Lulut Edi Santoso Mengumpulkan dan Merawat Manuskrip Kuno
Sepuluh tahun terakhir Lulut Edi Santoso (54) serius mengumpulkan dan merawat puluhan manuskrip atau naskah kuno yang sebagian di antaranya merupakan warisan keluarga. Langkah itu dilakukan agar buku-buku tulisan tangan pada masa lalu itu tetap terjaga dan bisa dinikmati banyak orang.
Lulut menunjukkan sebagian buku koleksinya yang berumur ratusan tahun pada Pameran Naskah Kuno yang berlangsung selama tiga hari di Perpustakaan Kota Malang, Jawa Timur, pertengahan September lalu. Naskah berwujud buku kusam dengan ukuran berbeda, tebal dan tipis, itu bertuliskan aksara Arab pegon dan Jawa.
Meski agak kurang leluasa karena ditempatkan di dalam etalase, pengunjung yang penasaran bisa melihat wujud manuskrip—yang sebagian kondisinya telah rapuh—itu dari balik kaca. Secarik kertas kecil berisi angka kode digitalisasi oleh tim DreamSea (Digital Repository in Southeast Asia) memudahkan pengunjung mengetahui isi manuskrip yang dimaksud.
Pameran itu sendiri tidak hanya disaksikan oleh masyarakat umum dan pelajar, tetapi juga puluhan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang, yang tengah melakukan kuliah luar ruang.
”Ini manuskrip Babad Demak yang ditulis dengan huruf Arab pegon. Meski tulisannya Arab, tetapi bahasanya Jawa. Jadi bukan Al Quran. Saya juga punya manuskrip Al Quran tiga buah meski kondisinya tidak lengkap,” ujarnya, Minggu (22/9/2019).
Sebagian manuskrip itu berbahan kertas, tetapi ada juga yang terbuat dari kulit kayu (daluwang) dan kulit binatang. Jumlah manuskrip milik Lulut mencapai 21 buah, tetapi yang kondisinya masih layak hanya 20. Temanya beragam, seperti tasawuf, sejarah, sastra, dan fikih.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manuskrip adalah naskah tulisan tangan yang menjadi kajian filologi. Filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa yang terdapat dalam bahan-bahan tertulis.
Menurut Lulut, manuskrip tertua miliknya dibuat tahun 1600-an berupa kompilasi catatan tasawuf dan fikih. Sementara yang lain umurnya variatif, tetapi lebih dari satu abad. Manuskrip itu antara lain sastra puisi naratif berkode digital DS0031_00002, naskah kompilasi DS0031_00005, dan buku tasawuf Tarekat Syatariyyah, ketiganya dibuat tahun 1800-an.
”Identifikasi data sudah. Bulan Desember nanti insya Allah akan selesai proses duplikasi secara digital. Setelah itu, baru akan diterjemahkan dari teks asli ke tulisan Latin oleh tim tersendiri. Ada kawan Komunitas Bahasa Jawa yang siap melakukannya. Ada teman dari Kediri, Malang, Yogyakarta, dan Sukoharjo yang siap,” tuturnya.
Lelaki yang gemar membaca sejak kecil ini mulai serius mengumpulkan manuskrip sejak 2008. Naskah tersebut diperoleh dari sejumlah daerah, seperti Malang, Nganjuk, dan Yogyakarta. Sebagian merupakan warisan keluarga dan sebagian lainnya dibeli dari orang lain dengan harga cukup tinggi.
Meski warisan keluarga, Lulut mengaku tidak mudah mendapatkannya. Ia harus berjuang dan sabar meminta agar saudaranya bersedia menyerahkan naskah-naskah tua itu. Bahkan, ada manuskrip yang baru diberikan kerabatnya setelah 10 tahun diminta. Ada juga buku yang telanjur dimusnahkan oleh sang kerabat sebelum sampai ke tangan Lulut.
”Saat itu, saya mendapat pesan dari ibu (almarhumah Maseni) agar meminta kitab milik paman di Nganjuk yang terbuat dari kulit binatang. Lalu, saya tanyakan ke paman. Awalnya dia bilang tidak ada. Lalu, paman bilang masih ada satu buku lagi, tetapi tidak boleh dibawa. Baru 10 tahun kemudian dia memberikan buku itu,” ucapnya.
