Petugas Waspadai Bara Api
Ratusan hektar hutan di lereng Gunung Slamet, Merbabu, dan Semeru terbakar dalam beberapa hari ini. Upaya pemadaman terhambat lokasi yang sulit dan angin kencang.
SLAWI, KOMPAS Kebakaran di lereng Gunung Slamet dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah serta Gunung Semeru di Jawa Timur belum bisa diatasi. Meski sejumlah titik api telah padam, angin yang kencang dikhawatirkan membuat bara api menyala kembali.
Penanganan kebakaran di lereng Gunung Slamet, Kamis (26/9/2019), memasuki hari ke-10. Meski beberapa titik api bisa dipadamkan, Rabu (25/9), bara api masih ada. Dikhawatirkan api akan timbul kembali karena angin kencang.
Koordinator Sukarelawan Palang Merah Indonesia Kabupaten Tegal Abdul Kholik menuturkan, api di sekitar jalur pendakian Bukit Igir Pogok, Kabupaten Tegal, dan Bukit Igir Genting, Kabupaten Brebes, sudah padam. Namun, bara api di beberapa titik diwaspadai karena berpotensi merambat dan menimbulkan api baru.
”Angin kencang membuat kami khawatir bara api menjalar dan membakar tanaman kering. Sejumlah sukarelawan membuat sekat bakar selebar 3 meter untuk mengurangi risiko perambatan,” kata Abdul.
Beberapa sukarelawan memutuskan menginap di sekitar lokasi, Rabu malam, untuk berjaga-jaga apabila ada bara api merambat. Sejumlah sukarelawan juga menginap pada Kamis malam. Abdul berharap Jumat ini menjadi hari terakhir penanganan kebakaran hutan.
”Kami akan menyisir sisa bara api dan memantau agar tidak ada perambatan api,” ucapnya. Minggu (22/9), Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Jawa Tengah Sarwa Pramana mengatakan, Pemerintah Provinsi Jateng mempertimbangkan upaya pemadaman kebakaran di lereng Slamet dengan bom air menggunakan helikopter.
Senin, dalam rapat koordinasi di Kabupaten Tegal, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng Sudaryanto menyatakan, penanganan kebakaran lebih efektif dengan cara manual menggunakan gepyok. Pemadaman dengan bom air, menurut Sudaryanto, berpotensi membahayakan penerbangan karena angin di sekitar lokasi cukup kencang. Biaya operasional juga mahal, Rp 200 juta per jam.
Wakil Administrator Kesatuan Pemangkuan Hutan Pekalongan Barat Hartanto menyebutkan, dari perhitungan hingga Kamis malam, luas area yang terbakar sekitar 126 hektar. Seluas 106 hektar di Petak 16 wilayah Kabupaten Brebes dan 20 hektar di Petak 48 wilayah Kabupaten Tegal. Total kerugian Rp 37,8 juta.
Ratusan hektar
Di Gunung Merbabu diperkirakan luas lahan yang terbakar 613 hektar dari luas taman nasional 5.725 hektar. Tidak hanya menghanguskan beragam flora, seperti edelweis (Anaphalis javanica), puspa (Schima wallichii), dan bintami (Podocarpus imbricata), sejumlah fauna kijang, lutung atau surili (Presbytis frederica), dan elang jawa (Nisaetus bartelsi) juga terancam.
Api bahkan merusak jaringan pipa air bersih untuk warga. Muhammad Rivan (19) dari komunitas Volunteer Merbabu, Kamis, mengatakan, Rabu pagi hingga sore, ia bersama puluhan sukarelawan lain dari berbagai komunitas berjibaku memadamkan kobaran api yang melalap tajuk dan permukaan hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) di wilayah Selo. ”Apinya besar dan terus merembet. Sudah hampir sampai pos 1 pendakian jalur Selo,” katanya.
Para sukarelawan memadamkan api dengan ranting, tongkat, dan alat-alat seadanya. Mereka juga membuat sekat api selebar 1,5 meter agar api tidak merembet. ”Dari pagi sampai sore bisa membuat sekat sejauh 200-an meter. Sekat api harus dijaga,” katanya.
Api yang membakar kawasan TNGMb diketahui pertama kali muncul di Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Magelang, Rabu (11/9) malam. Api menjalar hingga Kecamatan Pakis. Jumat (13/9) siang, api merambat ke Kecamatan Selo dan Ampel di Kabupaten Boyolali hingga Semarang.
Kebakaran padam pada Minggu (15/9). Namun, Senin (16/9), api muncul kembali di wilayah Boyolali. Upaya pemadaman terus dilakukan melibatkan Balai TNGMb, BPBD Boyolali, TNI, Polri, Masyarakat Peduli Api, Masyarakat Mitra Polhut, sukarelawan dari berbagai komunitas, pencinta alam, dan warga setempat.
Kepala Balai TNGMb Junita Parjanti mengatakan, beberapa titik api masih terpantau di wilayah Selo dan Ampel. Kebakaran terus merembet hingga jalur pendakian Selo. Balai TNGMb menutup semua jalur pendakian sejak 12 September hingga waktu yang belum ditentukan demi keselamatan pendaki.
”Surili mulai turun ke sekitar (blok) Tulangan. Di situ, kami temukan ada anaknya berusaha menghindari api,” ujarnya. Pantauan Balai TNGMb, tidak ada satwa dilindungi yang mati akibat kebakaran. Sementara flora yang terbakar diyakini bisa tumbuh lagi.
Menurut Junita, kebakaran yang melanda kawasan Merbabu sulit dipadamkan karena medan berupa tebing curam serta ada angin kencang. Kebakaran di Merbabu pernah terjadi tahun 2015 dan 2018.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Boyolali Kurniawan Fajar Prasetyo mengatakan, setidaknya 750 orang dari berbagai lembaga dan sukarelawan di Boyolali dikerahkan untuk membantu pemadaman Merbabu. Pemerintah Kabupaten Boyolali menetapkan status tanggap darurat bencana kebakaran Gunung Merbabu.
Sementara itu, kebakaran di lereng Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang lebih dari sepekan menghanguskan sekitar 80,5 hektar. Medan yang curam dan angin kencang menjadi kendala pemadaman. Pemadaman dilakukan dengan membuat sekat bakar dan mematikan api secara manual.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru John Kennedie, Kamis, di Malang, mengatakan, yang terbakar adalah serasah kering, ilalang, dan belukar. Tegakan yang masih hijau tidak ikut terbakar. Sejak 22 September, pendakian Semeru ditutup total. Jarak area yang terbakar cukup jauh dari Ranu Kumbolo.
Sebanyak 20 personel BPBD Jatim membantu pemadaman. ”Kebakaran sporadis. Kami memadamkan secara manual,” kata John. Pemadaman melalui udara sulit dilakukan di Semeru. Risikonya cukup besar karena lokasinya di lereng dan sulit dijangkau. Hal sama dinyatakan Kepala Resor Ranupane Lumajang Susion. ”Lokasinya terjal, anginnya kencang. Jarak sumber air dengan lokasi kebakaran 2 kilometer,” ujarnya melalui pesan singkat. (XTI/RWN/WER)