Tantangan ekonomi, baik yang berasal dari eksternal maupun internal, mau tak mau harus dihadapi bersama. Berbagai kalangan menilai, bahwa mengelola, apalagi mengendalikan, faktor eksternal lebih sulit ketimbang faktor internal. Penyebabnya, faktor eksternal lebih kompleks.
Misalnya saja, di sisi perdagangan. Upaya mendongkrak kinerja ekspor pada saat pertumbuhan ekonomi dunia melambat jelas membutuhkan upaya keras. Pelambatan pertumbuhan ekonomi, terutama di negara yang selama ini menjadi tujuan ekspor, membatasi upaya tersebut.
Di titik ini, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia sepatutnya mensyukuri pasar lokal yang ukurannya besar. Populasi penduduk Indonesia yang sekitar 260 juta jiwa jelas menawarkan peluang luar biasa untuk berbagai produk industri. Pengelolaan konsumsi domestik menjadi penting, apalagi menimbang perannya bagi perekonomian.
Bayangkan, jutaan siswa dari berbagai tingkat pendidikan, pegawai negeri sipil, dan personel angkatan bersenjata, yang semuanya membutuhkan seragam. Tambahan kebutuhan lain, di antaranya pakaian ihram untuk beribadah haji dan umroh jemaah asal Indonesia.
Pertanyaannya, apakah kebutuhan mereka sudah sepenuhnya dapat diisi pelaku industri tekstil dan produk tekstil Indonesia? Hal yang sama dapat diterapkan untuk berbagai produk industri yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kita lihat saja, sepatu dan alas kaki yang kita kenakan, buatan mana? Begitu juga dengan tas dan arloji, apakah buatan dalam negeri atau luar negeri?
Yang tak kalah penting dari sisi jumlah adalah alat tulis, gawai, kendaraan, lampu, peranti elektronika, mebel, alat dapur, perkakas, dan berbagai kebutuhan ratusan juta warga Indonesia, buatan mana? Jika ternyata produk impor merangsek dan menggerus pasar lokal sedemikian dalam, kondisi ini menunjukkan kerapuhan yang mutlak dibenahi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Januari-Agustus 2019, impor Indonesia senilai 111,883 miliar dollar AS. Dari nilai itu, sekitar 74,37 persen di antaranya berupa bahan baku dan penolong. Adapun sisanya berupa barang modal (16,46 persen) dan barang konsumsi (9,17 persen).
Sejenak kita pertimbangkan dan perhatikan berbagai upaya untuk membantu pelaku industri dalam negeri menggarap pasar ekspor. Salah satu contohnya, fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor atau KITE.
Di sisi lain, kalangan industri juga menyuarakan arti penting kemudahan lokal tujuan ekspor atau KLTE.
Kedua hal itu sama-sama bermuara pada peningkatan kinerja ekspor. Oleh karena itu, kedua hal itu juga mesti diperhatikan untuk meningkatkan penggunaan bahan baku lokal. Di sisi lain, peningkatan daya saing harga, konsistensi mutu, dan kontinyuitas pasokan bahan baku lokal juga mesti terus dijaga agar bisnis berkelanjutan.
Masyarakat, sebagai konsumen, juga berperan penting dalam membuat produk dan industri dalam negeri berjaya. Beraneka ragam slogan yang berintikan "mencintai produk Indonesia" sudah didengungkan di banyak tempat. Namun, slogan saja tidak cukup diucapkan, melainkan harus direalisasikan.
Pemerintah, sebagai regulator, juga harus memastikan agar berbagai kebijakan yang dikeluarkan dapat meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Berbagai masalah industri sudah banyak disampaikan dan dipetakan pelaku industri. Persoalannya kini, bagaimana menuntaskan persoalan itu dan membenahi peta industri di Indonesia.
Solusi masalah sebenarnya sudah dirumuskan, antara lain berwujud berbagai paket kebijakan ekonomi. Namun, bagaimana dengan pelaksanaannya?
Ada paket yang dijalankan, namun ada juga yang sampai saat ini tak kelihatan tanda-tanda realisasinya. (C Anto Saptowalyono)