Bermain merupakan aspek penting dalam proses tumbuh kembang anak. Belajar seyogianya merupakan bagian dari kegiatan bermain.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bermain merupakan aspek penting dalam proses tumbuh kembang anak. Belajar seyogianya merupakan bagian dari kegiatan bermain. Dalam hal ini guru pendidikan anak usia dini bersama orangtua harus memastikan anak memiliki cukup waktu untuk bermain, bersosialisasi, dan berekspresi.
”Ada pergeseran di dalam dunia pendidikan, termasuk di negara-negara maju tentang konsep bermain. Di Amerika Serikat (AS), pada tahun 1981, bermain mencakup 40 persen dari waktu yang dihabiskan anak-anak di pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). Akan tetapi, sejak tahun 1997, waktu bermain turun hanya menjadi 25 persen,” kata dosen psikologi Universitas Temple, AS, Kathy Hirsh-Pasek, dalam video pemaparannya di Konferensi Internasional ke-3 Jejaring Penelitian di Asia untuk Kesejahteraan Anak (CRNA) yang diadakan di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Ia menjelaskan fenomena di negaranya yang mengakibatkan anak-anak kehilangan delapan jam bermain selama sepekan. Berdasarkan riset oleh Alliance of Childhood tahun 2009, anak-anak PAUD dan TK di AS menghabiskan 79 persen waktu mereka untuk belajar secara konvensional karena sekolah dan orangtua memiliki paradigma memprioritaskan kognitif.
Berdasarkan riset oleh Alliance of Childhood tahun 2009, anak-anak PAUD dan TK di AS menghabiskan 79 persen waktu mereka untuk belajar secara konvensional.
Bahkan, pada tahun 2015, ketika paradigma tersebut bergeser agar anak-anak jangan dipaksa belajar membaca, menulis, dan berhitung secara konvensional, mereka tetap tidak bermain. Riset Hirsh-Pasek terhadap 1.500 orangtua di AS dan 1.000 orangtua di Inggris mengungkapkan, 75 persen narasumber mengatakan anak-anak mereka menghabiskan waktu di depan layar gawai bermain gim.
Seimbang
Hirsh-Pasek menjelaskan, ada dua jenis bermain, yaitu bermain bebas dan bermain terbimbing. Kedua jenis cara bermain ini harus dilakukan dengan seimbang. Bermain bebas dilakukan pada jam istirahat dan bermain terbimbing ketika sedang belajar.
Bermain bebas adalah kegiatan yang diinisiasi dan dikendalikan oleh anak. Bentuknya spontan dan hanya melibatkan satu anak atau pun lebih. Apabila dilakukan sendirian, kegiatan ini mengembangkan daya khayal, kreativitas, dan kesenangan mengekspresikan diri sendiri. Ketika dilakukan oleh dua anak atau lebih, bermain bebas membangun koneksi sosial secara alami, kemampuan berekspresi dan bereaksi, memahami sebab dan akibat, serta kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah di antara mereka.
Sementara itu, bermain terbimbing merupakan kegiatan yang dirancang oleh orang dewasa seperti guru atau pun orangtua. Aktivitas ini bertujuan mengembangkan potensi tertentu pada anak, seperti verbal, motorik, dan kognitif. Lokasi permainan juga sudah ditentukan.
”Membimbing anak bermain bukan memerintahkan mereka melakukan hal tertentu. Orang dewasa hanya memastikan anak tidak melenceng dari jalur, tetapi cara melakukan permainan tetap di tangan anak,” tutur Hirsh-Pasek.
Meramu permainan terbimbing lebih menantang karena ketika guru hendak melihat potensi khusus pada anak, permainan tetap harus menyenangkan. Anak yang bosan dan tidak senang akan enggan bermain.
Ketua Asosiasi Pendidikan Guru PAUD Indonesia Sofia Hartati mengatakan, di Indonesia pendidikan mulai bergerak ke konsep bermain sambil belajar. Namun, ia tidak memungkiri pemikiran guru dan orangtua banyak yang masih terpaku hanya kepada capaian akademis. Hal ini karena sistem pendidikan lama mengukur keberhasilan dari sebatas nilai rapor. Padahal, kesuksesan sangat ditentukan oleh karakter yang ulet, kreatif, empatis, komunikatif, dan terus mau belajar.
Di Indonesia pendidikan mulai bergerak ke konsep bermain sambil belajar.
”Konsep tumbuh kembang anak usia dini mencakup PAUD hingga kelas III SD. Cara yang tepat untuk menguatkan semua potensi anak ialah melalui bermain terbimbing dan bermain bebas. Perlu dibangun jaringan guru PAUD, TK, dan SD agar mereka satu visi dalam mendidik anak. Perihal penerapan kurikulum SD yang sering dianggap tidak sejalan dengan PAUD semestinya tidak bermasalah jika diterapkan dengan konsep tematik bermain sambil belajar,” paparnya.
Interaksi
Guru Besar Pendidikan Universitas Delaware, AS, Roberta Golinkoff menjelaskan, kemampuan verbal anak berkembang melalui bermain dan berinteraksi langsung, tidak melalui menonton video di gawai. Sistem kerja otak anak adalah mempelajari kata-kata yang sering mereka dengar dari orang sekitar dan kosakata benda-benda atau pun kegiatan yang mereka gemari. Perasaan anak terhadap orang yang berbicara juga memengaruhi kemampuan anak mengenal kata.
”Dalam bermain terbimbing, mengobrollah dengan anak. Jangan hanya menyuruh. Ketika anak terlibat pembicaraan, mereka belajar mendengar, merakit kalimat, dan berbicara sesuai konteks,” ucapnya.