Upaya Cerdas Menggerakkan Ekonomi Desa Tatung
Apabila banyak desa memilih membangun pertokoan untuk menggerakkan perekonomian warganya, Desa Tatung justru memilih mengebor sumur dan mengalirkan airnya ke permukaan. Dengan aliran air tersebut, beragam sendi kehidupan dan ekonomi desa yang sempat berhenti bergerak kembali.
Terik matahari membakar kaki para petani saat menyiangi rumput liar yang terhampar di areal persawahan Desa Tatung, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo, akhir Agustus lalu. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya tanaman berdaun hijau segar di sawah di tengah puncak musim kemarau.
Di antara para petani, Kusnanto (45) berjalan menepi. Lelaki itu menyusuri pematang sawah menuju sebuah sumur yang dibiarkan terbuka tanpa rumah. Senyumnya mengembang saat melihat air sumur mengalir deras ke sawahnya yang ditanami tembakau. ”Alhamdulillah tanaman tembakaunya tumbuh dengan baik. Tidak ada daun yang layu. Kebutuhan airnya mencukupi meski saat ini memasuki puncak kemarau,” ujar Kusnanto.
Kusnanto adalah salah satu petani di Desa Tatung. Ia mengelola dua petak sawah seluas sekitar 3.000 meter persegi yang ditanami tembakau. Kusnanto memompa air selama 11 jam dengan biaya Rp 132.000 atau Rp 12.000 per jam untuk mengairi lahannya. Sebelum ada sumur pompa, Kusnanto kesulitan menanam tembakau di musim kemarau. Sawah yang ada dibiarkan tak tergarap sampai musim hujan tiba.
Selama itu, Kusnanto dan para buruh tani tidak bekerja. Mereka harus keluar desa agar periuk nasi tetap mengepul. ”Riskan jika memaksakan menanam di musim kemarau. Kita akan rugi lebih besar karena tanaman pasti mati,” kata Kusnanto. Selain tanaman tembakau, di hamparan sawah juga tampak tanaman melon. Sejak ada sumur bor, sektor pertanian di Desa Tatung berkembang. Para petani tidak hanya menanam tanaman pangan di musim hujan dan tembakau di musim kemarau, tetapi juga merambah tanaman hortikultura.
Sejarah baru
Kepala Desa Tatung, Rudi Sugiharto, mengatakan, sumur yang mengairi sawah Kusnanto adalah sumur bor atau sumur dalam milik pemerintah desa. Sumur itu dikelola oleh badan usaha milik desa (BUMDes) Sentosa Jaya Abadi. Sampai saat ini ada tiga sumur yang beroperasi. Sumursumur itu khusus untuk memenuhi kebutuhan sektor pertanian. Sementara dua sumur baru saat ini tengah dikerjakan. Menurut rencana, dalam waktu dekat sudah beroperasi.
Sebagai gambaran, Desa Tatung memiliki lahan pertanian seluas 170 hektar dan dilintasi Bendungan Asem Tropong. Namun, kondisi air bendungan kering kerontang. Sebelum ada sumur bor, petani hanya mengandalkan hujan untuk menggarap sawah.
Setahun hanya satu kali menanam padi, lalu menanam palawija seperti jagung dan kedelai pada musim kemarau pertama (MK I). Memasuki musim kemarau kedua (MK II), yang merupakan puncak kekeringan, sawah dibiarkan merana. Petani dan buruh tani umumnya beralih pekerjaan.
”Padahal, potensi menanam tembakau masih sangat besar. Banyak perusahaan rokok besar yang berminat menjadi mitra petani. Harga tembakau saat kondisi normal bisa mencapai Rp 100 juta untuk satu kali panen per hektar,” ujar Rudi. Namun, karena cuaca kerap tak menentu, persis seperti makna nama Desa Tatung atau tak-tung-an dalam bahasa Ponorogo yang artinya ketidakpastian, membuat petani tidak berani mengambil risiko.
Bahkan, desa ini pernah mendapat predikat desa tertinggal karena banyak penduduknya yang miskin. Mayoritas perempuan di Desa Tatung, bekerja sebagai buruh migran.
Pada tahun 2015, jumlah pekerja migran lebih dari 500 orang. Ironinya, yang muncul dari buruh migran perempuan adalah kisah memilukan. Banyak yang pulang tinggal nama, pulang dalam kondisi sakit dan teraniaya, atau menghadapi kenyataan keluarga berantakan.
Oleh sebab itu, pada tahun 2016, saat pemerintah mengucurkan dana desa, Rudi menyambutnya dengan suka cita. Bersama badan permusyawaratan desa, ia menetapkan skala pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan. Sempat tebersit pemikiran membangun pertokoan. Tokotoko itu kemudian disewakan kepada masyarakat untuk menggerakkan perekonomian.
Namun, rencana itu diurungkan setelah dinilai tidak efektif. Usaha persewaan toko tidak akan berjalan jika tidak ada yang belanja karena masyarakatnya tidak bisa bekerja. Ia pun akhirnya memutuskan memberdayakan sektor pertanian yang dinilai lebih bermanfaat. Sektor ini merupakan tulang punggung ekonomi di Desa Tatung.
