Bergantung dan Bertarung untuk Energi Terbarukan
Tak terelakkan, dunia masa depan akan mengonsumsi semakin banyak energi.
Sepuluh hingga tiga puluh tahun mendatang, dunia akan semakin bergantung sekaligus bertarung untuk memperoleh energi terbarukan. Negara berkembang akan menjadi konsumen terbesarnya. Di manakah posisi Indonesia?
Tak terelakkan, dunia masa depan akan mengonsumsi semakin banyak energi. Publikasi British Petroleum tahun 2019 memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi dunia yang diukur melalui perubahan produk domestik bruto (PDB) akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2040 dari kondisi dua tahun lalu.
Nilai PDB dunia akan meningkat dari 114 triliun dollar AS pada tahun 2017 menjadi 236 triliun dollar AS pada 2040. Peningkatkan PDB mengindikasikan adanya peningkatan kemakmuran dan standar hidup yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan energi.
Penelitian Mark Z Jacobson dari Stanford University dan Mark A Delucchi dari University of California, Davis, menunjukkan bahwa energi terbarukan dapat diandalkan guna menjawab kebutuhan energi pada masa yang akan datang. Harapan ini didasarkan pada fakta adanya kemajuan teknologi yang kian pesat. Bukan hanya memenuhi kebutuhan energi, keberadaan sumber daya alam terbarukan juga dapat memenuhi harapan lain.
Harapan itu, antara lain, menyelamatkan 2,5-3 juta jiwa manusia dalam setahun, mengurangi pemanasan global, serta mengurangi polusi udara dan air dapat dicapai dengan menggunakan energi terbarukan.
Energi terbarukan adalah sumber energi dengan pertumbuhan terbesar dan diprediksi akan tumbuh hingga hampir empat kali lipat pada tahun 2040. Tahun 2017 lalu, konsumsi energi terbarukan dunia sebesar 571 juta ton setara minyak. Angka konsumsi itu akan meningkat menjadi 2.748 juta ton setara minyak tahun 2040. Penggunaan energi terbarukan akan mengambil alih penggunaan batubara sebagai sumber energi terbesar selama ini.
Sejarah energi terbarukan
Sebenarnya, penggunaan energi terbarukan bukanlah konsep baru. Pada abad ke-18 dan ke-19, angin dan air pernah digunakan sebagai sumber energi. Hanya, karena penggunaan batubara dan minyak lebih efisien, penggunaan air dan angin ditinggalkan. Kini, setelah efek penggunaan batubara dan fosil menimbulkan tingkat polusi yang tinggi, penggunaan angin dan air kembali diupayakan.
Dunia akan digerakkan oleh tenaga listrik dengan sumber energi dari angin, air, dan matahari. Penelitian Jacobson dan Delucchi menyimpulkan, akan lebih efektif jika menggabungkan semua sumber energi terbarukan yang ada, bukan hanya mengandalkan satu atau dua sumber. Sebab, masing-masing sumber energi memiliki kekuatan pada waktu yang berbeda.
Seperti angin dan matahari, misalnya. Kedua sumber energi tersebut saling melengkapi. Matahari berkuasa saat siang hari, dan angin memuncak pada malam hari. Pada saat transisi itu, bisa digunakan energi listrik tenaga air, panas bumi, maupun pasang surut untuk memenuhi kebutuhan.
Pergeseran konsumsi
Masih mengacu pada BP Energy Outlook 2019, peningkatan permintaan energi justru didorong oleh peningkatan di negara-negara berkembang. Pada tahun 1990-an, dua pertiga permintaan energi global masih berasal dari 35 negara industri anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Hanya sepertiga permintaan energi berasal dari negara-negara berkembang. Tahun 2017, permintaan energi oleh negara non-OECD sudah mencapai 58 persen. Bahkan, diprediksi pada tahun 2040, lebih dari dua per tiga permintaan energi global adalah oleh negara-negara non-OECD.
China, India, dan negara Asia lainnya menyumbang dua pertiga dari peningkatan tersebut. Pada pertengahan 2020-an, India mengalahkan China sebagai pasar dengan pertumbuhan terbesar di dunia, menyumbang lebih dari seperempat permintaan energi global. Namun, China tetap menjadi pasar energi terbesar pada tahun 2040, kira-kira dua kali lipat dari India.
