Tindakan Berlebihan Cederai Semangat Reformasi Polri
›
Tindakan Berlebihan Cederai...
Iklan
Tindakan Berlebihan Cederai Semangat Reformasi Polri
Penggunaan pasukan Brimob di lapangan harus dikontrol ketat. Brimob sebagai satuan pemukul betul-betul harus terukur potensi kekerasannya. Ini karena mereka berhadapan dengan masyarakat sipil.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindakan oknum anggota Polri dalam mengamankan unjuk rasa yang berakhir rusuh di sekitar Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dinilai berlebihan. Hal ini akan mencederai semangat reformasi di tubuh Polri.
Pada Selasa (24/9/2019) malam di jembatan layang Slipi, Jakarta Barat, dalam pantauan Kompas, ada tiga orang ditangkap anggota Brigade Mobil (Brimob) Polri. Mereka kemudian ditendang dan dipukul sebelum dimasukkan ke mobil Barracuda. Seorang pengendara motor yang datang dari arah Jalan Pejompongan Raya menuju jembatan layang Slipi juga dipukul.
Saat itu, personel Brimob yang berjaga di tikungan sebelum jembatan menyatakan akses ditutup. Brimob masih berusaha mengurai massa yang menyerang balik dengan melempari aparat dengan batu.
Pengendara motor itu kemudian berbelok arah. Saat melewati aparat keamanan, seorang anggota Brimob memukul pengendara motor itu hingga sepeda motornya rebah. Tak diketahui latar belakang pemukulan terhadap pengendara motor yang kemudian dilepaskan itu.
Peneliti perkembangan politik nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sarah Nuraini Siregar, yang dihubungi Rabu, dari Jakarta, menyayangkan tindakan oknum anggota Polri yang berlebihan dalam mengurai massa. Di hadapan publik, mereka mempraktikkan kekerasan terhadap warga sipil.
”Reformasi di tubuh Polri yang ide utamanya adalah menanggalkan kultur militeristik (kekerasan) dengan konsep paradigma polisi sipil, kemudian yang terbaru adalah democratic policing, dapat kandas dengan peristiwa semalam,” katanya.
Brimob, katanya, merupakan salah satu unit satuan pemukul Polri. Di beberapa negara, unit ini digunakan untuk mengurai kerumunan massa, membubarkan demonstrasi yang sudah dinilai pada tindakan anarkistis, dan sejenisnya. Bahkan, dalam beberapa kasus khusus, Brimob juga masuk sebagai unit yang membantu Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangani terorisme.
Namun, lanjut Sarah, penggunaan pasukan ini di lapangan harus dikontrol ketat. Brimob sebagai satuan pemukul betul-betul harus terukur potensi kekerasannya. Ini karena mereka berhadapan dengan masyarakat sipil.
”Tindakan oknum Brimob tadi malam dari sisi mana pun tidak dapat dibenarkan. Ini harus disadari oleh Polri karena secara psikologis berpengaruh pada penilaian publik. Polisi masa reformasi ternyata masih dominan menggunakan cara-cara kekerasan yang berlebihan,” tuturnya.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa menjelaskan, Detasemen atau Kompi Penanggulangan Huru-hara Brimob diterjunkan saat kondisi massa berstatus merah atau sudah melanggar hukum.
Pasal 13 mengatur sejumlah larangan dalam proses pengendalian massa, antara lain bersikap arogan dan terpancing perilaku massa; melakukan kekerasan yang tak sesuai prosedur; serta mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/asusila, dan memaki-maki pengunjuk rasa.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menyatakan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Perkap Nomor 7 Tahun 2009 tentang Sistem Laporan Gangguan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, serta Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian juga harus menjadi pertimbangan.
”Kalau sudah rusuh, ya, ditindak tegas. Apa mau dibiarkan saja?” katanya.
Saat ditanya tentang oknum Brimob yang melakukan kekerasan berlebihan kepada massa, Dedi menjawab, ”Anggota yang (terbukti) salah ditindak sama dengan perusuh, (juga) harus ditindak.”
Berawal dari tuntutan mahasiswa
Aksi anarkistis yang terjadi di Jakarta kemarin malam merupakan ekses dari gerakan protes mahasiswa dalam beberapa hari terakhir. Protes mahasiswa muncul seiring dengan pengesahan hasil revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR. Eskalasi gerakan meningkat setelah pemerintah dan DPR mengesahkan revisi undang-undang komisi antirasuah itu.
Dalam kajian Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia dan BEM Trisakti, revisi UU KPK bakal melemahkan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini membuat agenda pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda reformasi terancam. Inilah yang mendasari tuntutan mereka kepada pemerintah agar menuntaskan agenda reformasi, bukan mengebiri.
Selain itu, RUU Pemasyarakatan juga mereka tolak karena memberikan kemudahan kepada narapidana kejahatan luar biasa, termasuk korupsi.
Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) juga berpotensi mengkriminalisasi rakyat. Hal lain, mereka menolak RUU Minerba dan RUU Pertanahan.
DPR pun sudah memutuskan menunda pengesahan RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Pertanahan.