Segitiga Sinergi Hadapi Hoaks
Dalam struktur sosial hidup bernegara, terdapat tiga elemen penting yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan media massa. Ketiganya membangun “segitiga” relasional yang saling berhubungan satu sama lain. Sayangnya, kini hoaks masuk di tengah-tengah segitiga itu dan memberikan dampak negatif terhadap ketiganya.
Idealnya, hoaks perlu dihilangkan sehingga relasi antar ketiga elemen itu dapat kembali sehat. Akan tetapi, wabah hoaks akan tetap ada seiring adanya hak kebebasan berpendapat dan media digital yang menjadi lahan suburnya.
Bukan hanya teks, hoaks kini disajikan secara audio visual dan menampilkan “kebenaran” dengan mengecoh persepsi, menipu indera, serta memelintir logika. Kendati hoaks akan sangat sulit dihilangkan, namun bukan tidak mungkin ketiga elemen sosial tersebut dapat imun terhadapnya.
Bukan hanya teks, hoaks kini disajikan secara audio visual dan menampilkan “kebenaran” dengan mengecoh persepsi, menipu indera, serta memelintir logika.
Dimulai dari masyarakat, berdasarkan laporan survei nasional MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia) 2019, masyarakat sudah cukup mampu mengatasi hoaks yang mereka dapatkan dari media daring.
Ketika menerima berita heboh, sebanyak 69,30 persen responden memilih untuk memeriksa kebenaran berita tersebut, sementara yang lainnya ada yang memilih mendiamkannya (16,9 persen). Sementara itu, hanya 1 persen responden saja yang memilih untuk langsung meneruskannya.
Dari responden yang memilih untuk langsung meneruskan berita heboh, ternyata mereka memiliki alasan yang serius maupun tidak. Hampir setengah responden beralasan karena berita yang diperoleh dari orang yang dapat dipercaya. Lainnya, ada yang mengira berita heboh itu akan bermanfaat bagi orang lain, mengira berita itu benar, atau hanya sekadar iseng.
Sikap tak acuh sebagian responden terlihat dari pilihannya yang langsung meneruskan atau enggan memeriksa fakta dari informasi yang ia dapat. Masih merujuk pada laporan yang sama, lebih dari setengah responden yang enggan memeriksa fakta karena mengira bahwa sudah ada yang memeriksa.
Selain itu, hampir 40 persen responden tidak mau tahu atau direpotkan. Padahal, cara kerja hoaks akan semakin efektif bila si penerima informasi meneruskan begitu saja tanpa verifikasi.
Bahkan, sebanyak 81,9 persen responden menyadari bahwa diri mereka sendirilah yang seharusnya bertanggung jawab atas penanggulangan hoaks.
Kendati ada responden yang tak peduli, sebagian besar responden yang peduli nampak terlihat sudah berperan secara aktif untuk menghambat penyebaran hoaks. Mengoreksi melalui media sosial, memblokir situs atau aplikasi, dan melaporkan akun yang menyebarkan menjadi contoh-contoh tindakan yang dilakukan responden. Bahkan, sebanyak 81,9 persen responden menyadari bahwa diri mereka sendirilah yang seharusnya bertanggung jawab atas penanggulangan hoaks.
Temuan ini dapat menjadi angin segar di tengah terjangan hoaks bertubi-tubi pada masa kampanye pemilu kemarin. Akan tetapi masih ada catatan yang perlu diperhatikan, bahwa para responden dalam survei tersebut didominasi oleh responden yang berpendidikan S1 dan S2. Maka, perjalanan menghadapi hoaks masih panjang dan partisipasi masyarakat menjadi kuncinya.
Media dan Verifikasi
Dalam menghadapi hoaks yang mewabah di banyak negara, UNESCO telah merilis Buku Pegangan untuk Pendidikan dan Pelatihan Jurnalisme (2018) yang ditujukan bagi jurnalis maupun masyarakat luas. Diharapkan, media berita bekerja semakin selaras dengan standar dan etika profesional, menghindari penerbitan informasi yang belum dicek, dan mengambil jarak dari informasi yang mungkin sebenarnya adalah misinformasi atau disinformasi.
Di dalam buku ini, terdapat tujuh modul yang terbagi dalam dua bagian besar. Tiga modul pertama berisikan konteks kemunculan hoaks dan masalah yang ditimbulkannya. Kemudian, empat modul berikutnya membahas upaya penanganan hoaks yang sudah dimulai dan akan dilanjutkan.
Dari keempat modul itulah peran media massa baik daring atau luring, begitu ditekankan. Dimulai dengan Literasi Media dan Informasi yang sebenarnya sudah berjalan di Indonesia dengan hadirnya Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi guna mendorong literasi digital di masyarakat.
Hingga akhir 2018, selain memproduksi beragam materi literasi digital seperti video dan infografik, Siberkreasi sudah meluncurkan 65 buku panduan literasi digital dengan berbagai topik seperti melawan hoaks, mengelola informasi bencana alam, mengatasi kecanduan games, hingga digital parenting.
Pada modul selanjutnya, ditekankan perihal pemeriksaan fakta dan verifikasi. Kedua praktik ini menjadi penting sebagai kontra-narasi atas hoaks yang beredar di masyarakat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih terdapat kesulitan karena dalam mencari fakta atas satu hoaks saja, memerlukan waktu yang tidak sedikit. Sementara itu, hoaks lainnya sudah terlanjur tersebar dan dibagikan oleh banyak pihak.
