JAKARTA, KOMPAS— Musim hujan di sebagian besar daerah di Indonesia diprakirakan akan mundur dari rata-rata tahunannya. Daerah rentan kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera baru akan memasuki musim hujan pada pertengahan dan akhir Oktober. Bahkan, di Sumatera Selatan dan Jawa kemungkinan baru masuk musim hujan pada November.
Jika dibandingkan terhadap rata-ratanya selama 30 tahun (1981-2010), berdasarkan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG), awal musim hujan di 74 persen wilayah Indonesia atau 253 zona musim (ZOM) diprakirakan mundur. Hanya 18,7 persen atau 64 ZOM yang diprakirakan sama terhadap rata-rata musimnya. Sebanyak 25 ZOM (7,3 persen) diprakirakan maju terhadap rata-rata musimnya.
Di Indonesia terdapat 342 ZOM. Sebanyak 69 ZOM (20,2 persen) akan masuk musim hujan pada Oktober 2019. Sebanyak 161 ZOM (47,1 persen) pada November dan 79 ZOM (23,1 persen) pada Desember. Sisanya pada Januari hingga Maret 2020.
”Untuk wilayah Riau dan Jambi diperkirakan masuk musim hujan pada pertengahan hingga akhir Oktober. Sementara sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan sebagian Kalimantan Timur pada akhir Oktober,” kata Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto di Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Hujan buatan
Berdasarkan data BMKG tersebut dan juga tren kebakaran hutan pada tahun-tahun sebelumnya, kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, BNPB juga mewaspadai puncak kebakaran hutan dan lahan pada September hingga Oktober. Salah satu upaya dengan terus melakukan operasi modifikasi cuaca atau hujan buatan untuk memadamkan kebakaran dan mencegah munculnya titik panas baru.
Hujan di beberapa wilayah pada 22-24 September, kata Doni, yang dipicu hujan buatan, berhasil mengurangi kebakaran hutan dan lahan. Pada 21 September titik panas mencapai 3.302 titik dan pada 24 September turun menjadi 1.036 titik. Namun, pada 25 September kembali meningkat menjadi 2.790 titik panas.
Hingga kemarin, hujan buatan terus dilakukan, antara lain di wilayah Ketapang dan Melawi, Kalbar, dan juga di Kalteng. Hujan beberapa hari terakhir membuat titik panas di sebagian besar wilayah Kalbar hilang. Kemarin, di Kalbar masih ada 228 titik panas, sebanyak 226 titik di antaranya di Kabupaten Ketapang.
Kepala BPBD Provinsi Kalbar Lumano mengatakan, hujan belum merata di Ketapang. ”Saya berharap hujan bisa segera mengurangi titik panas di Ketapang,” ujarnya di Pontianak.
Hujan juga membuat kualitas udara di kawasan yang terdampak kabut asap membaik. Di Kota Pontianak, misalnya, kemarin pukul 09.00 indeks kualitas udara sedang, mulai pukul 14.00 kualitas udara menyentuh level sehat dengan nilai PM10 sebesar 16,72 mikrogram per meter kubik. Hujan pada siang hari sekitar 15 menit mampu mengusir kabut asap.
Meski hujan buatan efektif untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan, kata Doni, semua pihak harus bekerja sama mengatasi masalah ini. Pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut.
”Gubernur dan bupati harus mulai berpikir membangun sekat kanal agar titik api tidak bertambah dan bagaimana mencegah karhutla (kebakaran hutan dan lahan). Air gambut jangan dibiarkan lepas. Kalau terlambat dan musim kering tiba, tidak akan bisa lagi dicegah kebakaran. Ini saatnya kita mulai bekerja membangun sekat-sekat kanal,” ujarnya.
Di Lampung, kemarin, Polda Lampung bersama sejumlah instansi terkait menggelar rapat koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Hingga kini, tercatat 349 titik panas yang tersebar di Lampung.
Kebakaran hutan dan lahan tersebut, antara lain, dipicu masih maraknya pola panen bakar yang dilakukan sejumlah perusahaan. Berdasarkan data dari Polda Lampung, kebakaran terbesar yang dilaporkan terjadi di lahan perkebunan milik empat perusahaan. Minimnya kesadaran warga yang membuang puntung rokok sembarangan saat kemarau juga memicu kebakaran lahan. (AIK/ESA/VIO/ISW)