Dilema Ojek Daring Ibu Kota
Sejak dulu ojek telah merebut hati warga Ibu Kota. Dari sekadar angkutan alternatif, ojek menjelma menjadi angkutan favorit untuk menembus kemacetan Jakarta. Masyarakat dipermudah dengan teknologi pesan daring angkutan roda dua ini. Ojek bukan alat transportasi baru di Ibu Kota. Angkutan roda dua ini pertama kali muncul tahun 1970-an di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dalam bentuk ojek sepeda.
Saat pertama kali muncul di Jakarta, ojek merupakan alat transportasi jarak dekat. Jasa mengantar penumpang hanya dilakukan di lingkaran area Tanjung Priok, Ancol, atau Harmoni. Jarak tempuhnya kurang dari 1 kilometer.
Keberadaan ojek sepeda perlahan digantikan ojek sepeda motor yang mulai muncul di kawasan Ancol, Jakarta Utara, pada 1974. Seiring kemacetan yang menjadi-jadi, ojek berubah fungsi menjadi alternatif angkutan umum yang melintasi seluruh jalanan Jakarta. Jarak tempuh jasa antar ojek mencapai puluhan kilometer.
Lonjakan kebutuhan moda transportasi model ojek ini, ditambah kemajuan teknologi komunikasi, membuat beberapa perusahaan teknologi menciptakan inovasi yang menggabungkan teknologi informasi dengan jasa ojek. Tahun 2011-2012 merupakan awal beroperasinya perusahaan jasa layanan transportasi berbasis daring, yakni Go-Jek.
Empat tahun kemudian, perusahaan sejenis mulai muncul, seperti Grabbike, Uber bike, Blujek, Transjek dan Love-jek. Namun, hingga sekarang tersisa dua perusahaan yakni Go-Jek dan Grabbike, yang mampu bertahan dalam bisnis transportasi daring roda dua yang ketat ini.
Meski sekarang tinggal dua perusahaan, jumlah armada motor yang bergabung meningkat sangat pesat. Jumlah ojek daring tahun 2015 sekitar 50.000 unit. Kini jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak. Hingga 2018, Go-Jek menyebutkan, rata-rata jumlah pengemudinya yang mengangkut penumpang di Ibu Kota 8,8 juta orang per bulan.
Perkembangan yang pesat terjadi karena ada permintaan yang tinggi dari masyarakat. Berbagai keunggulan ojek daring, seperti keamanan/privasi, mudah diakses, murah, dan praktis, membuatnya lebih diminati dibandingkan ojek konvensional ataupun angkutan umum lainnya.
Penelitian Puskakom UI (Mei 2017) menunjukkan, 88 persen konsumen ojek daring (Go-Jek) menggunakan ojek daring lebih dari satu tahun. Sebanyak empat dari lima responden menggunakannya lebih untuk transportasi ketimbang mengantar barang. Hampir semua responden menyebut kata aman dan nyaman sebagai alasan untuk menggunakan ojek daring.
Dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa mayoritas pengguna ojek daring adalah perempuan. Rata-rata responden (84 persen) berusia 20-30 tahun dengan tingkat pendidikan sarjana. Hal tersebut menunjukkan ojek daring membantu mobilitas wanita pekerja di Jabodetabek.
Hasil penelitian lain dari lembaga @lphaβeta pada 2016 menunjukkan hal serupa. Keberadaan ojek daring (Uber) dinilai membantu warga yang tak memiliki akses angkutan umum. Sebanyak 20 persen responden di Jakarta menggunakan ojek daring sebagai pilihan mobilitas multimoda.
Mereka sebelumnya menggunakan mobil pribadi untuk bermobilitas. Namun, setelah ada ojek daring, mereka memilih meninggalkan kendaraan pribadi dan menjadikan ojek daring sebagai moda pengumpan (feeder) dari rumah ke stasiun kereta atau halte bus Transjakarta.
Lapangan kerja baru
Di sisi lain, keberadaan ojek daring juga membuka lapangan kerja baru bagi warga Jabodetabek. Pengemudi ojek daring menerima gaji tetap setiap bulan meski besarnya bergantung pada bonus dan jam kerja. Pengemudi ojek yang tergabung dalam perusahaan ojek daring dipastikan menerima order setiap hari dengan syarat aplikasi di telepon pintarnya dinyalakan.
Dari penelitian Puskakom UI, diketahui mayoritas responden pengojek (87 persen) merupakan mitra penuh waktu, artinya mengandalkan ngojek sebagai pekerjaan utama. Penelitian Puskakom ini menyebutkan, 33 persen mitra Go-jek dulunya merupakan tukang ojek pangkalan. Ada pula 26 persen yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap, akhirnya memilih menjadi pengemudi ojek daring.
