Parlemen, Kembalilah ke Masyarakat
Dalam pertemuan yang dihadiri perwakilan 65 parlemen dari negara-negara Asia dan Eropa, pesan agar para wakil rakyat lebih keras dan berani menyuarakan aspirasi masyarakat digaungkan.
Di bawah naungan bangunan berselubung kaca biru yang diberi nama Palace of Independence, para pemimpin parlemen yang berasal dari puluhan negara Eurasia berkumpul, termasuk Indonesia. Para anggota parlemen yang hadir diingatkan, keberadaan mereka di dalam tempat yang mengusung makna kemerdekaan ini tidak lepas dari peran masyarakat.
Sebanyak 65 negara lintas Eurasia mengirimkan perwakilannya untuk hadir dalam pertemuan keempat pemimpin parlemen negara-negara Eurasia yang diselenggarakan pada 23-24 September 2019 di Nur-Sultan, Kazakhstan. Dengan mengusung tema ”Greater Eurasia: Dialogue, Trust, and Partnership”, para delegasi berbagi pengalaman dan memberi usulan untuk menghadapi tantangan krisis global.
Indonesia diwakili oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Wakil Ketua DPD Darmayanti Lubis dalam acara tahunan yang berlangsung sejak 2016 itu. Keikutsertaan yang aktif dari Indonesia pun berbuah penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah kegiatan ini pada 2020 dan telah disepakati oleh 50 negara peserta.
Diplomasi parlemen yang baik dan capaian Indonesia terkait kinerja parlemen dan demokrasi disebut Fadli sebagai pertimbangan dari terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah. Namun, apakah benar demikian adanya?
Saat membuka pertemuan tersebut, Presiden pertama Kazakhstan Nursultan Nazarbayev menyinggung perlunya penguatan ekonomi antarnegara Eurasia dalam menghadapi perang dagang. Pembangunan jalur sutra dari China ke Eropa pun terus diupayakan sebagai salah satu solusi menghadapi perang dagang.
Di sisi lain, persoalan perdamaian di sejumlah negara seperti Korea juga menjadi sorotan. Begitu pula sindikat terorisme yang menyebar hingga ke Indonesia. Akan tetapi, Nazarbayev menegaskan, kontribusi parlemen harus konkret dan nyata menyentuh masyarakat, baik di tingkat bilateral, multilateral, maupun dalam negeri.
”Upaya legislatif mendukung kesuksesan proyek yang terintegrasi antarnegara. Suara yang disampaikan juga perlu lebih spesifik agar berdampak. Tapi yang terpenting, parlemen harus berani lebih keras menyuarakan aspirasi masyarakat di setiap negaranya dan konsisten. Karena kontribusi untuk masyarakat sangat diperlukan di tengah krisis,” tutur Nazarbayev yang mendapat sambutan dari para peserta pertemuan.
Masyarakat
Merujuk pada buku The Evolution of Parliament oleh AF Pollard, keberadaan parlemen sejatinya merupakan salah satu peranti demokrasi. Fungsi dan tujuannya juga untuk menjadi jembatan bagi aspirasi dan kehendak masyarakat yang terbagi dari tiap daerah. Ini mirip seperti yang ada di Indonesia dan sejumlah negara Eropa dan Asia yang parlemennya juga menganut sistem bikameral.
Gagasan tersebut tampak ideal memang. Namun faktanya, hal ini tak berjalan mulus. Kepentingan politik para elite kerap membuat parlemen berjalan tidak atas kepentingan masyarakat. Kazakhstan yang juga memakai sistem bikameral, sama seperti Thailand, Jordania, Kamboja, Italia, India, Korea Selatan, hingga Perancis yang turut hadir, juga menyadari persoalan tersebut, selain kesepakatan terkait masalah ekonomi, perdamaian, dan perlindungan HAM.
”Untuk itu, perlu kembali pada masyarakat,” ujar Nazarbayev yang terpilih kembali pada Pemilu 2015 sejak mulai memimpin pada 1991 setelah lepas dari Uni Soviet. Kendati demikian, Nazarbayev memutuskan mengundurkan diri belum lama ini sehingga digantikan oleh Kassym-Jomart Tokayev yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Senat Kazakhstan.
Imbauan untuk kembali pada masyarakat ini seolah relevan dengan kondisi yang belakangan ini terjadi di Indonesia. Gagasan penguatan ekonomi dan perdamaian dunia tentu penting. Akan tetapi pada saat yang sama, memupuk kepercayaan masyarakat dalam negeri jauh juga dibutuhkan.
Parlemen Indonesia
Unjuk rasa mahasiswa di sejumlah tempat di Tanah Air, yang terjadi bertepatan dengan digelarnya pertemuan pemimpin parlemen ini, menjadi sinyal peringatan bagi parlemen Indonesia. Pemicunya adalah pembahasan sejumlah rancangan undang-undang, seperti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan, yang tadinya hendak disahkan pada paripurna 24 September 2019.
Belum lagi, bencana asap dan kebakaran hutan yang tak kunjung usai di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan yang dampaknya sampai ke negara tetangga.
Menanggapi hal ini, Fadli Zon hanya menjawab para mahasiswa yang melakukan aksi sebagian sempat diterima DPR dan didengarkan aspirasinya mengingat hal itu adalah tugas dari wakil rakyat. Namun, mengacu pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dipublikasikan pada 23 September 2019, sebanyak 66,2 persen responden merasa belum terwakili. Bahkan, sebanyak 62,8 persen responden merasa DPR tidak aspiratif saat memutuskan merevisi UU KPK.
Kemudian, sebanyak 69,2 persen menyatakan upaya revisi UU lainnya yang tergesa-gesa juga hanya ditujukan untuk kepentingan elite dan partai politik. Citra parlemen pun dinilai 62,4 persen responden masih buruk.
Kembali pada alasan terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan pemimpin parlemen negara-negara Eurasia pada 2020, parlemen Indonesia harus membuktikan kinerja yang diklaimnya baik itu. Tidak hanya pada masyarakat, tapi pada dunia internasional nantinya.
Sebagai wakil rakyat, semestinya bersuara lebih keras untuk nasib rakyat. Rakyat mestinya bukan hanya dilihat saat pemilihan umum mendekat. Rakyat bukan sekadar lumbung suara, rakyat adalah pemilik sah negeri ini yang berhak untuk memperoleh hidup sejahtera.