Medsos dan Aksi Konektif Siswa
Pelajar sekolah menengah dari daerah-daerah di Jabodetabek ikut berunjuk rasa di sekitar Kompleks Parlemen di Senayan, Jakarta, pada Rabu (25/9/2019). Sebagian besar mengaku tergerak oleh narasi di media sosial.
Ada yang menarik dari gelombang unjuk rasa masyarakat menentang sejumlah rancangan undang-undang bermasalah di Dewan Perwakilan Rakyat. Dimulai dari gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil, demonstrasi juga diikuti pelajar sekolah menengah kejuruan. Gerakan para pelajar ini diduga tidak terlepas dari pengaruh media sosial.
Rabu (25/9), menjelang tengah hari, terbentuk dua konsentrasi pelajar dari arah Petamburan, Slipi, Kebayoran yang bergerak ke arah area Kompleks Parlemen Senayan. Satu konsentrasi massa ada di Bundaran Slipi dan satu lagi di sekitar Stasiun Palmerah. Kedua kelompok ini berusaha menuju gerbang masuk gedung parlemen di Jalan Gelora. Namun, mereka tertahan barikade polisi.
Situasi lalu memanas. Pelajar mulai bernyanyi dan bersorak sorai, sembari meminta masuk ke kompleks parlemen. Di tengah kepadatan lalu lintas kendaraan, bentrokan tidak bisa dihindari. Polisi menembakan gas air mata untuk membubarkan pelajar.
“Silahkan demo, tapi mohon tidak melempar batu. Kita sama-sama jaga ketertiban umum, kasihan penguna jalan lainnya,” kata polisi melalui pelantang suara.
Langkah persuasif ini sempat berhasil. Namun, tak bertahan lama. Melihat situasi itu, sebagian pelajar menarik diri dari kerumunan massa. Massa baru bubar sekitar pukul 20.00. Beberapa siswa akhirnya ditangkap polisi.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengungkapkan, polisi menangkap 570 pelajar pada Rabu malam. Namun, para pelajar itu pulang setelah orangtua atau saudaranya menjemput mereka di Markas Polda Metro Jaya.
Alasan unjuk rasa
Saat ditanya soal alasan berunjuk rasa, ada begitu banyak variasi jawaban yang muncul dari beberapa pelajar. Ada beberapa pelajar yang mengaku ikut unjuk rasa didorong solidaritas terhadap mahasiswa yang berunjuk rasa sehari sebelumnya. Namun, mereka tak tahu konten RUU yang ditolak gerakan mahasiswa.
“Hanya bentuk solidaritas saja. Selain itu, kami ikut karena adanya ajakan di media sosial,” kata salah seorang pelajar yang ikut unjuk rasa.
AH (20) alumni SMK dari Bekasi mengaku datang ke Senayan untuk balas dendam. Dia mengaku mendapat informasi ada tiga adik kelasnya yang cedera di bagian kepala karena perbuatan Polisi saat mereka ikut unjuk rasa bersama mahasiswa sehari sebelumnya. Informasi yang tak terkonfirmasi itu juga diikuti dengan sebaran undangan aksi untuk balas dendam melalui Instagram, Facebook, dan Whatsapp.
"Mengajak pelajar STM se-Jabodetabek turun ke jalan untuk balas dendam,” ujar AH sembari menunjukkan undangan dari telepon seluler.
Sementara itu, Jo, siswa SMA asal Bintaro, Tangerang Selatan, datang ke Senayan untuk menyaksikan demonstrasi. Siang itu, Jo tidak mengenakan seragam sekolah. “Saya benar-benar antusias dan ingin menyaksikan sendiri unjuk rasa ini,” kata dia.
Meskipun datang dengan berbagai alasan, dari hasil menanyai beberapa pelajar secara acak, sebagian dari mereka paling banyak mengaku terpancing undangan di Instagram, Facebook, dan grup WhatsApp, pelajar STM se-Jabodetabek. Pesan itu juga diberi narasi “RAMAIKAN!!!!! DEMI KEBENARAN.”
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi yang sempat berbincang dengan pelajar yang diamankan di Mapolda Metro Jaya, Rabu malam menyimpulkan, para pelajar itu kebanyakan terpengaruh tagar di media sosial dan hanya ikut-ikutan.
“Mereka terpengaruh tagar STM bergerak. Pengaruh media sosial dahsyat sekali. Mereka merasa ada penyaluran emosi yang terhambat untuk diledakkan dan dipuaskan. Ini sangat berbahaya,” ucapnya.
Terkait aksi para pelajar itu, Koordinator Pusat Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia, M Nurdiansyah menegaskan, hal itu tidak ada kaitannya dengan aksi mahasiswa sehari sebelumnya. Mahasiswa mengusung narasi meneruskan perjuangan reformasi. Perjuangan mahasiswa juga tidak ada agenda untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah saat ini.
Aksi konektif
Gerakan para pelajar sekolah menengah itu, dalam skala tertentu sesuai dengan model aksi konektif, seperti digambarkan Lance W Bennett dan Alexandra Segerberg dalam The Logic of Connective Action (2012). Dua peneliti politik itu menuturkan, di era media baru, muncul aksi konektif, yang berbeda dari aksi koletif yang selama ini dikenal. Aksi kolektif biasanya terkait dengan sumberdaya organisasi yang tinggi serta adanya pembentukan identitas kolektif. Sementara itu, aksi konektif berbasis pada penyebaran konten yang dipersonalisasi melalui media sosial.
Gerakan pelajar itu memang menjadi viral di beberapa media sosial, termasuk Twitter. Analis media sosial Ismail Fahmi menjelaskan, pada Rabu lalu kata kunci “Anak STM” menjadi percakapan paling populer dibandingkan isu lain yang dikemukakan warganet. Ismail menyebut, dari kajian, pola percakapan "Anak STM", berlangsung alami.
Hanya saja, menurut Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja aksi para pelajar tidak terjadi begitu saja. Seiring dengan perkembangan teknologi, rekayasa pola pikir manusia juga kerap dilakukan melalui perantaraan media sosial. Lewat media sosial tersebut, provokasi untuk merekayasa pikiran mereka disebarkan.
Paolo Gerbaudo, peneliti kultur digital seperti dikutip Dahlgren dalam The Political Web: Media, Participation and Alternative Democracy (2013) meyakini, kendati media sosial bisa memunculkan gerakan yang "lentur", tetapi aksi itu tak benar-benar tanpa pemimpin. Menurut dia, tetap ada figur yang berperan sebagai "koreografer" gerakan daring. Ia berperan seperti laiknya koreografer sebuah pertunjukan teater.
Pertanyaannya, dalam gerakan pelajar kemarin, siapakah "koreografer"-nya?