Peningkatan yang terjadi di China dan India pada tahun 2040 menggeser Amerika Serikat sebagai konsumen energi terbesar pada tahun 1990-an. Meski demikian, pada tahun 2017, AS masih menjadi konsumen energi terbesar kedua setelah China.
China mengonsumsi 6.500 terrawat-jam (23 persen), dan AS mengonsumsi 4.250 terrawat-jam (17 persen). AS masih akan menduduki peringkat kedua pada tahun 2040, hanya pertumbuhannya menurun jika dibandingkan dengan India.
Posisi Indonesia
Negara-negara di Eropa merupakan pelopor penggunaan energi terbarukan. Jerman merupakan negara pertama yang memulai penggunaan energi terbarukan. Negara Eropa lainnya yang berhasil memanfaatkan energi terbarukan adalah Norwegia. Bahkan, saat ini penggunaan sumber energi batubara di Norwegia mencapai nol persen.
Kondisi ini berbeda dengan Indonesia, China, dan India yang masih menyumbang polusi di dunia. Tak lain, AS sebagai konsumen energi terbesar kedua saat ini juga menjadi penyumbang polusi dunia. Namun, China dan AS telah menunjukkan upaya serius melakukan transisi energi dari batubara ke energi terbarukan.
Kedua negara ini masuk lima besar negara yang mengurangi penggunaan batubara sebagai sumber energi. Penurunan penggunaan batubara terjadi hingga 18 persen di AS dan 14 persen di China. Jauh daripada itu, Indonesia masih menempati peringkat ke 25 negara yang melakukan transisi penggunaan batubara setelah India.
Publikasi World Resources Institute (WRI, 2017), menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara penghasil gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia dan termasuk negara yang bertanggung jawab atas polusi di dunia. Dua dekade terakhir, peningkatan efek GRK disebabkan oleh semua sektor, seperti sektor berbasis lahan (hutan dan lahan gambut), industri, pertanian, dan limbah.
Energi ke depan
Melihat kondisi ini, pemerintah berkomitmen untuk turut berpartisipasi dalam mitigasi perubahan iklim. Sebab, sama seperti negara lainnya, permintaan energi di Indonesia juga akan meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Indonesia bergabung dalam organisasi dunia United Nations Framework Convention on Climate Change dan merancang kerangka mitigasi perubahan iklim.
Salah satu target dalam kerangka mitigasi perubahan iklim di Indonesia adalah penggunaan energi terbarukan sebesar 23 persen dari total energi pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050. Penggunaan energi terbarukan tidak akan menimbulkan emisi karbon dioksida di Indonesia (emisi sama dengan nol persen).
Meski demikian, kebutuhan energi di Indonesia tidak 100 persen dipenuhi energi terbarukan. Sumber energi lama, seperti minyak mentah, gas alam, dan batubara, masih menyuplai lebih dari dua pertiga kebutuhan energi. Yang mana akan menghasilkan emisi karbon dioksida sebesar 1.008,5 juta metrik ton pada 2025 dan sebesar 2.218 juta metrik ton pada tahun 2050.
Melihat proyeksi penduduk Indonesia, sebanyak 282 juta penduduk masih akan menghirup polusi dan terpapar emisi gas rumah kaca pada tahun 2025. Dengan jumlah emisi yang dihasilkan itu, setiap penduduk akan terpapar lebih kurang 3,5 metrik ton emisi karbon dioksida pada tahun tersebut.
Layaknya negara-negara di Eropa, Indonesia pun harus segera memaksimalkan penggunaan energi terbarukan sebagai sumber energi utama. Tidak dapat dimungkiri bahwa jumlah penduduk akan semakin meningkat, dan kebutuhan energi tak dapat dihindari lagi. Dengan kata lain, Indonesia pun harus siap untuk bergantung dan bertarung menggunakan energi alternatif sebagai sumber utama konsumsi. (Agustina Purwanti/Litbang Kompas)