Departemen Luar Negeri Inggris mengumumkan bahwa kedua warga Inggris itu, Dougal Haston (32 tahun) dan Doug Scott (33 tahun), mencapai puncak setinggi 8.848 meter di atas permukaan laut tersebut pada Rabu (24/9/1975). Keduanya merupakan bagian dari tim ekspedisi yang diisi oleh 18 pendaki.
Sebagai puncak tertinggi di dunia, Everest juga dijuluki para pendaki sebagai atap dunia. Di dunia ini, dia punya 13 saudara, sesama gunung berpuncak di atas 8.000 mdpl. Sedikit yang menetap di pegunungan tetangga, Karakoram. Sebagian besar berdiam di pegunungan yang sama: Himalaya di jantung Asia. Hima alaya dalam bahasa Sanskerta: tempat salju bermukim.
Tanyakan kepada para pendaki, mengapa mereka mendaki gunung? Bahkan hingga puncak-puncak di atas 8.000 mdpl yang berbahaya. Hingga mereka sendiri yang menjulukinya sebagai zona kematian.
Pendaki pasti merasakan jawabannya, tetapi sedikit yang bisa menjelaskannya. Paling umum, mereka mengulangi ucapan George Mallory, pendaki Inggris yang tewas di lereng Everest, 600 meter di bawah puncak.
”Karena gunung itu ada. Because it’s there.” Begitu kata Mallory yang jasadnya baru ditemukan pada 1999, 75 tahun setelah dia dinyatakan hilang.
Sahaja, para petualang itu punya kesamaan dengan leluhurnya, kelompok Homo sapiens yang mulai menjelajah keluar dari Afrika, 300.000-200.000 tahun silam. Mereka keluar Afrika, menantang alam yang mematikan untuk tetap hidup, bukan menjemput maut.
Sangat mungkin hanya satu-dua dari kelompok kecil yang bertahan. Sisa-sisa itu lalu menyatu. Tantangan alam dengan taruhan kematian itu memberi imbalan luar biasa. Salah satunya adalah menyatukan batin. Maka, terbentuklah klan, suku, kesamaan identitas.
Agaknya itulah juga salah satu hadiah yang diperoleh dari mendaki gunung. ”Kami berangkat sebagai orang yang asing satu sama lain, lalu kami pulang sebagai satu saudara,” ujar Charlie Houston, seorang anggota tim pendakian Puncak Dapsang di Karakoram 1953. (YNS)