Keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memenuhi sebagian tuntutan mahasiswa dengan menunda pengesahan empat rancangan regulasi tidaklah cukup untuk meredam gelombang aksi protes.
Oleh
Anita Yossihara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memenuhi sebagian tuntutan mahasiswa dengan menunda pengesahan empat rancangan regulasi tidaklah cukup untuk meredam gelombang aksi protes. Tak hanya menghentikan kecenderungan oligarki dalam pengambilan keputusan, pemerintah dan DPR juga perlu membuka ruang dialog dengan berbagai elemen masyarakat.
”Untuk menciptakan suasana kembali kondusif, pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, harus buka dialog dengan berbagai pihak. Dialog dengan profesor, asosiasi guru besar itu, kan, banyak anggotanya, atau dengan BEM (badan eksekutif mahasiswa) se-Indonesia, dengan civil society,” kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra saat dihubungi, Selasa (24/9/2019) malam.
Pintu dialog itu perlu dibuka karena aksi mahasiswa yang dilakukan sejak awal pekan ini berawal dari kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR yang cenderung sewenang-wenang dalam pengambilan kebijakan. Hal ini salah satunya ditunjukkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
UU KPK hasil revisi, oleh sejumlah kalangan, dipandang justru memangkas kewenangan penting lembaga antirasuah tersebut. Di antaranya, menghadirkan peran Dewan Pengawas, adanya aturan baru penyadapan, serta pemberian kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Selain itu, dalam merevisi UU KPK, pemerintah dan DPR juga sama sekali tidak melibatkan publik. Padahal, biasanya, dalam menyusun undang-undang, baik pemerintah maupun DPR selalu meminta masukan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk kelompok masyarakat sipil, kalangan akademisi, para pakar, dan guru besar.
”Sebenarnya waktu ribut-ribut soal revisi UU KPK itu, kan, katanya mau mengundang KPK, tetapi sampai sekarang belum ada realisasinya. Tidak ada juga dialog dengan wakil civil society, dengan profesor dari kampus juga. Padahal, banyak sekali profesor dari berbagai kampus di Indonesia yang menolak terjadinya gejala oligarki, di DPR ataupun di pemerintah,” tutur Azra.
Tak hanya pemerintah dan DPR, lanjut Azra, mahasiswa dan kalangan masyarakat sipil juga perlu membuka diri untuk berdialog. Jangan sampai mahasiswa menyampaikan protes dengan melakukan tindakan yang justru menyebabkan instabilitas politik, apalagi ekonomi.
Pandangan senada disampaikan pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Jakarta, Hendri Satrio. Pemerintah dan DPR harus memahami jika pemicu utama aksi mahasiswa di berbagai daerah adalah keputusan untuk merevisi UU KPK. Karena itu, sebelum mengambil keputusan terkait UU KPK baru, Presiden Jokowi perlu membuka dialog dengan masyarakat, termasuk mahasiswa.
”Sebelum melakukan tindakan-tindakan, ada baiknya dibuka dialog dengan masyarakat. Apalagi, Presiden Jokowi, kan, selama ini dikenal selalu mendengarkan suara masyarakat,” kata Hendri.
Keluarkan perppu
Solusi jangka pendek yang harus dilakukan Presiden Jokowi untuk mengembalikan stabilitas adalah dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang mengatur pencabutan UU KPK baru.
”Yang dipersoalkan, kan, revisi justru melemahkan KPK. Karena itu, satu-satunya obat, ya, terbitkan perppu pencabutan UU KPK,” kata Hendri.
Azra juga sependapat jika Perppu pencabutan UU KPK merupakan cara tercepat untuk mencegah eskalasi politik. Bahkan, menurut dia, perppu pencabutan UU KPK perlu sesegera mungkin dikeluarkan, yakni pada satu-dua hari ke depan.
”Presiden harus berani mengambil keputusan mengeluarkan perppu karena trigger in factor-nya UU KPK yang tiba-tiba nongol tanpa melibatkan masyarakat. Perppu harus sesegera mungkin karena, kalau tidak, ya, situasi makin tak kondusif. Bisa terjadi eskalasi dan kemudian mempengaruhi langsung pada perekonomian,” tutur Azra menjelaskan.