Presiden Joko Widodo didesak segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan hasil revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS-Presiden Joko Widodo didesak segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan hasil revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Penerbitan perppu itu dinilai perlu karena gelombang penolakan terhadap revisi UU KPK makin besar dan telah menciptakan kegentingan.
"Presiden tidak boleh lagi ragu, tidak boleh lagi bimbang, dalam mengambil keputusan karena saat ini situasinya sudah sangat mendesak dan sudah sangat memaksa," kata Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Oce Madril dalam konferensi pers di kantornya di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (27/9/2019).
Sebelumnya, pemerintah dan DPR mengesahkan revisi UU KPK meski ditolak berbagai elemen masyarakat. Dalam rapat paripurna DPR pada 17 September lalu, DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal itu lantas direspons demonstrasi di berbagai kota di Indonesia. Peserta aksi menyuarakan sejumlah tuntutan, antara lain membatalkan revisi UU KPK karena hasil revisi dinilai akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Di sejumlah wilayah, aksi itu bahkan berujung ricuh hingga menyebabkan korban. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, misalnya, ada dua orang mahasiswa yang meninggal dunia setelah terjadinya kericuhan.
Oleh karena itu, Oce menyebut, Presiden harus segera mengambil tindakan agar kondisi tersebut tidak terus terjadi. Salah satu langkah yang dinilai tepat untuk mengatasi kegentingan itu menerbitkan perppu untuk membatalkan hasil revisi UU KPK.
Oce memaparkan, sesuai Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, Presiden berhak menetapkan perppu apabila ada kegentingan yang memaksa. Dengan mengacu pada pasal tersebut, Presiden Joko Widodo bisa menerbitkan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK karena situasi saat ini dianggap memenuhi kriteria kegentingan yang memaksa.
"Sudah cukup alasan rasional untuk menerbitkan perppu yang membatalkan UU KPK yang baru. Karena kalau tidak demikian, keadaan genting seperti ini akan terus terjadi sehingga situasi pemerintahan dan keadaan bangsa kita menjadi semakin buruk," ungkap Oce.
Menurut Oce, idealnya Presiden menerbitkan perppu KPK dalam waktu dekat. Hal itu penting agar situasi genting yang terjadi beberapa waktu belakangan bisa segera diatasi. "Presiden harus mengeluarkan perppu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Paling lama minggu depan, menurut kami," tutur dia.
Akan tetapi, supaya perppu bisa diterbitkan, UU KPK hasil revisi harus diundangkan secara resmi lebih dulu. "Ada dua mekanisme yang secara cepat harus dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah harus segera mengundangkan UU KPK hasil perubahan. Lalu, satu hari setelah itu, Presiden bisa menerbitkan perppu untuk membatalkan undang-undang itu," kata Oce.
Oce menuturkan, setelah bertemu dengan sejumlah akademisi, budayawan, pengusaha, dan pegiat masyarakat sipil di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (26/9/2019), Presiden Joko Widodo memang menyatakan akan mempertimbangkan untuk menerbitkan perppu terkait hasil revisi UU KPK. Namun, Oce menilai, pernyataan itu belum menjadi jaminan bahwa Presiden pasti akan menerbitkan perppu.
Kalau kita simak betul apa yang disampaikan oleh Presiden, menurut kami, pernyataan itu belumlah pernyataan yang tegas. Jadi ini masih berupa janji-janji
"Kalau kita simak betul apa yang disampaikan oleh Presiden, menurut kami, pernyataan itu belumlah pernyataan yang tegas. Jadi ini masih berupa janji-janji," ujar Oce.
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM Atiatul Muqtadir mengatakan, aksi yang terjadi beberapa waktu terakhir bermula dari keresahan publik melihat upaya pelemahan KPK. Oleh karena itu, dia menyatakan, Presiden mesti segera menerbitkan perppu untuk membatalkan hasil revisi UU KPK.
Atiatul menambahkan, penundaan pengesahan sejumlah RUU yang bermasalah tidak akan meredakan keresahan publik yang muncul beberapa waktu belakangan. "Menunda RUU-RUU bermasalah itu belum menyelesaikan masalah yang ingin kami tuntut. Karena memang awal kemarahan orang banyak itu karena kita melihat masa depan pemberantasan korupsi yang suram," katanya.