Rancangan Undang-undang Berpotensi Lumpuhkan KPK
Puluhan poin dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berisiko melemahkan kinerja KPK. Lembaga ini tetap ada, tetapi kewenangannya bisa teramputasi.
JAKARTA, KOMPAS — Tim Komisi Pemberantasan Korupsi mengidentifikasi ada 26 poin dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berisiko melemahkan kinerja lembaga antirasuah tersebut. Identifikasi terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pun terus didalami.
”Ada 26 poin yang kami pandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan riskan melumpuhkan kerja KPK. Sebab, beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Rabu (25/9/2019).
Febri menyampaikan, ketidaksinkronan antarpasal dalam RUU KPK menimbulkan tafsir yang beragam sehingga menyulitkan KPK dalam penanganan perkara korupsi ke depan. Padahal, jika proses penyusunan RUU lebih terbuka, melibatkan publik, mendengar masukan instansi terkait, yaitu KPK, dan tidak terburu-buru, beberapa risiko persoalan hukum dapat diminimalkan.
Misalnya, Pasal 3 dikatakan bahwa KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Namun, KPK akan diletakkan sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Bagian yang mengatur bahwa pimpinan KPK adalah penanggung jawab tertinggi pun dihapus.
Baca juga: Titik Nadir Pemberantasan Korupsi
Pelemahan independensi juga tecermin dari pegawai KPK yang akan dijadikan aparatur sipil negara. Artinya, akan ada risiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran, dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya. Para pegawai KPK pun akan rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugas.
”Status pegawai KPK sebagai ASN juga tidak dijelaskan apakah menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Dengan demikian, ada risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN,” papar Febri.
Keberadaan dewas
Keberadaan dewan wengawas (Dewas) pun turut melemahkan kinerja KPK. dewas akan lebih berkuasa dari pimpinan KPK karena masuk dalam teknis penanganan perkara, yaitu berwenang memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan kepada pimpinan KPK. ”Bagaimana jika dewas tidak mengizinkan? Siapa yang mengawasi dewas?” ujar Febri.
Tak hanya itu, standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewas lebih rendah dibandingkan dengan pimpinan dan pegawai KPK. Poin ini terdapat dalam Pasal 36 yang tidak berlaku bagi dewas.
Dengan begitu, dewas tidak dilarang menjadi komisaris, direksi, organ yayasan, hingga jabatan profesi lain. Tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK. Sementara itu, pihak yang diawasi diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di RUU KPK.
”Dewas untuk pertama kalinya dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat dan yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun yang diatur dalam Pasal 69 Ayat (1),” kata Febri.
Terdapat pula pertentangan sejumlah norma dalam dewas, misalnya dalam Pasal 69D yang mengatakan sebelum dewas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum RUU ini diubah. Namun, dalam Pasal II diatur RUU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
Dalam RUU KPK ini pun, posisi penasihat KPK dihilangkan tanpa kejelasan dan aturan peralihan. ”Apakah penasihat menjadi dewas atau penasihat langsung berhenti saat UU ini diundangkan?” ujar Febri.
Melumpuhkan penindakan
Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan. Adapun risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian (Polri) karena Pasal 38 Ayat (2) RUU KPK dihapus.
Pada satu sisi, RUU meletakkan KPK sebagai lembaga yang mengordinasi dan menyupervisi Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi. Namun, di sisi lain, jika Pasal 38 Ayat (2) RUU KPK dihapus, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.
Kewenangan penuntutan pun dikurangi. Pada Pasal 12 Ayat (2) tidak disebut kewenangan penuntutan, hanya disebut ”dalam melaksanakan tugas penyidikan”. Padahal, sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap terdakwa. KPK juga disebut harus berkoordinasi dengan pihak terkait dalam penuntutan, tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
”Norma yang diatur tidak jelas dan saling bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas penyidikan, tetapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di penuntutan,” tutur Febri.
Kegiatan operasi tangkap tangan pun dinilai menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di RUU KPK. Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan dan lebih sulit karena ada lapis birokrasi.