Berdasarkan hasil survei Kompas (2018) terhadap 200 pengemudi ojek daring di Jakarta, hanya sebagian kecil yang tidak memiliki pekerjaan sebelumnya. Mayoritas responden malah sudah memiliki pekerjaan formal seperti menjadi pegawai swasta (62 persen). Sisanya bekerja di sektor informal seperti wiraswasta (15 persen), ojek pangkalan (6 persen), buruh (5 persen), dan serabutan (5 persen). Hanya 5 persen dari responden yang menganggur sebelum menjadi pengemudi ojek daring.
Adapun dalam penelitian @lphaβeta, 43 persen mitra pengemudi Uber sebelumnya tidak mempunyai pekerjaan. Sebanyak 70 persen responden menjadikan ojek daring sebagai pekerjaan utama dan 11 persen menjadikan ojek daring sebagai andalan meski juga memiliki pekerjaan lain. Hanya 19 persen menganggap ojek daring sebagai pekerjaan sampingan.
Perlindungan kerja
Di atas kertas, kehadiran ojek daring telah membuka lapangan kerja baru bagi warga Jabodetabek. Namun, kesejahteraan pengemudi masih dipertanyakan. Pengemudi layanan transportasi daring diklasifikasikan sebagai mitra kerja atau kontraktor mandiri, bukan karyawan. Hal itu berarti mereka tidak mendapat berbagai tunjangan karyawan, termasuk asuransi/jaminan kesehatan dan perlindungan kerja.
Berdasarkan penelitian Aulia Nastiti mengenai kesejahteraan pengemudi ojek daring pada November 2016-April 2017, didapatkan fakta bahwa pengemudi cenderung mengalami relasi eksploitatif dibandingkan hubungan kemitraan. Mereka diperlakukan seperti buruh informal dengan perlindungan kerja yang minim atau bahkan tak ada sama sekali.
Perusahaan bisa secara langsung mengontrol pengemudi, ke mana mereka pergi dan pesanan apa yang harus diambil. Pilihan pekerjaan datang dalam hitungan detik. Pengemudi hanya punya waktu 10 detik untuk memilih menerima atau menolak order. Jika menolak dalam waktu berturut-turut, mereka berisiko mendapat sanksi atau tak menerima bonus.
Pemberian bonus dilakukan berdasarkan poin. Mengantar penumpang jarak jauh atau mengantar makanan dihargai dengan poin lebih tinggi. Namun, risikonya, pengemudi menanggung ongkos bahan bakar dan biaya parkir.
Bukan angkutan umum
Dari berbagai kelebihannya, ojek adalah representasi sepeda motor atau bukan angkutan umum. Hal tersebut dipertegas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyebutkan, pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum harus menggunakan mobil penumpang umum atau khusus.
Keberadaan ojek sebagai salah satu moda transportasi juga rawan karena berisiko tinggi dalam kecelakaan lalu lintas. Polda Metro Jaya mencatat, kecelakaan lalu lintas pada 2018 didominasi sepeda motor, yakni 4.255 kecelakaan (dari total 5.400 kecelakaan), naik dibandingkan dengan tahun 2017, yaitu 3,770 kecelakaan. Adapun sekitar 500 orang pengendara sepeda motor meninggal.
Pemerintah akhirnya mampu menjembatani persoalan regulasi ini. Pada Maret 2019, dikeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 mengenai perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Penggunaan sepeda motor disebutkan harus memenuhi aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, dan keteraturan. Peraturan ini merupakan upaya Kemenhub memberi payung hukum bagi keberadaan ojek daring sebagai sarana transportasi.
Dengan keluarnya peraturan ini, seolah-olah ojek diresmikan sebagai angkutan umum. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebutkan, pegaturan ojek merupakan bentuk diskresi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 mengenai Administrasi Negara. Dalam UU ini disebutkan, menteri boleh mengatur sesuatu yang terjadi sangat masif di masyarakat, dalam hal ini ojek daring.
Keluarnya aturan Menteri Perhubungan tersebut hanya untuk mengatur perkembangan ojek daring, khususnya mengenai jaminan keselamatan berkendara, baik bagi pengemudi maupun penumpang.
Pesaing angkutan umum
Keberadaan ojek daring menjadi pesaing angkutan umum. Saat ini banyak warga Ibu Kota yang lebih memilih menggunakan ojek daring dibandingkan dengan angkutan umum. Ojek daring juga dianggap lebih efektif untuk menempuh jarak yang lebih jauh. Dengan sistem aplikasi, ojek daring semakin mudah. Keberadaan ojek daring kian mengancam keberadaan angkutan umum yang ada, apalagi jika angkutan umum tak meningkatkan kualitasnya.
Ojek daring kini telah diatur mengenai keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, keteraturan, dan tarifnya. Meski demikian, persoalan ojek daring belum selesai. Faktor risiko kecelakaan lalu lintas harus terus diwaspadai.
(Litbang Kompas).