Media sosial membuka peluang beredarnya kosmetik palsu dengan jangkauan yang lebih luas. Untuk mengantisipasi meluasnya peredaran tersebut, BPOM mengawasi dan melakukan patroli siber di media sosial serta pasar daring.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peredaran produk kosmetik ilegal masih marak. Media sosial membuat peredaran tersebut berpeluang semakin luas. Selain pengawasan, edukasi kepada konsumen dan pengiklan penting untuk memutus rantai peredaran kosmetik ilegal.
Data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan, nilai keekonomian kosmetik ilegal yang ditemukan pada Januari-Agustus 2019 mencapai Rp 31 miliar. Total temuan kosmetik ilegal sepanjang 2018 adalah Rp 125 miliar. Angka tersebut menunjukkan masih maraknya peredaran kosmetik ilegal di tengah masyarakat.
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, masih banyak produk kosmetik yang belum mendapat izin edar dari BPOM. Ia mengimbau para pelaku usaha untuk segera mengurus perizinan. Pengajuan notifikasi kosmetik bisa dilakukan secara daring.
”Masyarakat pun mesti hati-hati dengan produk berizin edar palsu. Keaslian izin edar bisa dicek di laman kami dan aplikasi BPOM Mobile. Di sisi lain, kami tetap melakukan pengawasan post-market atau setelah suatu produk beredar,” kata Penny, Rabu (25/9/2019), di Jakarta, pada diskusi berjudul Endorse Kosmetik Aman atau Menuai Bencana.
Perkembangan teknologi pun membuka peluang beredarnya kosmetik palsu dengan jangkauan yang lebih luas. Untuk mengantisipasi meluasnya peredaran tersebut, BPOM mengawasi dan melakukan patroli siber di media sosial serta pasar daring (marketplace).
Penny mengatakan, mengedukasi masyarakat merupakan cara paling efektif untuk meminimalkan peredaran kosmetik ilegal. Figur publik pun dirasa perlu diedukasi, terlebih mereka yang sering mempromosikan (endorse) kosmetik di media sosial. Edukasi juga dirasa perlu mengingat sejumlah artis Indonesia tersandung kasus promosi kosmetik palsu pada akhir 2018.
Pengaruhi pengikut
Barang yang ditampilkan figur publik dinilai bisa memengaruhi para pengikutnya (follower) di media sosial. Sebagai contoh, sebuah unggahan kosmetik dari beragam figur publik dunia maya bisa disukai puluhan hingga ratusan ribu tanda suka (like) dari para pengikut. Tak jarang para pengikut terpengaruh untuk membeli barang yang dipromosikan tersebut.
”Endorser (pengiklan) penting karena mereka bisa membantu mengedukasi masyarakat untuk membedakan kosmetik legal dan ilegal. Ketika beriklan pun mereka tidak boleh berlebihan, harus obyektif, dan sesuai fakta,” kata Penny.
Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Marcella Zalianty yang hadir pula dalam acara itu juga mendorong para figur publik mengecek kontrak sebelum menerima tawaran iklan. Kontrak harus menjelaskan legalitas dan keamanan kosmetik.
Selain edukasi tentang pentingnya mengenali kosmetik legal, menurut dia, sosialisasi tentang konsekuensi hukum beriklan kosmetik ilegal juga perlu diberikan.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, tidak banyak warga yang melaporkan kasus kosmetik ilegal karena alasan personal. Rata-rata laporan kosmetik ilegal yang diterima per tahun adalah 5-10 kasus.
”Jangan dilihat dari jumlahnya yang sedikit karena ini seperti fenomena gunung es. Saya mengimbau masyarakat untuk membeli kosmetik legal karena dengan begitu mereka bisa dilindungi haknya sebagai konsumen,” kata Sudaryatmo.