Eksistensi perbedaan yang telah disepakati bangsa ini sebagai pondasi bersama Indonesia justru berulangkali dilanggar oleh sejumlah oknum.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Komitmen Indonesia memberikan kebebasan terhadap keragaman atau keberagaman ekspresi budaya sudah tertuang dalam Pasal 28 C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, semboyan negara pun menegaskan Indonesia adalah “Bhinneka Tunggal Ika” atau “Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu”. Melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2011, Indonesia juga resmi meratifikasi Konvensi 2005 mengenai Perlindungan dan Promosi Keberagaman Ekspresi Budaya.
Rasanya tak kurang-kurang bangsa ini memproklamirkan sikapnya untuk merangkum keberagaman ekspresi budaya yang ada di Indonesia. Meski demikian, persoalan tentang kebebasan ekspresi budaya masih tetap menjadi pekerjaan rumah besar.
Eksistensi perbedaan yang telah disepakati bangsa ini sebagai pondasi bersama Indonesia justru berulangkali dilanggar oleh sejumlah oknum. Deretan aksi intoleransi berupa intimidasi serta kekerasan terjadi di sejumlah daerah, mulai dari pembubaran ritual budaya, pembubaran pemutaran film, pelarangan ibadah, hingga eksklusi sosial terhadap kaum tertentu.
Deretan aksi intoleransi berupa intimidasi serta kekerasan terjadi di sejumlah daerah.
Komitmen di tingkat nasional rupanya tidak membumi hingga ke daerah-daerah. Ini terlihat dari masih munculnya aturan-aturan diskriminatif di tingkat lokal di daerah. Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, di sejumlah daerah masih bermunculan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang mendorong sikap eksklusif, melegalisasi intoleransi, melanggar hak, dan melukai kaum minoritas.
”Begitu banyak kebijakan negara yang diskriminatif mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga RT. Ketentuan-ketentuan demikian nyata-nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak, dan mengakibatkan luka moral atas minoritas,” ujarnya
Konvensi 2005 merupakan komitmen bersama untuk mendorong negara-negara di dunia menerapkan kebijakan-kebijakan yang berbasis pada prinsip-prinsip kebebasan ekspresi, kesetaraan, keterbukaan, keberimbangan, dan keberlanjutan. Konvensi ini memiliki cakupan 11 area pengawasan, antara lain budaya dan sektor kreatif, keberagaman media, kesetaraan jender, hingga kebebasan artistik sebagai bagian dari penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan kebebasan fundamental.
Keberagaman Media
Dalam konteks media, Konvensi 2005 berupaya memastikan terciptanya keberagaman pada industri media, mulai dari keberagaman konten, kepemilikan media, kemerdekaan media, demografi media, konten media, aksesibilitas media, transparansi media, hingga ketersediaan data. Dari indikator kepemilikan media misalnya, akan tampak siapa pemilik media, apakah pihak asing atau domestik, pangsa pasar, hingga afiliasi politiknya. Sementara itu, dari indikator aksesibilitas akan tampak bagaimana media merangkul publik secara umum atau tidak, apakah mudah terjangkau atau tidak, dan apakah menyediakan aneka macam platform atau tidak.
Meski telah menjadi Konvensi internasional sejak 2005, isu tentang keberagaman media belum menjadi wacana umum yang disepakati bersama oleh seluruh pemangku kepentingan media di Indonesia. Sampai saat ini, Dewan Pers pun belum menyusun pedoman khusus tentang keberagaman media.
Meski telah menjadi Konvensi internasional sejak 2005, isu tentang keberagaman media belum menjadi wacana umum yang disepakati bersama oleh seluruh pemangku kepentingan media di Indonesia.
Karena belum ada rumusan bersama secara nasional dari kalangan media Indonesia, maka pemahaman tentang keberagaman masih dimaknai sendiri-sendiri oleh perusahaan-perusahaan media yang ada.
Kalaupun sudah mulai diterapkan dalam proses-proses peliputan, banyak media masih cenderung memaknai keberagaman media dalam kacamata yang sempit, semata-mata soal keberagaman etnis, suku, dan agama yang ada di Indonesia. Banyak media yang tak memahami bahwa makna keberagaman memiliki makna yang lebih kompleks dan luas.
Beberapa persoalan akut dalam konteks keberagaman media yang belum bisa dipecahkan adalah tentang kepemilikan media yang rata-rata masih didominasi oleh para politisi, kualitas konten siaran yang buruk dan cenderung mementingkan rating dan share, serta tidak berjalannya penerapan televisi berjaringan yang kemudian berimplikasi pada siaran-siaran televisi menjadi sangat “Jakarta sentris”.
Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media, almarhum Amir Effendi Siregar pernah mengatakan, jika dulu negara menjadi satu-satunya penguasa lembaga penyiaran publik, kini penguasaan telah beralih ke swasta, tetapi hanya dikuasai segelintir pemain. “Bentuk otoritarianisme negara bergeser menjadi otoritarianisme kapital. Pemainnya berganti, tetapi peran monopoli tetap berjalan,” ujarnya.
Jika dulu negara menjadi satu-satunya penguasa lembaga penyiaran publik, kini penguasaan telah beralih ke swasta, tetapi hanya dikuasai segelintir pemain.
Karena hanya dikuasai segelintir pemilik stasiun televisi, keanekaragaman isi siaran dan kepemilikan diabaikan. Akibatnya, konsentrasi media pun terjadi dan sistem jaringan televisi yang semestinya dilakukan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak jalan.
Itu semua terjadi karena lemahnya pemahaman terhadap konstitusi dan demokrasi, peraturan dan kebijakan yang tidak konsisten dengan undang-undang, serta regulasi yang disalahtafsirkan oleh pengusaha. Pasar dibiarkan bergerak liar tanpa kontrol, kepentingan publik pun cenderung diabaikan.
Karena itulah, sistem televisi berjaringan dan pembatasan kepemilikan stasiun televisi perlu dijalankan agar nantinya bisa lahir banyak institusi rating berdasarkan permintaan pasar atau pun masyarakat. Selain itu, fungsi lembaga penyiaran publik dan komunitas juga harus diberdayakan.
Akhir kata, sudah saatnya bangsa ini mempertanyakan kembali komitmennya dalam menjunjung keberagaman dalam berbagai aspeknya. Sebab, perbedaan dan keberagaman adalah eksistensi riil dari bangsa ini. Jangan sampai, komitmen bangsa untuk mempertahankan eksistensinya hanya berhenti pada jargon-jargon semata.