Desa Masuk Kawasan Lindung, Aktivitas Warga Terganggu
›
Desa Masuk Kawasan Lindung,...
Iklan
Desa Masuk Kawasan Lindung, Aktivitas Warga Terganggu
Masih banyak wilayah permukiman masyarakat di Kalimantan Tengah yang masuk dalam kawasan hutan lindung. Kondisi ini mengganggu aktivitas dan meresahkan warga.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Masih banyak wilayah permukiman masyarakat di Kalimantan Tengah yang telah dihuni warga puluhan tahun masuk dalam kawasan hutan lindung. Kondisi ini mengganggu aktivitas dan meresahkan warga.
Di Kabupaten Lamandau, Desa Ulu Jejabo, misalnya, rumah-rumah penduduk hingga kandang ternak mereka masuk dalam kawasan hutan. Kepala Desa Ulu Jejabo Malano mengatakan, pihaknya beberapa kali ditegur polisi kehutanan karena beraktivitas di kebunnya. Menurut dia, hal itu terjadi karena desa mereka masuk dalam kawasan hutan lindung.
”Jangankan rumah, kandang ternak sampai kolong-kolongnya itu kawasan lindung. Kebun-kebun kami, jadi kami mau kelola kebun dalam rasa takut, takut ditangkap,” ucap Malano saat dihubungi dari Palangkaraya, Sabtu (28/9/2019).
Jadi kami mau kelola kebun dalam rasa takut, takut ditangkap.
Malano menyebutkan, pemerintah desa sudah bertahun-tahun lamanya meminta pemerintah pusat untuk mengeluarkan desa itu dari kawasan lindung. Namun, hingga kini belum ada upaya dari pemerintah untuk merespons keinginan 113 keluarga di desa itu.
Hal serupa dirasakan Desa Kubung, Kabupaten Lamandau. Di desa ini 80 persen kawasan tempat huni 130 keluarga adalah kawasan lindung.
”Kami sudah ada di sini sejak tahun 1962. Kebijakan itu ada tahun 2012. Jadi kami lebih dulu tinggal di sini sebelum kawasan ini menjadi hutan lindung,” ujar Kepala Desa Kubung Edy Zacheus.
Edy mengatakan, pihaknya juga sudah melakukan pemetaan partisipatif kawasan kelola adat masyarakat di Kubung dengan total wilayah seluas 12.225 hektar. Kawasan ini menjadi kawasan paling ujung barat Kalimantan Tengah dan berbatasan langsung dengan Ketapang, Kalimantan Barat.
”Sekitar 100 keluarga di sini juga sudah dapat sertifikat prona sebelumnya. Lalu, saat dicek petugas, ternyata masuk kawasan lindung, sertifikat itu dicabut lagi,” ujar Edy.
Saat desa masuk dalam peta kawasan lindung, masyarakat tidak bisa beraktivitas bahkan tinggal di dalam kawasan itu. Mereka tidak bisa mengurus sertifikat dan bisa dipidana jika menebang pohon yang ada di kebun mereka.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Bagian Sosial Budaya Usep Setiawan mengatakan, persoalan di kedua desa itu juga terjadi di banyak desa lain di Indonesia. Hal itu yang membuat Kantor Staf Kepresidenan melaksanakan reforma agraria.
”Ini menjadi salah satu prioritas kerja presiden untuk memperbaiki tata kelola lahan di Indonesia. Ini dibenahi satu per satu,” ucap Usep.
Usep menjelaskan, pemerintah bisa membuat usulan melalui perhutanan sosial untuk wilayah kelolanya dengan berbagai skema, seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa, atau hutan adat. Untuk wilayah permukiman, pihaknya akan membahas hal tersebut di pusat bersama kementerian terkait.
Persoalan tata kelola lahan di Kalteng, menurut Usep, bermula dari terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 529 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759 Tahun 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Kalteng dari 15,3 juta hektar menjadi 12,7 juta hektar.
Dari kebijakan itu, sebanyak 67,1 persen merupakan wilayah hutan lindung. Tak hanya permukiman, bahkan beberapa kawasan konsesi yang izinnya keluar sebelum tahun 2012 masuk dalam kawasan lindung, padahal pihak perusahaan sudah mulai beroperasi.
”Kami mengawal dan memastikan reforma agraria berjalan dengan baik,” ujar Usep.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan, lanjutnya, adalah dengan menggunakan jalur pengajuan tanah obyek reforma agraria (TORA). Dengan skema itu, wilayah permukiman yang masuk hutan lindung bisa diputihkan atau dikeluarkan dengan catatan wilayah tersebut masuk dalam peta indikatif TORA.
”Tetapi, peta indikatif itu bisa diusulkan jika wilayah yang diinginkan tidak masuk dalam peta tersebut. Intinya, Kantor Staf Kepresidenan memperhatikan betul keinginan dan kebutuhan rakyat,” kata Usep.
Program Manager Save Our Borneo Muhammad Habibi mengungkapkan, masyarakat di kedua desa itu, bahkan di sebagian besar Lamandau, belum mengetahui apalagi memahami skema TORA tersebut.
”Sosialisasi belum maksimal. Sosialisasi itu dilakukan bertahap, sementara banyak kabupaten tidak memiliki anggaran untuk melakukan sosialisasi. Anggarannya harusnya ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tutur Habibi.