi dilihat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang merusak tatanan masyarakat dan demokrasi. Kesadaran inilah yang mendorong lahirnya KPK.
”Tetapi yang dilakukan pemerintah dan DPR justru mengebiri KPK, anak kandung reformasi, melalui revisi Undang-Undang KPK,” katanya.
Pengesahan revisi UU KPK, kata Muqtadir, beriringan dengan rencana pengesahan RUU Pemasyarakatan yang berpotensi memberikan kelonggaran bagi narapidana korupsi.
Ada pula rencana pengesahan RKUHP yang kemudian diminta ditunda oleh Presiden Jokowi. ”Kami tanggalkan ego sektoral kampus dan sama-sama turun ke jalan,” katanya.
Aksi di Jakarta dipusatkan di depan Kompleks Parlemen. Dalam aksi ini, perwakilan mahasiswa bertemu dengan anggota DPR terpilih, Andre Rosiade; anggota Komisi III, Masinton Pasaribu; dan Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas.
Dalam pertemuan itu, Ketua BEM Universitas Indonesia Manik Marganamahendra menyatakan, DPR tidak mendengarkan suara dan tuntutan rakyat. ”Kami menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR,” kata Manik.
Sebagian peserta aksi di depan Kompleks Parlemen mulai membubarkan diri pada pukul 20.00. Namun, sebagian peserta aksi lain masih bertahan. Sementara itu, unjuk rasa serupa yang digelar di depan Gedung DPRD Jawa Barat berangsur berakhir sekitar pukul 19.30.
Sebelumnya, aksi saling dorong terjadi antara mahasiswa peserta unjuk rasa dan polisi sehingga gerbang DPRD jebol. Melalui pengeras suara, polisi coba menenangkan massa agar tidak anarkistis.
Polisi juga mengingatkan mahasiswa tentang batas waktu unjuk rasa yang telah lewat karena sudah di atas pukul 18.00. Peserta unjuk rasa pun lalu membubarkan diri.
Di Yogyarakta, unjuk rasa digelar dalam aksi yang disebut ”Gejayan Memanggil”. Dalam aksi ini, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta bertemu di Gejayan, di antara Jalan Affandi dan Jalan Guru Mulia Satu. Koordinator aksi, Rico Tude, menuturkan, tempat itu sengaja dipilih untuk mengingatkan memori publik tentang peristiwa Reformasi 1998.
Sejumlah unsur pimpinan perguruan tinggi di Yogyakarta mengimbau mahasiswanya untuk tidak mengikuti unjuk rasa di kawasan Gejayan. Ini karena ada kekhawatiran aksi itu ditunggangi kepentingan politik tertentu.