Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua menemukan kejahatan kemanusiaan dalam unjuk rasa di Wamena. Lebih dari 2.000 warga pendatang telah tiba di Jayapura.
JAYAPURA, KOMPAS Gelombang warga pendatang keluar dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, terus berlanjut. Hingga Jumat (27/9/2019), sebanyak 1.096 orang tiba di Pangkalan Udara Silas Papare, Jayapura, menumpang pesawat Hercules TNI Angkatan Udara. Warga yang didominasi anak-anak, perempuan, dan orang sakit tampak terharu saat tiba di Jayapura, kemarin. Sebagian dijemput keluarga dan sebagian lagi ditampung TNI AU.
”Kami siapkan Gedung Serbaguna Megantara dan bantuan makanan bagi pengungsi yang tak memiliki kerabat di Jayapura. Total 86 orang telah berada di sana,” kata Komandan Lanud Silas Papare, Jayapura, Marsekal Pertama Tri Bowo Budi Santoso. Eksodus sudah terjadi empat hari terakhir dengan jumlah lebih dari 2.000 jiwa.
Desi Aruan (23), salah satu pengungsi, mengatakan, keluarganya trauma berat dan memilih kembali ke Medan, Sumatera Utara. ”Banyak toko keluarga saya dibakar massa saat kerusuhan. Mata pencarian kami sehari-hari hanya berjualan barang kebutuhan pokok,” kata Desi terbata-bata. Hingga Jumat, masih ada warga bertahan di Markas Kodim 1702 Jayawijaya, Markas Polres Jayawijaya, dan sejumlah gereja. Mereka menunggu diangkut ke Jayapura.
Kejahatan kemanusiaan
Kemarin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengungkapkan temuan investigasinya bahwa terjadi kejahatan kemanusiaan dalam rusuh Wamena, Senin (23/9). Warga sipil, tenaga kemanusiaan seperti dokter, serta anak-anak diserang dan dilukai hingga tewas. Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, terjadi pembunuhan terhadap dokter, intimidasi ke tenaga guru, dan pembakaran tubuh tiga pelajar yang menolak ikut unjuk rasa.
Seperti diberitakan, Senin lalu, unjuk rasa ratusan pelajar dan warga membakar 465 ruko, 150 rumah, 165 sepeda motor, dan 224 mobil serta truk. Kerusuhan dipicu informasi bohong guru berujar rasis terhadap murid SMA PGRI Wamena, 18 September. ”Pengecekan fakta-fakta di SMA PGRI Wamena, tak ada sama sekali ujaran rasis guru. Info itu dipelintir oknum untuk memprovokasi massa,” kata Frits.
Temuan lain, unjuk rasa rusuh itu direncanakan pada 21-22 Agustus 2019, yang diperkuat bukti bahan bakar minyak untuk membakar fasilitas. ”Komnas HAM menilai terjadi kejahatan kemanusiaan direncanakan. Kami mendukung kepolisian menegakkan hukum agar tidak terulang,” ujarnya.
Ia menambahkan, pelayanan publik, baik ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan, belum berjalan. ”Perlu pemulihan dan rekonsiliasi secepatnya untuk mencegah konflik horizontal pasca-kerusuhan,” kata Frits.
Kepala Polres Jayawijaya Ajun Komisaris Besar Tonny Ananda mengatakan, situasi keamanan di Wamena telah kondusif. Jumlah korban tewas 31 orang dan 76 orang terluka. Tim kesehatan gabungan TNI segera dikirim ke Wamena. (FLO)