Pada tahun 2017, dana desa dialokasikan untuk membangun sumur dengan prioritas sektor pertanian. Tahun 2018, sumur berkedalaman 60 meter yang dibangun dengan total biaya Rp 23 juta, termasuk pembelian pompa, dioperasikan. Pihaknya sengaja tidak membangun rumah pompa karena biayanya besar.
Setiap sumur mampu mengairi 3 hektar lahan atau melayani 12 petani dengan asumsi pemilikan lahan rata-rata per petani 0,25 hektar. Meski satu sumur mampu mengairi lebih dari 3 hektar, tetapi tidak dilakukan. Semakin banyak petani yang mendapat jatah akan semakin sulit mengatur giliran pemanfaatan airnya.
Biaya sewa pemanfaatan sumur dipatok Rp 12.000 per jamnya. Tarif ini jauh lebih murah ketimbang biaya sewa pihak swasta Rp 15.000 per jam. Tarif bisa lebih murah karena pembuatan sumur dilakukan sendiri oleh warga. Meski lebih murah, BUMDes tetap dapat keuntungan bersih Rp 1 juta per sumur per bulan. Keuntungan ini bisa diputar kembali oleh desa untuk kegiatan produktif masyarakat.
”Pemerintah desa tidak berorientasi pada pendapatan semata. Kami bertujuan membangkitkan produktivitas pertanian. Dengan begitu petani pemilik lahan, petani penggarap, dan buruh tani bisa bekerja,” ujar Rudi.
Air bersih desa
Sebelum memulai usaha pembangunan sumur untuk sektor pertanian, pada tahun 2016, Pemerintah Desa Tatung menggunakan dana desa untuk proyek perusahaan daerah air minum (PDAM). Awalnya dibangun dua titik sumur sebagai sumber air, lalu bertambah setiap tahun sehingga total menjadi lima titik.
PDAM yang dikelola BUMDes ini mampu melayani 250 keluarga dari total 700 keluarga di Desa Tatung dengan tarif Rp 1.500 per meter kubik. Sebanyak 250 keluarga lainnya, memenuhi kebutuhan air bersih dari penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (PAM Simas), yang dibiayai APBN.
Sisanya, sebanyak 200 keluarga masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Kendalanya bukan pada sumber air, melainkan tingginya biaya investasi untuk pemasangan jaringan distribusi pelanggan karena jarak antarrumah cukup jauh. Sebagai gambaran, total luas pekarangan 700 keluarga itu 80 hektar atau rata-rata 1.500 meter persegi per rumah.
”PDAM ini juga tidak berorientasi bisnis melainkan fokus pada pelayanan air bersih buat masyarakat. Akses air bersih penting untuk meningkatkan kesehatan dan mengatasi bencana kekeringan yang terjadi setiap tahun,” kata Rudi.
Masih terkait dengan upaya meningkatkan kesehatan sekaligus memperbaiki sanitasi lingkungan, Pemerintah Desa Tatung membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) secara komunal sejak 2016. Instalasi ini mengintegrasi 40 rumah warga yang letaknya berdekatan.
IPAL komunal menampung seluruh limbah rumah tangga setiap hari. Limbah itu kemudian diolah sesuai standar sehingga tidak tercecer, mencemari tanah, sungai, sumber air bersih, dan lingkungan sekitar. Air hasil pengolahan limbah, bahkan bisa dimanfaatkan untuk mengairi tanaman.
Nur Khoirudin, warga Desa Tatung, mengatakan, air hasil pengolahan limbah hanya dimanfaatkan untuk mengairi tanaman bengkuang karena produksinya masih terbatas. Ia berharap, lebih banyak lagi rumah warga yang terintegrasi dengan jaringan IPAL sehingga produksi air limbahnya lebih banyak lagi.
Desa wisata
Rudi Sugiharto menambahkan, saat ini pihaknya memiliki pekerjaan rumah untuk memberdayakan warga di sektor ekonomi. Harapannya, untuk menekan jumlah migrasi warganya ke luar desa atau ke luar negeri. Pemberdayaan itu harus berbasis agraris yang menjadi pola kehidupan kultural masyarakat Desa Tatung.
Selain itu, pengembangan sektor ekonomi juga harus berbasis potensi yang dimiliki desa. Salah satunya yang akan dikembangkan adalah pengembangan Bukit Gede untuk wisata paralayang. Untuk mewujudkan rencana tersebut, aparat desa telah membangun infrastruktur jalan dan menyiapkan sumber daya manusia sebagai operatornya.
Uji coba sudah dilakukan dengan menggelar Liga Paralayang Jatim Seri 2 pada 2 Agustus lalu yang diikuti 58 atlet. Kegiatan itu diharapkan bisa digelar rutin setiap tahun. Kedatangan wisatawan dengan sendirinya membuka peluang petani memasarkan produknya langsung ke konsumen, baik itu produk pertanian, seperti bengkuang dan melon, maupun kerajinan anyaman bambu.
Mereka juga berpeluang membuka aktivitas ekonomi baru, yakni warung serba ada dan warung makanan dan minuman. Apabila pembangunan ini segera terwujud, akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat.