Meski jauh dari resesi, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi masih stagnan. Hal ini adalah pengaruh pelambatan ekonomi global dan faktor domestik yang ikut menentukan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Terlepas dari kondisi ekonomi global yang melambat, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi stagnan hingga akhir 2019. Untuk menjaga gairah ekonomi dalam negeri, pertumbuhan ekonomi domestik mesti diperhatikan.
Faktor pelambatan ekonomi global disebabkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Di sisi lain, Jepang dan Korea Selatan juga tengah menghadapi ketegangan hubungan dagang sejak Juli 2019. Hal tersebut berpengaruh terhadap turunnya volume perdagangan dunia dan menekan harga komoditas.
Menurut World Economic Outlook Dana Moneter Internasional (IMF) pada Juli 2019, perkembangan volume perdagangan dunia ada di posisi 3,3 persen secara tahunan (year on year/yoy). Pada 2020, posisinya diprediksi ada di angka 3,4 persen.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko di Badung, Bali, Jumat (27/9/2019), mengatakan, tren ekonomi global melambat pada 2017-2020 dan memengaruhi produk domestik bruto (PDB) dunia. Pertumbuhan PDB Indonesia pada triwulan I-2019 ialah 5,07 persen, sedangkan pada triwulan II-2019 pertumbuhannya 5,05 persen.
”Pertumbuhan ekonomi Indonesia turut terpengaruh kondisi ekonomi global yang kurang menguntungkan. Pertumbuhan kita ada di angka 5 persen. Artinya bagus, tetapi tumbuhnya tidak kuat,” kata Onny.
Prospek ekonomi Indonesia pada 2019 diperkirakan berada di titik tengah 5,0-5,4 persen. Pada 2020, prospeknya diperkirakan meningkat di titik tengah 5,1-5,5 persen.
Untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah pelambatan ekonomi global, Bank Indonesia menurunkan suku bunga atau BI 7-day reserve repo rate sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen. Suku bunga deposit facility (DF) turun menjadi 4,5 persen dan suku bunga lending facility (LF) turun jadi 6 persen. Ini ditentukan pada Rapat Dewan Gubernur BI pada 18-19 September 2019.
Bank sentral di sejumlah negara pun turut melonggarkan kebijakan moneter. Beberapa di antaranya Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang menurunkan suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 1,75 persen, serta Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang menurunkan suku bunga 10 bps menjadi -0,5 persen.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Andry, mengatakan, tantangan pelambatan ekonomi akan dihadapi Indonesia hingga 2022. Kendati demikian, perekonomian Indonesia berpeluang tumbuh. ”Indonesia sangat jauh dari resesi. Kondisi ekonomi Indonesia baik karena kebijakan yang diambil untuk merespons ekonomi global pun baik. Inilah yang menarik investor untuk masuk. Kita juga perlu memerhatikan neraca perdagangan nonmigas,” tutur Andry.
Ia mengatakan, kelonggaran rasio intermediasi makroprudensial atau RIM memacu perbankan menyalurkan kredit. Hal ini bisa mendorong angka pertumbuhan kredit.
Sementara itu, Onny mengatakan, sektor pariwisata juga harus ditonjolkan agar ekonomi domestik kuat. Sebab, sektor pariwisata berhubungan dengan sejumlah sektor lain, seperti transportasi serta makanan dan minuman. Menurutnya, aspek akses, amenitas, dan atraksi harus diperkuat terlebih dahulu.