Baca juga: Sejumlah Calon Mendukung Pasal Bermasalah
Setidaknya ada enam tahap yang harus dilalui untuk melakukan penyadapan. Dari penyelidik yang menangani perkara ke kepala satuan tugas. Kemudian ke direktur penyelidikan lalu ke deputi bidang penindakan. Setelah itu, ke pimpinan lalu ke dewas dan masih perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu. ”Terdapat risiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan penyadapan. Sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT,” kata Febri.
Adapun risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas menjadi terbuka. Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, tetapi tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara dan siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut.
Dalam penyadapan juga terdapat ancaman pidana terhadap pihak yang melakukan penyadapan atau menyimpan hasil penyadapan tersebut. Ancaman pidana diatur, tetapi tidak jelas rumusan pasal pidananya.
OTT dipersulit
Selain itu, ada pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi. Dalam Pasal 6 huruf a disebutkan bahwa KPK bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.
Baca juga: Pembahasan RUU KPK Dinilai Cacat Prosedur
”Hal ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar, ketika KPK mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang, sebaiknya KPK ’mencegah’ dan memberitahukan pejabat tersebut agar tidak menerima suap,” tutur Febri.
Kewenangan penyelidikan pun dipangkas sebab penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke luar negeri. Hal ini berisiko untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah kabur ke luar negeri saat penyelidikan berjalan.
Kemudian terkait dengan jangka waktu surat perintah penghentian penyidikan (SP3) selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Aturan ini dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus E-KTP, BLBI, kasus mafia migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar.
Ketentuan ini berbeda kalau dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3. Padahal, KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum.
Baca juga: Pertaruhan Citra Presiden Jokowi
Kemudian, Pasal 46 Ayat (2) UU KPK pun diubah. Selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, misalnya perlu izin untuk memeriksa pejabat tertentu.
Namun, Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK. Ppadahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa.
RUU KPK juga menghapus kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik. Sesuai dengan putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain.
”Untuk dalam keadaan tertentu, KPK awalnya dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang meresahkan masyarakat. Namun, kewenangan ini tidak ada lagi,” tutur Febri.
Pencegahan tak diperkuat
Dalam RUU yang disahkan DPR, KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara, Jakarta. Artinya, KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia, KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri,” ujar Febri.
Selain itu, keluhan selama ini karena tidak adanya sanksi tegas terhadap penyelenggara negara yang tidak melaporkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara tetap tidak diatur. Kendala pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi ini.
Baca juga: Dengarkan Masukan Publik
Kewenangan KPK melakukan supervisi juga turut dikurangi. Itu terlihat dari tidak adanya pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi pelayanan publik. ”Padahal, korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan publik akan disarankan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius memperkuat kerja pencegahan KPK,” tutur Febri.
Tergesa-gesa
Febri menyampaikan, jika RUU KPK benar disahkan oleh Presiden, salah satu pimpinan KPK terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur, yaitu kurang dari 50 tahun. Ini menunjukkan ketidakcermatan pengaturan untuk usia pimpinan KPK.
Adapun dalam Pasal 29 huruf e, pimpinan KPK disyaratkan minimal 50 tahun, padahal keterangan dalam kurung tertulis ”empat puluh” tahun. Alasan UU tidak berlaku surut terhadap lima pimpinan yang terpilih pun tidak relevan karena Pasal 29 UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat.
Jika sesuai jadwal, pengangkatan pimpinan KPK oleh presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu berarti UU perubahan kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur minimal 50 tahun. Apabila dipaksakan pengangkatan tetap dilakukan, terdapat risiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah. ”Jika ada pihak-pihak yang mengatakan revisi UU KPK saat ini memperkuat KPK, baik dari aspek penindakan maupun pencegahan, dilihat dari 26 poin di atas hal tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya,” kata Febri.
Tim KPK yang sudah ditugasi pimpinan pun akan terus mendalami poin-poin di RUU KPK. Identifikasi ini untuk melihat lebih jauh apa saja tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan efek kerusakan terhadap KPK ke depan.