Mengasah kecakapan berbahasa asing agar persis sama dengan penutur asli bahasa tersebut secara serius mulai tampak di perguruan tinggi pada awal tahun 1970-an. Hal itu ditandai dengan beroperasinya sebuah laboratorium bahasa di Padang, Sumatera Barat pada pertengahan September 1972.
Harian Kompas edisi 25 September 1972 memberitakan, laboratorium bahasa milik Akademi Bahasa Asing (ABA) Yayasan Pra Yoga, itu merupakan laboratorium bahasa pertama di Sumbar. Laboratorium itu diresmikan pemakaiannya oleh Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sumbar Isjrin Nurdin.
Menurut Ketua Yayasan Pra Yoga Pastor Scaglia SX, perangkat laboratorium bahasa merek Sony itu disumbangkan oleh Regional Superior Xaverian Fathers, Jepang.
Laboratorium berharga harga Rp 4 juta itu tak hanya digunakan oleh ABA, tetapi juga perguruan tinggi lainnya di Sumatera Barat. ABA sendiri yang kala itu mengelola jurusan bahasa Inggris, Belanda, dan Jepang, mendidik sekitar 200 mahasiswa.
Sebulan kemudian, giliran Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, resmi mengoperasikan laboratorium bahasa, serangkaian acara Dies Natalis XII Fakultas Sastra Unhas. Seperti diberitakan Kompas edisi 23 Oktober 1972, laboratorium itu merupakan yang pertama di Indonesia bagian timur. Selain bermanfaat bagi para mahasiswa, laboratorium itu juga dapat membantu dosen melancarkan cara mengucapkan, menyimak, dan menulis ungkapan bahasa asing sesuai standar baku.
Sepekan kemudian, harian ini memaparkan betapa gagapnya sebagian masyarakat mendengar istilah “laboratorium bahasa” atau “lab bahasa”. Di sebuah pameran di IKIP Malang, Jawa Timur, seorang pengunjung terheran-heran melihat perangkat lab bahasa. Dia menduga perangkat lab bahasa dilengkapoi mikroskop dan bejana untuk meneliti bahasa.
Mahasiswa mendengarkannya, kemudian ditanyai tentang isinya. Kadang-kadang rekaman berisi percakapan (conversation) atau kalimat-kalimat pendek untuk ditirukan.
Pada dasarnya, lab bahasa sama saja dengan tape recorder biasa. Cuma banyak ragamnya. Yang paling sederhana hanya berupa alat rekaman suara untuk dipakai dalam kelas, biasanya untuk mengajar listening comprehension. Dosen memutarkan rekaman bacaan sekali atau beberapa kali. Mahasiswa mendengarkannya, kemudian ditanyai tentang isinya. Kadang-kadang rekaman berisi percakapan (conversation) atau kalimat-kalimat pendek untuk ditirukan.
Selanjutnya, perangkat elektronik lab bahasa terdiri dari tape recorder yang dilengkapi beberapa headphone untuk masing-masing mahasiswa. Setiap mahasiswa bisa menyimak bacaan atau percakapan yang diputar dengan jelas tanpa diganggu oleh suara-suara lain. Setiap mahasiswa pun dapat menirukan percakapan dengan lebih tepat sesuai lafal dan intonasinya.
Namun lab bahasa bukanlah alat yang dapat menyulap orang mahir berbahasa asing secara instan. Tak kalah pentingnya: kecakapan guru dan dosen itu sendiri menggunakan alat dan menguasai materi. (NAR)