Pasar buku bekas juga menjadi sasaran perburuan guru SMA 3 Kota Malang ini meski hasilnya tidak selalu maksimal. Terakhir, satu bulan lalu, Lulut mendapatkan Primbon Jawa berukuran kecil. ”Manuskrip lain terkadang saya dapatkan tidak sengaja. Ada pedagang sayur lewat dan menawarkan buku kuno. Buku itu saya beli Rp 7 juta meski awalnya dia minta Rp 8 juta,” katanya.
Lulut sendiri belum membaca secara keseluruhan semua manuskrip koleksinya. November 2018, filolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus asesor dari DreamSea, Dick van Der Meij, datang ke rumah Lulut di Perumahan IKIP Tegalgondo, Kabupaten Malang, untuk mencermati koleksinya.
Menurut Lulut, digitalisasi merupakan langkah untuk menjaga agar manuskrip itu bisa tahan lama. Upaya ini dilakukan melalui kerja sama dengan DreamSea. DreamSea merupakan program digitalisasi naskah kuno kerja sama Pusat Studi Manuskrip Universitas Hamburg, Jerman, dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah.
Diakui Lulut, kondisi naskah berusia ratusan tahun rentan dan mudah rusak. Pengaruh alam, kelembaban udara, hingga serbuan rayap menjadi ancaman nyata. Ia mencontohkan salah satu buku lama miliknya, yakni Serat Ambiya—berisi kisah-kisah nabi—setebal ratusan halaman habis menyisakan dua halaman akibat dimakan rayap saat ia tinggal untuk menuntut ilmu di Surabaya tahun 1980-an.
”Kenapa rapuh? Karena terbuat dari jenis kertas dan tinta asal Eropa dan China yang mengandung logam. Ujung pena masa lalu juga tajam. Pernah saya baru mendapat buku lama yang berdebu. Buku itu saya jatuhkan dengan maksud agar debunya rontok. Tetapi yang terjadi buku itu justru hancur,” ucapnya.
Ayah dua anak ini mengatakan, upayanya mengoleksi dan merawat manuskrip kuno didasarkan atas keinginan agar buku-buku yang ditulis pada masa lalu itu tetap lestari. Bagaimana ke depan generasi muda bisa menyaksikan dan membaca apa yang ditinggalkan oleh pendahulunya meski tidak sedikit ada orang lain yang ingin memiliki.
”Karena ini manuskrip, tidak jarang ada yang mengincar ingin memiliki. Hampir setiap hari ada yang menanyakan, tetapi sejauh ini tidak saya jual,” katanya.
Ke depan, Lulut berharap, ada pihak yang bersedia mencetak duplikat manuskrip miliknya meski dengan jumlah terbatas. Selain untuk kajian masyarakat, duplikat itu nantinya juga akan diserahkan ke perpustakaan.
Kecintaan Lulut pada buku berlangsung sejak muda. Saat masih duduk di bangku SD, Lulut sudah mengumpulkan buku. Ia pun membuat perpustakaan pribadi di rumahnya dengan koleksi mencapai ribuan buah, termasuk lebih dari 500 buku Ketetapan Pemerintah Belanda mulai 1903 sampai masa Republik Indonesia Serikat tahun 1959.
”Ketebalan Ketetapan Pemerintah Belanda rata-rata 200-2.000 halaman. Saya dapat dari bekas kantor perkebunan di Jalan Mundu, Malang, termasuk laporan Pemerintah Belanda tentang perkebunan di Hindia Belanda. Buku-buku itu saya dapatkan kurang dari satu tahun lalu. Awalnya mau saya beli, tetapi kemudian diberikan secara cuma-cuma karena tahu alasan saya untuk perpustakaan,” ucapnya.
Lulut berniat menyerahkannya ke lembaga terkait. Namun, pihak yang sudah dihubunginya tidak memberikan respons.
Lulut Edi Santoso
Lahir: Lamongan, 13 Maret 1965
Istri: Djoewarijah Boedisantosa (54)
Anak: 2
Pendidikan:
- SDN Mendogo, Ngimbang, Lamongan
- SMP Harapan, Lamongan
- SMA Islam Parlaungan, Sidoarjo
- D-3 Seni Rupa IKIP Surabaya
- S-1 Seni Rupa Universitas Negeri Malang
- S-2 Pendidikan Seni Budaya Universitas Negeri Surabaya