Mengenai verifikasi, media massa dituntut untuk memiliki kemampuan untuk memeriksa fakta sebelum membuat dan merilis berita. Kemampuan verifikasi ini tidak hanya terbatas pada kebenaran fakta tulisan atau lisan, namun juga mengenai keotentikan video maupun foto. Verifikasi menjadi kunci bagi media agar tidak terjerumus sebagai agen penyebar hoaks ke masyarakat.
Untuk pemeriksaan fakta dan verifikasi ini, sebagai contoh Litbang Kompas telah melakukannya dalam rangka pemilu kemarin. Khususnya dalam kelima debat antar pasangan calon, Litbang Kompas mencatat pernyataan tiap calon untuk kemudian diperiksa faktanya melalui verifikasi data. Hasil verifikasi data ini lalu disebarkan melalui kanal-kanal media sosial secepat mungkin agar masyarakat mengetahui fakta terlebih dulu dibandingkan hoaks.
Selanjutnya, dalam modul terakhir dijelaskan mengenai pelecehan daring atau intimidasi kepada jurnalis yang dikenal juga dengan sebutan astroturfing atau trolling. Kedua istilah tersebut merujuk pada penyebaran informasi palsu, dengan menarget para jurnalis sehingga membuat berita yang tidak sesuai fakta. Sebagai contoh, peristiwa kesaksian Ratna Sarumpaet yang mengaku kepada awak media bahwa dirinya dikeroyok oleh sejumlah orang, meski kenyataannya ia tidak demikian.
Dari beberapa kasus yang terjadi, sejumlah jurnalis media di Indonesia pernah mengalami intimidasi ketika meliput kejadian di lapangan karena pihak yang diliput tidak ingin aksi yang sebenarnya diketahui. Pihak yang diliput tersebut biasanya menginginkan para awak media melaporkan berita sesuai dengan keinginan mereka dan disertai ancaman atau intimidasi.
Di samping sejumlah kiat bagi para jurnalis di atas, hal lain yang yang perlu diwaspadai adalah menjaga kepercayaan publik terhadap konten-konten media yang terverifikasi. Dalam atmosfer ini, orang-orang cenderung percaya konten apapun yang didukung oleh lingkaran mereka atau sesuai dengan apa yang mereka percayai sebelumnya tanpa menggunakan pertimbangan rasional. Maka, media massa harus berani untuk kembali pada perannya sebagai jembatan untuk menyambungkan antara warga dan fakta sebenarnya.
Dalam atmosfer ini, orang-orang cenderung percaya konten apapun yang didukung oleh lingkaran mereka atau sesuai dengan apa yang mereka percayai sebelumnya tanpa menggunakan pertimbangan rasional.
Regulasi dan Aksi
Sesungguhnya, tiap aksi pelaku maupun penyebar hoaks, dapat diganjar dengan Undang-Undang nomor 19 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kendati UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”, namun jika dicermati, peraturan ini khusus mengenai hoaks yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik. Sedangkan untuk hoaks yang bermuatan politik, SARA, dan upaya menakut-nakuti, dapat dijerat dengan Pasal 27 dan 29 UU ITE.
Kembali merujuk pada survei MASTEL 2019, hampir 30 persen responden (posisi kedua) memilih tindakan hukum sebagai cara efektif dalam menghambat hoaks. Sedangkan di pertanyaan lainnya, aparat penegak hukum dipilih kedua terbanyak oleh responden sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penyebaran hoaks. Artinya, masyarakatpun masih mengandalkan kekuatan penegakkan hukum dan penindakan untuk menghambat hoaks.
Dalam penegakkan hukum terkait hoaks, POLRI melakukan digital forensik untuk menindaklanjuti laporan pengaduan yang diterima. Melalui digial forensik ini, berita hoaks dapat ditelusuri pelaku yang membuat dan menyebarkannya pertama kali.
Tetapi, proses digital forensik ini dapat terbilang rumit dan memakan waktu yang lama jika pelaku menggunakan identitas palsu (anonim) atau server luar negeri dalam melakukan aksinya. Tugas selanjutnya yang dinanti masyarakat tentu saja, keberanian para penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku hoaks yang sudah tertangkap.
Masyarakat perlu aktif menyaring berita dan menanamkan nilai-nilai literasi mulai dari lingkup keluarga.
Sebagai upaya menghadapi hoaks, pemerintah dapat dikatakan sudah berusaha dari segi hukum maupun gerakan literasi digital. Masalahnya, kerap kali pelaku yang terindikasi menciptakan hoaks besar justru berasal dari lingkaran elite politik maupun aliansi pendukungnya.
Mulai dari kasus hoaks 7 kontainer surat suara pada masa kampanye pemilu hingga hoaks tewasnya 60 orang pada aksi demonstrasi 22 Mei, diciptakan oleh pihak-pihak yang justru dekat dengan politisi maupun pemerintahan.
Maka dalam usaha menghadapi hoaks, diperlukan sinergi antar elemen baik masyarakat, media massa maupun pemerintah. Masyarakat perlu aktif menyaring berita dan menanamkan nilai-nilai literasi mulai dari lingkup keluarga.
Media massa tidak lagi sekadar berurusan dengan teknik menulis yang baik, menarik, atraktif, namun yang utama ialah verifikasi dan profesionalisme. Sedangkan pemerintah, perlu ketegasan dalam penindakan oknum yang membuat dan menyebarkan hoaks. (Yohanes Mega Hendarto/Litbang Kompas)