Mengapa Negara Gagal (Lagi) Menanggulangi Kebakaran Lahan?
Mimpi buruk 2015 itu terulang pada 2019. Jutaan warga di Sumatera dan Kalimantan kembali terpapar asap berbahaya.
Mimpi buruk 2015 itu terulang pada 2019. Jutaan warga di Sumatera dan Kalimantan kembali terpapar asap berbahaya. Pendidikan lumpuh, penyakit infeksi saluran pernapasan akut merajalela. Sejumlah bandara yang diklaim mampu menghadapi cuaca berat tak kuasa melawan daya rusak asap yang mahadahsyat.
Hampir seluruh rakyat di negeri berkalang asap itu tak pernah menyangka mengapa negara ini gagal (lagi) menanggulangi kebakaran hutan dan lahan?
Persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memang kompleks. Tidak sesederhana menuding biang keladinya adalah korporasi atau orang suruhan para cukong. Lebih dari itu.
Berdasarkan data Bank Dunia, karhutla pada 2015 menyebabkan Indonesia merugi sebesar Rp 221 triliun.
Masalah karhutla ibarat komplikasi penyakit yang sudah jauh merusak berbagai jaringan tubuh. Untuk mengobati, diperlukan diagnosis mendalam oleh berbagai dokter beragam spesialisasi ditopang pemeriksaan laboratorium cermat sebelum akhirnya dokter menentukan terapi dan obat-obatan untuk menghentikan penyakit tersebut.
Kembali ke pertanyaan, mengapa negara gagal menangani karhutla?
Pertanyaan itu harus dijawab dengan pertanyaan. Mengapa warga masih membakar lahan? Salah satu jawabannya, ”Pemerintah tidak atau belum (serius) menyediakan pola membuka lahan selain membakar.”
Sebagian besar petani Indonesia itu memang miskin. Namun, mereka tidak bodoh. Mereka tahu cara membuka lahan yang cepat dan murah adalah dengan membakar. Cara lain yang mahal, petani tahu juga, tetapi biayanya jelas tidak terjangkau mereka.
Kasus perlawanan petani terhadap petugas pemadam kebakaran di lahan terbakar di Jambi tidak dapat dillihat dari kacamata hukum semata. Mudah saja menuduh mereka kriminal. Namun, bagi petani, membakar adalah aksi riil terkait urusan perut untuk menyelamatkan keluarga dan masa depannya.
Pepatah mengatakan, kemiskinan selalu dekat dengan kejahatan. Atau, seperti kata Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, kemiskinan di satu tempat adalah ancaman keamanan di mana-mana.
Yang bisa dilakukan pemerintah di antaranya adalah menyediakan alat mekanisasi pertanian. Idealnya, disediakan alat berat untuk seluruh desa rawan kabakaran di Tanah Air. Taruhlah 1.000 desa rawan terbakar, berarti pemerintah menyediakan 1.000 alat berat x Rp 1 miliar/unit sehingga dana diperlukan Rp 1 triliun. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan anggaran penanggulangan bencana asap dan kerugian yang ditimbulkannya. Berdasarkan data Bank Dunia, karhutla 2015 menyebabkan Indonesia merugi sebesar Rp 221 triliun.
Alat berat berfungsi ganda. Selain untuk membuka lahan tanpa membakar, dapat pula dipakai untuk menyekat api dan membuat embung air di lokasi kebakaran untuk pemadaman cepat. Api kecil adalah kawan, api besar menjadi lawan yang sangat sulit dikalahkan.
Mengenai alat berat, Kompas sudah menyampaikan hal itu kepada Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo saat berada di Pekanbaru.
Namun, mekanisasi itu juga memiliki kelemahan. Pola ini hanya dapat dilakukan untuk petani dengan alas hak lahan jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Persoalan di lapangan, sangat banyak petani tidak memiliki alas hak. Misalnya, karena lahan bersengketa atau secara ilegal merambah hutan.
Pada 2019, Kompas melihat langsung belasan lokasi kebakaran di wilayah abu-abu di Riau. Kebakaran di Desa Dayun, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, disebutkan berada dalam lokasi perusahaan hutan tanaman industri, tetapi fakta lapangan yang terbakar adalah kebun kelapa sawit warga.
Ada pula kebakaran di lahan perusahaan kelapa sawit PT Wahana Subur Sawit Indah (WSSI) di Desa Sri Gemilang, Siak. Menurut perusahaan, lahan itu sudah lama diokupasi masyarakat. Ada pula kebakaran ratusan hektar konsesi HTI di Kecamatan Kubu, Rokan Hilir. Tiap tahun lahan ini terbakar. Ternyata, lahan HTI itu sudah dikuasai ribuan warga sejak belasan tahun lalu.
Namun, aturan negara tetap meminta pertanggungjawaban perusahaan. Apakah adil bagi perusahaan? Itu soal lain yang juga harus ditelisik. Yang jelas, baru-baru ini, dua lahan HTI di atas bersama perusahaan lain disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan alasan lalai menjaga konsesinya. Lalu, ada kebakaran hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang dilakukan oleh perambah juga.
Menurut Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Rhido Sani, di Pekanbaru, lahan terbakar di TNTN juga sudah disegel. Namun, rasanya ada logika yang tidak linier. Jika lahan HTI yang terbakar disegel pemerintah, masih dapat dengan mudah dipahami. Kalau TNTN yang notabene hutan negara ikut disegel (negara), bagaimana ceritanya?
Persoalan sengketa dan perambahan memang tidak pernah diselesaikan dengan serius. Padahal, itu adalah akar lain dari karhutla. Kalau mau terbuka, polisi pasti dapat memperlihatkan ratusan, bahkan ribuan, laporan okupasi atau perambahan yang dilakukan warga atau cukong di lahan konsesi perusahaan. Data itu sangat berguna untuk memetakan persoalan riil lapangan.
Penebangan liar
Perambahan hutan biasanya diawali dengan penebangan liar. Kayu curian dibawa secara kasatmata di depan penegak hukum. Tidak sedikit yang menduga bahwa pencurian kayu melibatkan beking aparat. Setelah kayu hutan habis, lahan itu dibakar untuk bertanam kelapa sawit.
Masalah sengketa, perambahan, dan pencurian kayu yang dibiarkan menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Ledakan dapat berupa konflik berdarah atau kebakaran lahan yang tidak kunjung usai.
Apakah masih ada perusahaan yang membakar lahan? Pertanyaan ini sulit dibuktikan. Bahkan, di pengadilan, hakim nyaris tidak pernah memutus perusahaan bersalah karena ”secara sengaja” membakar lahan. Seluruh kasus yang diputus bersalah dihukum karena ”kelalaian” perusahaan. Perusahaan lalai menjaga api yang merembet dari lahan warga atau lalai memadamkan api yang berawal dari lahan sengketa/perambahan.
Secara logika ekonomi, membakar lahan (bagi korporasi) sangat menguntungkan, tetapi risikonya tinggi. Apabila korporasi divonis bersalah, kerugiannya sangat besar, bahkan dapat menyebabkan perusahaan kolaps.
Namun, bukan berarti tidak ada perusahaan yang membakar lahan. Ada fakta menarik, kasus tahun 2016, sebuah perusahaan lokal dan kecil di perbatasan Rokan Hulu dan Rokan Hilir bekerja sama membuka kebun di lahan anak angkatnya yang sesungguhnya perambah hutan. Yang membakar hutan itu memang bukan perusahaan, melainkan anak angkatnya. Namun, tidak ada kasus hukum kebakaran di hutan ribuan hektar itu yang kini sudah menjadi ladang kelapa sawit.
Sudah saatnya pemerintah melakukan kajian di lokasi kebakaran pada 2019 lewat organisasi independen yang dapat dipercaya. Berapa banyak sesungguhnya kebakaran yang terjadi di lahan warga, perusahaan, dan berapa pula di lahan sengketa dan tanah negara.
Hasil kajian ini ditambah data polisi tentang sengketa lahan, perambahan, dan pencurian kayu akan dapat menjawab akar besar dari masalah kebakaran lahan dan hutan yang tidak kunjung berakhir.
Setelah itu, barulah keberadaan Badan Restorasi Gambut dan penguatan BNPB menjadi lebih efektif bekerja di lapangan. Kalau tidak, mari kita saksikan bencana asap yang bakal terjadi lagi pada tahun-tahun mendatang. Jutaan rakyat yang tidak terkait pembukaan lahan akan terus menghirup asap kematian.