Ancam Kebebasan Pers, Jurnalis dan Pemkot Cirebon Tolak RKUHP
›
Ancam Kebebasan Pers, Jurnalis...
Iklan
Ancam Kebebasan Pers, Jurnalis dan Pemkot Cirebon Tolak RKUHP
Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cirebon menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dianggap mengancam kebebasan pers.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cirebon menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dianggap mengancam kebebasan pers. Sikap tersebut diambil setelah didesak Aliansi Jurnalis Ciayumajakuning.
“Kami mewakili masyarakat Cirebon juga merasa prihatin dan sepakat menindaklanjuti penolakan RKUHP kepada pemerintah pusat,” ujar Azis saat duduk melantai bersama para jurnalis di Jalan Siliwangi, depan Gedung DPRD Kota Cirebon, Jawa Barat, Kamis (26/9/2019). Turut hadir Ketua DPRD Kota Cirebon Affiati serta Kepala Kepolisian Resor Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy.
“Kami juga sepakat dengan aspirasi jurnalis. Kami akan kawal tuntutan ini (penolakan RKUHP)” ucap Affiati yang baru saja dilantik. Mengenakan jas, anggota dewan lainnya turut menemui massa. Mereka berjanji menyampaikan aspirasi massa ke DPR pusat pada Senin (30/9/2019). Affiati dan Azis juga menandatangani surat pernyataan sepakat dengan tuntutan massa.
Sikap tersebut diambil setelah puluhan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) berunjuk rasa menuntut RKUHP dibatalkan. Selain berorasi dan bernyanyi, massa juga membawa spanduk dan poster yang berisi penolakan terhadap RKUHP. Isinya, antara lain, “Saat kritik dianggap menghina, berita dipenuhi dusta” dan “Pers dibungkam, demokrasi suram”.
Koordinator aksi Muhamad Syahrir Romdhon mengatakan, terdapat 13 pasal yang mengancam kebebasan pers, berekspresi, dan berpendapat dalam RKUHP. Aturan itu antara lain, Pasal 241 tentang Penghinaan terhadap Pemerintah, Pasal 263 tentang Penyiaran Berita Bohong, dan Pasal 247 tentang Penghasutan Melawan Penguasa.
Apakah mengkritik juga dinilai menghina? Ini kan mengancam kebebasan pers. Padahal, pers adalah pilar keempat demokrasi
“Ini semua pasal karet, enggak ada indikatornya. Misalnya, penghinaan terhadap pemerintah itu seperti apa? Apakah mengkritik juga dinilai menghina? Ini kan mengancam kebebasan pers. Padahal, pers adalah pilar keempat demokrasi,” ungkap Syahrir. Di sisi lain, katanya, RKUHP akan tumpang tindih dengan UU Pers Nomor 40/1999 yang menjamin kebebasan pers.
Untuk itu, lanjutnya, pengesahan RKUHP harus dibatalkan, tidak hanya ditunda. Penundaan belum tentu mengganti sejumlah pasal "karet" tersebut. Jurnalis, katanya, perlu dilibatkan dalam perumusan RKUHP. Sebelumnya, DPR dan pemerintah pusat menunda pengesahan RKUHP setelah didesak aksi demonstrasi mahasiswa beberapa hari terakhir.
Presiden Joko Widodo juga meminta penundaan pengesahan RKUHP karena masih terdapat 14 pasal “bermasalah”. Presiden akan mengkaji ulang pasal tersebut dan meminta Menteri Hukum dan HAM (Yasonna Laoly) menjaring masukan dari masyarakat. Rencananya, RKUHP akan disahkan dalam rapat paripurna DPR, Selasa besok. (Kompas, 21/9/2019).
Massa juga menuntut polisi menindaktegas oknum aparat yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis yang meliput unjuk rasa di sejumlah daerah, seperti Makassar beberapa hari terakhir. Tuntutan itu termuat di spanduk dan poster, seperti “Tangkap penjahat, minta diliput. Pukul demonstran, kami dilipat”.