Setelah berlaku sejak Mei dan Juli, tarif baru ojek daring sementara ini mendapa respons positif dari pengemudi. Ketentuan ini menambah pendapatan mereka dalam melayani penumpang.
Oleh
Aguido Adri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyesuaian tarif ojek daring mendapat respons positif para mitra. Kenaikan tarif ini sebagai bentuk perhatian kesejahteraan mitra ojek. Meski begitu, ada kekhawatiran, konsumen perlahan akan meninggalkan ojek daring karena tarif yang dinilai memberatkan.
Penyesuaian tarif ojek daring itu tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi.
Sesuai dengan Kepmenhub No 348/2019, tarif untuk zona I yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Bali sebesar Rp 1.850-Rp 2.300 per kilometer (km). Tarif minimal sebesar Rp 7.000-Rp 10.000.
Untuk tarif zona II yang meliputi wilayah Jabodetabek sebesar Rp 2.000-Rp 2.500 per km dengan tarif minimal Rp 8.000-Rp 10.000. Sementara tarif zona III di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar Rp 2.100-Rp 2.600 per km dengan tarif minimal Rp 7.000-Rp 10.000.
Penerapan tarif baru tersebut merupakan perluasan dari kebijakan tarif yang dimulai pada 1 Mei 2019 dan dilanjutkan 1 Juli 2019. Menyikapi evaluasi terhadap kenaikan tarif yang sudah berlangsung beberapa bulan tersebut, Doni (37), pengemudi Grab, mengatakan, di satu sisi, kenaikan tarif sedikit meningkatkan perekonomiannya dan sejumlah mitra ojek lain. Namun, kenaikan tarif juga membuat mereka takut kehilangan pelanggan.
”Senang ya sebenarnya dengan kenaikan tarif. Ini juga yang kami inginkan. Namun, selama beberapa bulan ini, sudah banyak konsumen yang merasa keberatan, terutama anak sekolah dan mahasiswa. Dengan terus berkembangnya transportasi publik, kami khawatir malah kehilangan konsumen,” tutur Doni, Jumat (27/9/2019), di Jakarta.
Ia melanjutkan, konsumen yang mendapat harga promo tentu tidak mempermasalahkan kenaikan tarif. Namun, konsumen yang tidak mendapat promo yang sering protes karena tarif mahal.
”Sekarang tarif untuk jarak 6-7 km sebesar Rp 20.000. Kalau ada promo, pelanggan bisa dapat diskon sampai 20 persen. Potongannya lumayan, loh, bagi konsumen yang dapat promo. Nah, mereka yang enggak dapat promo banyak protes ke pengemudi karena jarak segitu kok mahal,” ucapnya.
Sementara itu, Yudi Prayudi (41), pengemudi Go-Jek, mengatakan, sebelum tarif naik, dalam sehari dirinya mendapat penghasilan sekitar Rp 350.000 dalam 20 kali perjalanan. Sejak kenaikan tarif, ia memperoleh Rp 400.000, bahkan pernah mencapai Rp 550.000.
”Konsumen banyak yang protes, tapi karena mereka butuh transportasi ini, ya, mau enggak mau tetap pakai. Kata mereka, transportasi publik belum menjangkau luas,” kata Yudi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menuturkan, penyesuaian tarif ojek daring mendapatkan respons positif dari aplikator dan mitra pengemudi.
”Dalam dua tahap penerapan uji coba, tidak ada masalah yang berarti. Diskusi penyesuaian tarif ojek online dengan Go-Jek dan Grab adalah hal yang positif. Kami selalu berhati-hati ketika membahas tarif ojek online karena bersangkutan dengan hajat hidup orang banyak,” ujar Budi.
Persaingan
Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha periode 2015-2018 Syarkawi Rauf mengatakan, ada dua payung hukum untuk mengatur bisnis transportasi daring. Payung hukum yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor.
Dia menilai, kedua aturan itu memiliki celah yang bisa disalahgunakan perusahaan penyedia aplikasi ojek daring (aplikator). ”Dalam aturan itu ada ketentuan tarif batas atas untuk melindungi konsumen serta tarif batas bawah untuk mencegah perang tarif. Namun, keduanya tidak mengatur soal promosi,” ujar Syarkawi.
Ekonom Universitas Airlangga, Rumayya Batubara, menambahkan, saat pemerintah menerapkan tarif batas, jumlah penumpang menurun. Hal ini terjadi karena penerapan tarif membuat harga yang harus dibayarkan oleh penumpang menjadi lebih tinggi.
”Dari survei kami, ada responden yang menolak kenaikan harga dan ada juga yang bisa menerima kenaikan, tetapi hanya bersedia mengalokasikan sedikit saja tambahan pengeluaran. Saat ini, penumpang kembali banyak karena aplikator menerapkan tarif promosi,” tutur Rumayya.